Pencapaian Tertinggi dalam Hidup: Jadi Master Tanpa Biaya
Halo Mama, Ramadan sudah memasuki hari keempat. Semoga tetap lancar ibadahnya ya. Hari keempat puasa artinya hari keempat juga di BPN Ramadan Challenge. Kali ini temanya tentang pencapaian tertinggi dalam hidup.
Kalau ditanya apa pencapaian tertinggi dalam hidup, saya bingung jawabnya. Soalnya banyak hal yang buat saya adalah pencapaian luar biasa. Pilih, pilih, pilih, akhirnya saya memilih nulis tentang menjadi master tanpa biaya untuk tema pencapaian tertinggi dalam hidup.
Semua Bermula dari Mimpi
Saya ingat benar ucapan dan yang terjadi saat wisuda sarjana jutaan tahun lalu, he-he. Saat itu mungkin ucapan saya diamini malaikat sehingga terwujud 4 tahun kemudian.
Jadi ceritanya pas wisuda sarjana itu saya nggak antusias ke salon untuk make up. Ketika teman-teman sibuk cari kebaya wisuda, saya memilih pakai kebaya ibunda yang sedikit kebesaran.
“Nggak apa-apa make up di salon, biar nggak pucat. Namanya juga sekali seumur hidup,” ucap budhe yang sudah seperti ibu sendiri.
“Nggak kok, ini bukan sekali seumur hidup. Nanti aku bakal wisuda lagi untuk S2,” timpal saya.
Melanjutkan pendidikan S2 adalah mimpi yang dibangun sejak dulu. Ini semua karena saya suka sekolah. Ya ampun sereceh itu ya. Mm, tapi ada lagi kok alasan lainnya untuk melanjutkan studi S2, yakni keinginan untuk menjadi peneliti. Menurut saya, pendidikan yang lebih tinggi akan membantu saat kelak menjadi peneliti.
Saya pun mulai melamar beasiswa. Ada dua tempat yang kala itu dijajal. Pertama beasiswa master di Kanada. Kedua, beasiswa master di Prancis.
Untuk master di Kanada, saya lolos sampai tes ketiga. Sedangkan yang Prancis gagal di wawancara. Rasanya putus asa sekali bagi anak muda yang idealis. Hm, mungkin benar wisuda sarjana yang lalu adalah wisuda pertama dan terakhir. Apalagi cita-cita saya adalah kuliah tanpa keluar biaya alias dapat beasiswa, rasanya makin jauh dari mimpi.
Tertatih-tatih di Ibukota
Setelah gagal mendapat dua beasiswa itu, saya mendapat panggilan kerja. Keinginan kuat menjadi jurnalis membuat saya memutuskan meninggalkan Yogyakarta untuk hijrah ke Ibukota.
Singkat cerita, saya jadi jurnalis majalah. Kementerian Dalam Negeri dan Gedung DPR adalah tempat yang sehari-hari saya sambangi. Sungguh tidak mudah bagi saya yang berasal dari media kecil. Setiap kali ada konferensi pers, sering kali terlewat untuk diundang.
Dulu saya nyaris putus asa saat harus ketemu dengan narasumber di kalangan kementerian. Susah sekali. Padahal teman-teman wartawan di sana sepertinya mudah sekali wawancara menteri dan para Dirjen. Berkenalan dan meninggalkan nomor telepon ke humas dan ketua wartawan setempat pun terasa tiada gunanya.
Sungguh iri rasanya melihat tulisan wartawan lain di medianya. Di tulisan itu, mereka bisa wawancara menteri. Sedangkan saya sampai bikin surat permohonan wawancara menteri, namun kemudian didelegasikan ke Dirjen. Saya sampai nungguin menteri untuk bisa doorstop. Merasa seperti seekor srigala yang berjalan sendiri.
Saya sering menangis diam-diam. Cum laude ternyata tidak menjadi jaminan lebih mudah di dunia kerja. Sederet prestasi lomba menulis pun tidak ada gunanya. Satu hal yang juga saya ingat, air mata ini pernah menetes ke sepatu butut yang menjadi saksi kerasnya Ibukota.
Untungnya satpam-satpam yang saya temui semuanya baik. Mereka tidak mengusir saya, meskipun memberi peringatan agar tidak sembarangan saat mencegat menteri.
Besi yang terbaik adalah yang ditempa dengan panas paling tinggi.
Kalimat motivasi yang pernah saya temukan di sebuah buku menjadi salah satu penyemangat. Ya, penyemangat untuk kembali bangkit saat diri jatuh. Menjadi salah satu penguat ketika banyak hal terasa tidak bersahabat.
Melepas Pekerjaan Demi Beasiswa
Akhirnya saya pindah kerja ke perusahaan yang lebih besar. Di sini banyak hal yang berubah. Secara finansial ada perbaikan. Secara pengakuan sebagai wartawan pun ada peningkatan. Namun, di sini saya jadi orang yang serba terburu-buru.
Ya, setelah selesai liputan di satu tempat, bergegas pindah ke tempat lain. Padahal saya belum menyusun laporan. Jakarta Pusat ke Jakarta Timur, lalu ke Selatan, dan balik lagi ke Pusat, sudah biasa saya jalani. Pulang ke kos jam 1 malam dan berangkat kerja setelah salat subuh, juga pernah saya lakoni.
Rasanya ingin menyerah. Untungnya, personel di tempat kerja terus bertambah. Hal itu membuat saya jadi yang agak senior he-he-he. Karena itu pula, saat liputan saya nggak banyak dilempar-lempar. Bahkan mulai dipercaya liputan di kawasan RI-1 dan RI-2. Kartu wartawan Istana pun saya kantongi. Bahkan posisi asisten redaktur saya terima.
Hidup serupa roda itu betul sekali. Nama saya kian dikenal para wartawan, kalangan kementerian, kalangan hukum, polisi, LSM, dll. Jika dulu sering dilupakan diundang konpers, maka itu tak lagi dijumpai.
Hingga akhirnya saya mendaftar beasiswa untuk belajar studi pertahanan di ITB. Pemberi beasiswanya adalah Kedutaan Inggris. Kuliah dilaksanakan dalam bahasa Inggris karena sebagian besar dosennya dari Cranfield University.
Tes tertulis dan wawancara berlangsung sangat lancar. Saya percaya diri sekali bakalan diterima. Ternyata feeling itu benar. Saya dinyatakan lolos menjadi salah satu mahasiswi jurusan Studi Pertahanan ITB, cikal bakal Universitas Pertahanan.
Akhirnya saya mundur dari pekerjaan. Meninggalkan kursi yang mulai empuk. Melepaskan dunia yang mulai terasa nyaman. Memilih menjalani hidup yang sangat sederhana karena hanya bergantung dari uang beasiswa yang tidak seberapa. Semua harus diirit-irit.
Wah, jadi nostalgia. Saya nggak bermaksud riya dengan menuliskan kisah pencapaian dalam hidup saya ini ya, Ma. Setiap hal yang saya dapat dalam hidup, insya Allah saya syukuri. Semoga ada pelajaran yang bisa diambil dari sini. Terima kasih, sudah mampir. Tulisan BPN Challenge lainnya bisa disimak di sini:
Kisah di Balik Nama Blog mamanesia.com
Halo kakak salam kenal, ini pertama kalinya saya mampir ke blog kakak. Kisah kakak inspiratif sekali. Memang benar ya kak, untuk bisa ada di posisi atas kita harus ada di bawah dulu dan berusaha sekuat tenaga dan pantang menyerah. Sukses selalu ya kak.