Sempat Ingin Bunuh Diri, Begini Kisah Yuliati Melawan Kusta
Sedih, malu, dan khawatir menyusup di diri Yuliati. Itu terjadi kala dia menyadari terkena kusta dari bercak mati rasa di jari kaki. Terpuruk membuatnya ingin bunuh diri. Begini kisah Yuli melawan kusta yang sempat bikin dunianya terasa berhenti.
Bercak tersebut muncul pada 2011. Kala itu, Yuliati masih berstatus mahasiswa. Awalnya, dia tak sadar terkena kusta. Dirinya pun mencari-cari informasi melalui buku dan dunia maya tentang penyebab munculnya bercak yang mati rasa.
Dari informasi yang diperoleh, dia pun yakin terkena kusta. Selama setahun Yuliati menyembunyikan kondisinya. Tidak mencari pengobatan, berhenti kuliah, juga tidak pula menceritakan pada keluarga.
Sehari-hari, dia mengurung diri. Khawatir bisa menularkan penyakitnya menjadi alasan Yuli. Dalam kekalutan, perempuan berkerudung itu berkali-kali memikirkan cara bunuh diri.
“Sempat berencana bunuh diri. Meski (bercak) hanya di ibu jari kaki saja, tapi merusak semangat hidup. Ada ketakutan, takut tidak bisa menikah, dan takut yang lain-lain,” tuturnya dalam acara Ruang Publik “Wanita dan Kusta” yang digelar KBR dan NLR Indonesia, Rabu (30/8/2023).
Dukungan Keluarga dan OYPMK dalam Melawan Kusta
Tingkahnya yang ganjil menarik perhatian keluarga, khususnya sang kakak ipar. Akhirnya Yuli memutuskan menceritakan kondisinya dengan hati bergetar. Mendengar itu, kakak ipar pun mengantarnya ke Puskesmas sebagai ikhtiar.
Kepadanya, petugas Puskesmas menyampaikan semangat untuk sembuh seperti sedia kala. “Kamu itu bisa sembuh, bercak cuma satu. Nggak masalah,” ucap Yuli menirukan ucapan petugas.
Akhirnya pengobatan kusta dijalani Yuli. Keluarga besar pun akhirnya tahu apa yang sebenarnya terjadi. Alih-alih menjauhi, keluarga justru hadir penuh, memberikan dukungan, dan motivasi. Hal itu membuat Yuli semakin berbesar hati.
Baca tulisan ini juga yuk: Sedih, Cinta Ditolak karena Stigma Kusta
Agar makin bersemangat, Yuli bergabung dengan organisasi PerMaTa (Perhimpunan Mandiri Kusta). Benar, di sana dirinya bertemu dengan beberapa Orang yang Pernah Menderita Kusta (OYPMK). Hal itu membuatnya semakin kuat dan kian bisa menerima penyakit yang Allah berikan.
“Saya banyak melihat bahwa banyak yang lebih parah dari saya, tapi bisa menikmati hidup. Saya tidak alami disabilitas, hanya mengalami mati rasa sedikit di kaki. Akhirnya saya bisa menerima,” papar perempuan yang berdomisili di Takalar, Sulawesi Selatan, ini.
Pacar Menjauh karena Kusta
Ketika didiagnosis kusta, Yuli memberi tahu pacarnya. Mulanya sang pacar tidak mengapa. Namun, seiring waktu, sang kekasih justru semakin membentangkan jeda.
Tak hanya pacar, beberapa orang yang dikenalnya pun terkesan menjaga jarak. Yuli mencoba maklum dan tetap menjaga semangat agar hati tidak sesak. Dia paham, kusta dan stigma negatif masih sangat merebak.
Banyak orang berpikir kusta adalah penyakit kutukan. Masih banyak pula yang meyakini akan segera terkena kusta bila berdekatan dengan pasien. Bahkan ada juga yang jijik lantaran kemungkinan disabilitas yang menyertai kusta.
“Kalau lawan stigma, saya sebenarnya egois. Kenapa saya harus pikirkan orang lain? Kalau dia pandang saya begitu (nehatif) ya biar saja. Saya kan sudah sembuh. Saya harus bangkit. Saya berpikir bahwa ini diri saya. Kalau mau terima saya apa adanya saya bersyukur, kalau tidak ya no problem,” papar Yuli.
Baca juga tulisan ini ya: Kusta Penyakit Kutukan? Jangan Mudah Percaya, Simak Dulu Faktanya
Kini, bersama PerMaTa, Yuli melakukan sosialisasi tentang penyadaran kusta ke masyarakat. Harapannya, masyarakat kian paham bahwa kusta tak selalu menyebabkan kecacatan, apalagi jika langsung melakukan pengobatan. Perlu dipahamkan juga bahwa kontak dengan pasien kusta tidak serta merta mengakibatkan penularan.
“Saya sendiri terkena kusta karena kontak erat dan lama dengan sepupu yang sering keluar daerah. Kenapa saya bisa kena? Mungkin saat itu imun saya juga sedang turun,” imbuh Yuli.
Menurutnya, ada tiga hal seseorang bisa terkena kusta. Pertama, karena ada sumber penularan. Kedua, kurangnya daya tahan tubuh. Ketiga, kontak lama dan erat dengan pasien.
“Berdasarkan penelitian juga dari 100 yang kontak hanya 5 yang terpapar. Tidak semua orang terkena (kusta). Kusta memang menular, tapi tidak gampang penularannya,” jelasnya.
Hendak Sosialisasi Kusta, Eh Dikira Sales
PerMaTa merupakan organisasi dari dan untuk pasien kusta. Tak hanya di Takalar, organisasi ini juga ada di daerah lain, baik tingkat kabupaten maupun provinsi di Indonesia.
Kampanye dan sosialisasi tentang kusta dilakukan Yuli bersama PerMaTa di berbagai tempat. Misalnya di perkampungan, juga di sekolah-sekolah setempat. Saat melakukan sosialisasi, ada saja pengalaman yang selalu Yuli ingat.
“Kami suka dikira sales. Tapi kalau sudah mendekati (orang-orang), bicara, dan mengaku (sudah sembuh dari kusta), mereka terima dengan baik. Tapi ada juga yang nolak. Respons orang beda-beda, dan kita nggak bisa paksa.”
Yuliati
Dalam sosialisasi, jika ditemukan warga yang bergejala, segera diarahkan untuk menghubungi petugas kesehatan. Jika yang bersangkutan malu, maka akan terus didampingi dan dimotivasi sehingga kusta tak terlalu jadi beban.
Dalam melakukan kegiatannya, PerMaTa menggandeng beberapa pihak. Misalnya Netherland Leprosy Relief (NLR) dan rumah sakit. NLR memberikan pelatihan dan peningkatan kapasitas, sehingga anggota PerMaTa bisa menjadi tim penyuluh nan gesit. Selain kampanye, digelar pula kegiatan operasi rekonstruksi untuk OYPMK agar mereka lebih semangat bangkit.
“Pesan saya untuk yang sedang alami kusta, lakukan pengobatan. Jangan sampai putus (pengobatan) agar sembuh. Kalau ada reaksi segera laporkan. Kalau pernah alami kusta, harus berpikir, ‘saya harus bisa lebih baik daripada orang lain, harus buktikan’. Kita pasti bisa,” pungkas Yuli.