Sedih, Cinta Ditolak karena Stigma Kusta

Ketika cinta bersemi, harapannya bisa menikah dan hidup bersama membangun keluarga. Namun, cinta dan niat melamar ditolak keluarga calon pasangan. Penyebabnya adalah kusta. Sedih sekali dengarnya ya, Ma.

Kusta seolah jadi dinding tebal tak tertembus. Penyakit itu sering kali menghalangi bersatunya dua insan dalam mahligai pernikahan. Stigma pada pasien kusta rupanya masih saja ada.

“Disebabkan stigma tersebut, yang perempuan tidak ada yang melamar, sedangkan yang laki-laki tidak diterima lamarannya,” tutur Al Qodri, Wakil Ketua Perhimpunan Mandiri. Hal itu disampaikan dia dalam diskusi ruang publik “Tolak Stigmanya, Bukan Orangnya” yang digelar Kantor Berita Radio (KBR) pada Rabu (26/1/2022).

Satu hal lagi yang lebih miris, kata Pak Qodri, kusta sering dijadikan sumpah untuk meyakinkan orang lain. Seolah-olah kusta itu sangat mengerikan dan kutukan yang tidak bisa dihindari.

Agar tidak latah memberikan stigma pada orang dengan kusta, yuk kita simak beberapa hal penting terkait penyakit paling tua dalam sejarah manusia ini. Oh ya, saya mendapatkan info diskusi mengenai kusta ini melalui Komunitas 1 Minggu 1 Cerita, komunitas yang mendorong para bloger untuk konsisten menulis di blognya.

Bergaul dengan Pasien Kusta Tidak Serta Merta Tertular

stigma kusta
Meski menular, kusta memiliki daya tular rendah/ Foto: Canva

Kusta adalah infeksi bakteri kronis. Penyakit ini menyerang kulit dan saraf tepi yang ada di ujung tubuh. Jika terlambat dideteksi dan diobati maka akan muncul kelainan anatomi atau kecacatan.

Kusta merupakan penyakit menular. Namun, penyakit ini tidak mudah ditularkan. Beda dengan TBC atau Covid-19 yang daya tularnya begitu kuat. Proses penularan kusta juga lama, yakni 2-5 tahun.

Qodri bercerita dulu saat berjuang sembuh dari kusta, dirinya tetap tinggal bersama keluarga. Dia tidur bersama tiga adiknya, tetapi tidak ada satu pun yang tertular.

Baca juga tentang kusta dan risiko kecacatan di tulisan ini ya: Kenali Gejala Awal Penyakit Kusta dan Risiko Kecacatan

“Saya menikah dengan orang dengan kusta, dia kakinya diamputasi. Anak saya juga tidak ada yang tertular. Istri saya menyusui juga selama 2 tahun,” jelas Qodri.

dr. Astri Ferdiana dari organisasi pemerhati kusta di Indonesia, NLR, menambahkan bila seseorang berhadapan dengan pasien kusta yang batuk, maka tidak akan lantas membuat orang tersebut tertular kusta. Pun saat seseorang salaman dengan pasien kusta, tidak lantas menjadikannya tertular pula.

“Bila ada 100 orang di ruangan dan ada yang terpapar kusta, maka yang akan kena penyakit paling hanya 2 orang. Itu juga bila imunitas buruk, gizi kurang,” terang dr. Astri.

Akibat Stigma, Banyak yang Enggan Mengakui Terkena Kusta

stigma kusta
Kusta memang penyakit tua, tapi bukan kutukan/ Foto: Canva

Kusta masih dianggap penyakit yang menjijikkan dan mengerikan. Hal ini karena ada pasien kusta yang memiliki luka, bahkan hingga menjadi borok. Luka tersebut sama sekali tidaj terasa sakit atau perih lantaran bakteri menjadikan pasien kusta mati rasa. Bahkan ketika anggota tubuh harus diamputasi sehingga mengakibatkan kecacatan, rasa sakit tidak dirasakan sama sekali.

“Dulu pikiran kita kalau kena kusta, ujungnya pasti jadi buntung. Sekarang sudah tahu kusta itu bisa disembuhkan. Tapi telanjur ada stigma, dan itu berat,” curhat Qodri lagi.

Menurut dia, ketika banyak yang tahu dirinya terkena kusta, banyak orang yang takut luar biasa dalam berinteraksi dengannya. “Stigma yang melekat sekarang mengakibatkan masih minim yang mau menerima dirinya dan mengakui dirinya kena kusta,” imbuhnya.

Bagaimana pun penerimaan diri adalah hal terbaik, meski terkadang terasa berat. Namun, dengan mengakui dirinya mengalami kusta sehingga mau berobat, maka itu menjadi iktiar luar biasa dalam mengatasi kusta.

“Jika terlambat dideteksi dan diobati akan muncul kelainan anatomi atau kecacatan,” lanjut dr. Astri.

Stigma Kusta dan Pemahaman yang Tidak Benar

Menurut Qodri, saat ini sudah banyak orang yang mau bergaul dengan pasien kusta. Meski begitu, kebanyakan orang tersebut masih saja memiliki pemahaman yang tidak benar.

“Sekarang (stigma) tidak begitu kelihatan, tapi pemahaman masih kurang. Mereka mau interaksi mungkin karena dipaksa untuk mau, tapi masih punya pemahaman yang tidak benar,” tuturnya.

Qodri sendiri saat ini tinggal di kampung kusta. Di Sulawesi Selatan, ada 8 kampung kusta yang dibentuk sejak pemerintahan Belanda. Namun, di kampung tersebut tidak semua warganya terkena kusta.

“Ada 1.300 jiwa, 400 orang yang pernah kusta, dan yang mengalami kerusakan organ kurang dari 200 orang,” jelas Qodri.

Kusta bukan penyakit kutukan. Baca selengkapnya di sini: Kusta Penyakit Kutukan? Jangan Mudah Percaya, Simak Dulu Faktanya

Disampaikan dr. Astri, stigma pada pasien kusta memang masalah yang cukup kompleks. Butuh upaya komprehensif dan konsisten untuk menghilangkan stigma tersebut.

dr. Astri Ferdiana dalam acara Ruang Publik KBR/ Foto: YouTube KBR

“NLR pernah survei di 2020 di salah satu daerah, masyarakat dan nakes mau bergaul dengan Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) tapi tidak mau berinteraksi dekat, tidak mau mempekerjakan, tidak mau menikahkan, tidak mau orangnya tingal di rumahnya untuk kost,” paparnya.

Untuk menghilangkan stigma pada pasien kusta atau pun OYPMK, NLR aktif melakukan kampanye. Hal itu dilakukan dengan cara pelatihan, talkshow, dan kegiatan lain yang mentarget kelompok masyarakat. NLR sadar tidak bisa bergerak sendiri, sehingga terus melakukan kerja sama lintas sektor.

Obat Pencegah Kusta

Untuk orang-orang yang mengalami kusta, wajib menjalani pengobatan sampai selesai. Mereka harus minum obat setiap hari dalam kurun waktu enam hingga dua belas bulan. Sejak minum obat, pasien kusta sudah tidak berpotensi menularkan penyakitnya.

Untuk orang-orang di sekitar pasien atau yang melakukan kontak erat, bisa minum obat pencegahan kusta. Di Indonesia, obat ini sudah diberikan sejak dua hingga tahun lalu.

Obat pencegah kusta ini, ujar dr. Astri hanya satu kali minum saja. Ada dosis dewasa di atas 15 tahun dan dosis anak-anak.

“Cara mencegah memutuskan rantai penularan bukan dengan menjauhi pasien, tetapi dengan mendorong berobat sesegera mungkin ke puskesmas dan dapat dukungan sosial. Jangka waktu pengobatannya lama, sehingga harus didukung keluarga,” tambah dr. Astri.

Bagi Mama yang ingin menyaksikan diskusi tentang kusta ini, bisa disimak di tayangan YouTube berikut ini ya.

Kesimpulannya, kusta memang menular tapi daya tularnya tidak tinggi. Dengan deteksi dini dan pengobatan sejak dini, bisa mencegah kecacatan pasien dan mencegah penularan. Selain itu, pasien kusta dan OYPMK memiliki hak yang sama dengan orang lainnya, sehingga tidak boleh dijauhi. Mereka tidak akan menularkan penyakitnya apabila mendapat pengobatan sampai selesai. Harapannya, ke depan akan tercipta zero transmission (nihil penularan), zero disability (nihil disabilitas) dan zero exclusion (nihil eksklusi). Semoga segera.

Leave A Reply

Your email address will not be published.

www.kirmiziyilan.com