Film Tilik, Kita Seperti Bu Tejo atau Yu Ning?
Mama, sudah nonton film Tilik yang lagi banyak diperbincangkan di dunia maya itu? Film yang bagus. Mengingatkan pada realita keseharian. Mengingatkan juga pada kampung halaman yang sangat dirindukan: Yogyakarta.
Tilik adalah sebuah kata bahasa Jawa yang artinya menjenguk. Film berdurasi sekitar 32 menit itu menceritakan serombongan ibu-ibu dari sebuah desa di Yogyakarta yang hendak menengok bu lurah di rumah sakit. Film ini diproduksi oleh Ravacana Film pada 2018. Produksi film ini bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan DIY.
Sepanjang perjalanan, ada saja yang dibicarakan. Ini ibu-ibu banget kan, Ma? He-he. Bahkan tidak jarang saat kumpul-kumpul begini jadi ajang untuk bergosip atau membicarakan hal yang sedang hot.
Bu Tejo atau Yu Ning?
Tokoh yang paling membetot perhatian warganet di film Tilik adalah Bu Tejo. Perempuan yang suka bergosip, ngomong sesukanya, tapi punya power untuk didengarkan orang lain. Ya, Bu Tejo adalah sosok yang bisa banget mempengaruhi orang sekitar dengan pendapat dan kesimpulannya.
Dengan data yang sebenarnya belum tentu benar, Bu Tejo bisa mem-framing sesuka dirinya. Dia cocok-cocokkan semua data yang dimiliki dan menarik kesimpulan yang sepintas benar. Padahal belum tentu. Namun, kesimpulan ini langsung dia beberkan ke mana-mana.
Tokoh lainnya adalah Yu Ning. Penampilannya lebih kalem dari Bu Tejo. Dari kata-katanya menyiratkan Yu Ning ini sosok berhati baik. Dia tidak suka membicarakan kejelekan orang lain. Apalagi jika tidak ada data-data yang valid.
Sayangnya, Yu Ning tidak terlalu didengar oleh ibu-ibu lainnya. Padangan positifnya justru kalah telak dari Bu Tejo. Bu Tejo lebih bisa mempengaruhi orang lain. Bu Tejo lebih didengar. Orang yang baik malah seolah tersisih. Mungkin benar, orang-orang lebih tertarik untuk melihat sisi negatif orang lain. Membicarakan orang lain adalah hiburan. Sedangkan berpikir positif pada orang lain dianggap tidak keren.
Hm, mungkin inilah yang membuat program gosip di televisi selalu digemari. Bahwa isu jelek yang entah benar entah tidak, seru untuk dibahas. Apalagi jika isunya memang benar, jadi santapan lezat para julider.
Seperti Siapa Kita di Film Tilik?
Lalu kita seperti tokoh yang mana ya di film Tilik? Saya lebih condong ke Yu Ning. Tidak suka membicarakan orang lain, tapi kurang berpengaruh.
Mungkin terkadang saya pun seperti Bu Tejo. Sibuk membicarakan orang lain sampai lupa melihat diri sendiri. Saat menulis tulisan ini, mungkin saya pun seperti Bu Tejo. Sibuk mengkritisi Bu Tejo. Suudzon pada Bu Tejo. He-he. Kadang kita nggak sadar pada apa yang sedang kita lakukan.
Cerita menarik lainnya ada di sini, Ma: Wabah Corona Tak Kunjung Usai, Terpaksa Kencangkan Ikat…
Terlepas dari kecenderungan pribadi kita pada tokoh yang mana di film Tilik, namun sejatinya kita memang bisa jadi siapa saja. Kadang kita seperti Yu Ning, kadang Bu Tejo, kadang Yu Nah. Terkadang juga kita seperti Dian, sosok yang digosipkan orang sekampung.
Film Tilik dan Kerinduan yang Membuncah
Melihat film Tilik, ada rindu dalam diri yang seketika menjelma menjadi raksasa. Dialog, bahasa, perilaku, dan suasananya sungguh dekat. Maklum, keluarga besar saya ada di Yogyakarta.
Film Tilik sendiri mengambil lokasi di daerah Bantul, Yogyakarta. Jalan yang dilewati truk yang dinaiki Bu Tejo dkk pernah pula saya lewati. Sawah yang menghijau. Hutan Pinus. Ah! Rindu ini menyesakki dada.
Tilik adalah kegiatan yang sehari-hari banget. Apalagi saat menjenguk orang sakit, biasanya dilakukan secara rombongan. Tak peduli tempatnya jauh. Tilik akan tetap dilakukan sebagai bentuk perhatian dan dukungan.
Simak tulisan menarik lainnya di sini, yuk: Ketika Realita Vs Ekspektasi Berbuah Kekecewaan
Jadi ingat dulu saat nenek saya sakit dan dirawat di rumah sakit. Suatu sore, ibu-ibu satu RT datang menjenguk. Seketika ruangan perawatan pun penuh.
Juga ucapan Bu Tejo pada Pak Polisi. Benar-benar mengingatkan kampung halaman. Saat bertemu masalah, sering kali menyebut bahwa diri kita punya kenalan atau saudara di kepolisian. Adegan bersama polisi ini sukses bikin saya ngakak.
Sudah lima bulan ini saya menahan diri untuk tidak ke mana-mana. Tahun ini seharusnya Idul Fitri bersama keluarga besar di Yogyakarta. Namun pandemi Corona membuat saya harus menahan diri.
Tak cuma saya pastinya yang memilih tidak pulang kampung di Lebaran tahun ini. Bukan hanya saya yang menahan diri untuk tidak ke mana-mana. Terpaksa memendam rindu yang entah kapan akan tertunaikan.