“Mama, Maafkan Taqi dan Ariq Ya…”
Hari itu adalah salah satu hari yang mengharu biru buat saya. Hari yang membuat kaca-kaca di netra pecah berhamburan. Tak kuasa menahan bah air mata karena kata-kata kedua jagoan saya, “Mama, maafkan Taqi dan Ariq ya”.
Percakapan saya dan kedua laki-laki kecil itu mulanya biasa saja. Mereka sibuk mengaduk-aduk isi rak plastik di kamar. Tangan-tangan kecilnya menemukan tiket pesawat ke Muenchen, Jerman. Tiket atas nama saya sendiri: Nurvita Indarini.
Tak lama, mereka menemukan mata uang negara asing. Ada Dolar Selandia Baru, Ringgit Malaysia, Riyal Saudi, Euro, Yuan, Dong Vietnam, serta Tugrik Mongolia.
Temuan-temuan itu membuat si sulung, Taqi, menggali ingatan saya di masa lalu. Masa di mana saya leluasa menyalurkan aktualisasi diri sebagai perempuan bekerja di bidang yang disukai.
“Dulu Mama sering ke luar negeri ya?” tanya Taqi.
“Iya, beberapa kali karena tugas dari kantor. Kami dulu menyebutnya workliday. Bekerja sekaligus liburan,” terang saya.
“Senang ya, Ma?”
“Iya, senang, karena sedari Mama kecil pengin bisa jalan-jalan ke negara-negara lain. Mama coba jadi diplomat, tapi nggak bisa. Ternyata rezeki ke luar negerinya dari jenis pekerjaan yang berbeda.”
Percakapan menjadi lebih serius ketika Taqi menanyakan kenapa saya tidak lagi bekerja kantoran seperti dulu.
“Karena Taqi harus masuk sekolah, nggak bisa di daycare terus. Lagipula Mama merasa bersalah kalau Taqi harus dijemput paling malam. Selain itu, ‘kan ada Ariq. Tahu sendiri Ariq nempel terus ke Mama,” jelas saya.
Tiba-tiba, mata Taqi berkaca-kaca. Saya terkejut mendapatinya seperti itu.
“Mama, Maafkan Taqi dan Ariq Ya… Dulu Mama senang bisa kerja sambil jalan-jalan. Karena ada Taqi dan Ariq, Mama harus berkorban. Mama jadi banyak di rumah, beres-beres rumah, memasak, ajak main Taqi sama Ariq. Mama bangun paling pagi dan tidur paling malam. Mama nggak bisa lagi ke luar negeri. Taqi sama Ariq jahat ya Ma?” Putraku tersedu-sedu.
Apa? Berkorban kamu bilang, Nak? Itu pilihan Mama, atas izin Ayah kalian.
Pengorbanan dan Kebahagiaan Seorang Ibu
Nak, hidup itu ada fasenya. Dulu, saat Mama belum menikah, Mama leluasa mengejar mimpi. Juga melakukan apa pun yang disukai. Sepertinya tidak ada beban. Mama bersyukur sekali Allah hadirkan kesempatan itu.
Namun, hidup nggak bisa begitu-begitu saja. Mama harus naik kelas. Ketika Mama menikah, tentu nggak bisa berlaku dan memiliki cara pikir seperti perempuan lajang.
Kendati Mama dulu pernah merasa “lebih” dalam beberapa hal dari Ayah, tapi posisi Mama tetaplah istri. Harus menurut pada suami selama sesuai dengan syariat agama. Mudah? Fiuh, subhanallah susah sekali.
Pertengkaran kerap menghiasi rumah tangga Mama dan Ayah. Jangan dicontoh ya, Nak. Semua karena kami tidak melandaskan pada ilmu agama. Belum lillahi ta’alla membuat setan kerap bercokol di hati.
Baca tulisan ini juga yuk: Pahala Mengasuh Anak dan Hadits-hadits Hak Perempuan
Namun, Mama dan Ayah sama-sama belajar. Memperbaiki komunikasi, juga belajar menahan diri. Sungguh tidak mudah menjalani ibadah terpanjang ini. Sering kali belajarnya berantakan. Akan tetapi, alhamdulillah Allah tidak meninggalkan.
Taqi, kamu tahu, dulu keinginan terbesarmu adalah melihat Mama lebih sering di rumah pakai baju bunga-bunga. Maksudnya adalah baju daster. Ternyata bagi Taqi kecil, bukan Mama dengan jabatan tertentu di kantor yang jadi impian. Bukan pula Mama yang punya pendapatan besar. Taqi merasa dimanjakan jika bisa bermain dan belajar bersama Mama.
Rupanya Allah sayang sama kita. Dia hadirkan kesempatan untuk mewujudkan keinginan kecil Taqi. Hampir lima tahun terakhir ini, Taqi lebih banyak mendapati Mama di rumah. Berkeliaran di seantero rumah menggunakan baju bunga-bunga.
Baju kebesaran itu semakin menampakkan “kharismanya” kala Mama membawa lap pel dan sapu untuk menyusuri tiap jengkal lantai rumah. Bukan dilakukan sekali sehari, tapi berkali-kali dalam sehari.
Jika Taqi bilang Mama berkorban untuk kalian, maka itu wajar. Namun ingat, Ayah pun melakukan pengorbanan yang tak kalah besar. Ayah pernah bekerja di dua tempat demi bisa menghidupi kita dengan layak. Berdamai dengan tempat kerja yang berganti-ganti. Juga menghadapi orang-orang yang gemar menyakiti hati.
Menjadi orang tua itu harus siap lebih lelah. Harus siap mengorbankan kesenangan dan kebebasan yang dulu dimiliki. Lantas, apa kami tidak bahagia?
Semakin ke sini, Mama semakin sadar. Bahagia itu bukan karena bekerja di tempat bonafide dengan gaji besar. Bahagia juga bukan karena bisa leluasa workliday ke luar negeri atau daerah lain di Indonesia. Saat ini, Mama bahagia melihat keluarga Mama sehat dan ceria.
Betapa syukur itu meluncur tinggi-tinggi melihat Taqi, Ariq, dan Ayah tidur dengan lelap. Tidur dengan perut kenyang dan baju yang bersih. Bahagia sekali bisa menjalani peran sebagai ibu dari dua anak yang Allah berikan. Meski memang, sering kali masih ada keluh kala diri dihujani peluh. Semoga Allah tambah kesabaran dan keikhlasan Mama ya.
Hidup Itu Pilihan, Pilihlah dengan Lillahi Ta’alla
Duluuuu, ketika jahiliyah masih lebih dominan dalam diri saya, setiap kali menentukan pilihan, dasarnya diri sendiri. Ya, perasaan dan pikiran sendiri.
Padahal, hidup ini sudah ada manual book-nya yaitu Al-Qur’an. Ada pula Al-hadits yang membantu memudahkan kita untuk menjalani hidup ini.
Kala itu, saat menjatuhkan pilihan meninggalkan pekerjaan kantoran, jujur masih belum lillahi ta’alla. Pertimbangannya masih duniawi. “Ingin lebih banyak membersamai anak. Apalagi anak akan masuk sekolah, dan akan ada manusia baru dalam hidup ini yang butuh perhatian besar”.
Sama seperti dulu akan menikah, saya pun belum lillahi ta’alla. Hanya berpikir bahwa calon pasangan itu lebih banyak kliknya, lebih banyak nyambungnya, sepertinya sosok pekerja keras yang sayang keluarga, serta beribadah cukup baik. Sudah, merasa cukup begitu saja.
Ke sini-sini, saya diingatkan di berbagai kajian, jika niat semula belum lillahi ta’alla, maka segeralah mengubah niat menjadi lillahi ta’alla. Apa sih yang dicari dalam hidup ini selain rida Allah?
Jika niat kita belum lillahi ta’alla, tentu masih banyak bergantungnya pada manusia. Inginnya manusia menyesuaikan dengan kita, memahami kita, dsb. Padahal bergantung pada manusia itu ujungnya kecewa.
Baca tulisan ini juga yuk: Memutuskan Menjadi Stay at Home Mom Tak Selalu Mudah
Saya pun berusaha mengubah niat menjadi ibu di rumah dengan lillahi ta’alla. Ya, agar tidak merasa terbebani kala diri sudah merasa berkorban menjadi seorang ibu. Agar tidak merasa paling berkorban dibanding pasangan. Mengesampingkan ego diri demi menjemput rida Allah.
Pada akhirnya, urusan rizki, urusan tawakal pada Allah. Mencoba bersyukur, sehingga meski lebih sedikit yang didapat tetapi merasa cukup. Dengan merasa cukup, suami pun nggak kerja mati-matian. Kami jadi punya waktu untuk belajar mendekatkan diri pada Allah.
Lelahnya Seorang Ibu
Dulu saat masih bekerja kantoran, badan memang lelah. Pikiran dan jiwa juga lelah. Namun, mencoba menguatkan diri karena butuh peran tambahan dari diri ini untuk tambahan nafkah bagi keluarga.
Banyak sekali pengeluaran keluarga, baik untuk keluarga kecil kami, juga untuk orang tua dan saudara. Kala itu mustahil jika suami bekerja sendiri. Alhamdulillah pelan-pelan tanggung jawab finansial mulai berkurang, sehingga berani untuk resign.
Tak dinyana, menjadi ibu di rumah tidak lantas membuat hidup jadi lebih mudah. Lebih capek, lebih rentan stres, rentan burnout. Bahkan kadang merasa tertekan, kala finansial tak lagi sebesar masa-masa bekerja kantoran. Akan tetapi harus mengingatkan diri, bahwa takdir telah ditakar dan rezeki tidak tertukar.
Ternyata kadang merasa nggak cukup karena diri ini tidak bisa menempatkan prioritas. Terkadang tidak bisa membedakan kebutuhan dan keinginan, lantaran keinginan kerap mencuat dengan balutan kebutuhan.
Baca juga tulisan ini yuk: ‘Perempuan Memang Didesain Kuat’
At the end, harus selalu mengingatkan diri bahwa perempuan terbaik adalah yang taat pada suami. Juga menunaikan kewajiban sebagai istri dan berupaya menyenangkan suami. Ketika istri baik pada suami, suami pun berlaku sama. Saling mengisi, saling menyayangi. Saling memberi, bukan saling menuntut.
Seperti dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata, pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci”. (HR. An Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Seorang wanita menjadi pemimpin di rumah suaminya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai hal itu. Semoga kelak kita, para ibu, bisa mempertanggungjawabkan dengan baik ya, Ma. Semoga pengorbanan kita sebagai ibu dicatat pahala, dan lelah kita, baik sebagai ibu bekerja atau ibu di rumah, sama-sama menjadi lillah.
Khusus terkait pilihan saya, seperti pernah ditulis seorang perempuan di luar sana, dia bilang antara lain begini:
“… Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya dan lebih serius mengurus anak-anak.”
Semoga pengorbanan sebagai ibu yang kita lakukan mendapat rida dari Allah. Aamiin.