Menjadi Keluarga Tangguh agar Bisa Bertahan Saat Pandemi

Pandemi Covid-19 sudah hampir dua tahun melanda dunia. Indonesia pun turut terkena imbasnya. Di masa-masa awal pandemi, banyak orang di Negeri ini yang hidupnya semakin tidak pasti. Beberapa usaha gulung tikar. Orang-orang kehilangan pekerjaan. Ekonomi terasa begitu sulit.

Ketika beberaa orang berjuang mengais rupiah untuk bertahan hidup, sebagian orang lainnya berjuang untuk sembuh dari Covid-19. Kabar duka terdengar hampirvsetiap hari. Ada keluarga yang harus kehilangan orang terkasih, bahkan ada juga yang kehilangan tulang punggungnya.

Berbagai kegiatan yang semua bebas dilakukan, sejak pandemi harus dibatasi. Imbauan untuk di rumah saja terus digemborkan. Beberapa pekerja kantoran pindah lokasi kerja di rumah masing-masing. Bahkan para pelajar pun harus sekolah dari rumah. Ya, kebijakan pembelajaran jarak jauh alias PJJ diambil untuk mencegah meluasnya penularan Covid-19.

Meski katanya rumahku adalah surgaku, nyatanya tidak selalu demikian. Banyaknya beban dan tekanan membuat beberapa ibu mengeluh. Lelah fisik dan “kewajiban” melakukan berbagai hal di waktu hampir bersamaan memunculkan kelelahan batin. Akibat dari hal ini banyak ibu yang jadi mudah tersulut emosinya.

BBC melaporkan beberapa negara seperti Amerika Serikat, China, dan Swedia melaporkan adanya peningkatan kasus perceraian selama pandemi Covid-19. Rupanya akar permasalahannya tidak hanya masalah ekonomi, namun juga psikologis.

Yuk, baca juga: Harapan 2021: Virus Corona di Indonesia Segera Lenyap

Kabar baiknya, pada periode Agustus hingga Oktober 2021 ini, penambahan kasus konfirmasi covid-19 mengalami penurunan. Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan pada 1-7 Agustus, kumulatif kasus Covid-19 berjumlah 229.598.

Selanjutnya pada 8-14 Agustus tercatat 193.925 kasus. Kondisi ini terus turun di pekan-pekan selanjutnya. Pada 15-21 Agustus, kasus turun menjadi 133.507. Sedangkan pada 22-28 Agustus, tercatat 99.356 kasus.

Meski begitu, kita tidak boleh lengah. Kondisi belum seratus persen aman. Situasi ini memang tidak mudah dijalani. Butuh semangat kuat untuk bertahan dan ketawakalan dalam menjalani hidup.

Setiap peristiwa tentu memberikan hikmah bagi mereka yang mau mengambil pelajaran. Semua menjadi bekal agar lebih bisa mempersiapkan diri ketika peristiwa serupa terjadi. Dengan begitu, akan lebih banyak sosok dan keluarga tangguh yang bisa bertahan kala pandemi melanda.

Finansial Keluarga Tangguh dengan Dana Darurat

keluarga tangguh saat pandemi
Tantangan finansial melanda saat pandemi terjadi/ Foto: Canva

Dalam hidup, uang memang bukan hal utama. Namun, bukan berarti arti penting uang dikesampingkan. Banyak hal baru bisa dilakukan jika ada uang. Namun, besarnya uang yang dimiliki suatu keluarga tidak serta merta membuatnya tangguh dari badai finasial.

Tanpa pengelolaan finansial yang baik, uang sebanyak apa pun bisa jadi kehilangan arti. Misalnya begini, keluarga Fulan memiliki pemasukan total seratus juta rupiah. Namun, mereka tidak memiliki perencanaan keuangan.

Uang keluarga Fulan hampir selalu habis untuk membiayai gaya hidup. Tabungan nyaris tidak ada, bahkan dana darurat pun tidak punya. Ketika pandemi melanda dan Fulan kehilangan pekerjaan, keluarganya harus terseok-seok bertahan hidup.

Beda halnya dengan keluarga Fulano, misalnya. Setiap bulan, pemasukan total mereka dua puluh juta rupiah. Angka yang jauh lebih sedikit ketimbang keluarga Fulan. Namun, Fulano memiliki perencanaan keuangan yang baik. Ada pos-pos keuangan yang mereka buat, salah satunya adalah pos dana darurat.

Namanya dana darurat, tentu ini adalah dana yang sengaja disimpan untuk digunakan dalam situasi darurat. Misalnya saat kecelakaan, rumah yang tiba-tiba rusak, dan yang paling sering adalah ketika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara mendadak.

Tulisan ini dibaca juga yuk: Wabah Corona Tak Kunjung Usai, Terpaksa Kencangkan Ikat Pinggang

Dengan adanya dana darurat, ada banyak keuntungan yang bisa didapat. Pertama, tidak bingung saat butuh uang tunai dalam jumlah besar. Kedua, dana cadangan juga bisa menjadi antisipasi kerugian. Misalnya ketika kita butuh uang, tidak perlu menggadaikan barang atau mencari pinjaman dengan bunga yang mencekik leher. Ketiga, keberadaan darurat bisa membuat hidup lebih tenang.

Nah, besaran dana darurat berbeda-beda, sesuai status dan kondisi masing-masing. Idealnya, dana darurat yang harus disiapkan adalah 6-12 kali lipat pengeluaran per bulan. Jika belum menikah, maka dana daruratnya enam kali lipat per bulan. Untuk yang sudah menikah, dana daruratnya sembilan kali per bulan. Sedangkan untuk yang menikah dan punya anak, maka dana daruratnya 12 kali lipat pengeluaran per bulan.

Hmm, banyak juga ya dana darurat yang perlu dimiliki. Sebenarnya perhitungan ini sejalan dengan asumsi jika suatu saat keluarga dengan anak tidak memiliki penghasilan, maka setidaknya kehidupan akan aman dalam dua belas bulan ke depan. Harapannya sebelum bulan ketiga belas, sudah ada sumber pemasukan lagi untuk keluarga. Dengan begitu, sebuah keluarga akan relatif tangguh menghadapi badai finansial.

Memperkuat Pendidikan dari Rumah

Terkadang sebagai orang tua, kita menyerahkan tanggung jawab yang lebih besar pada pihak sekolah terkait pendidikan anak. Hal itu membuat kita kalang kabut, merasa tidak siap dan tertekan ketika harus menjadi “guru” bagi anak yang sedang belajar jarak jauh.

Ketika pembelajaran tatap muka (PTM) tak kunjung terealisasi karena angka kasus Covid-19 yang tak juga turun, tekanan semakin berat. Pun ketika saat ini, khususnya wilayah Jakarta, PTM mulai dilakukan, tekanan tak kunjung usai. Penyebabnya adalah PTM yang masih dilakukan terbatas. Anak belum sekolah secara penuh di kelasnya.

Alih-alih berusaha untuk ikut belajar lagi, kita malah sibuk menyalahkan keadaan dan pembuat kebijakan. Kita menyayangkan anak-anak yang kemampuan akademisnya tidak berkembang dengan baik. Kita juga kecewa karena anak tidak mau diajari orang tuanya. Alhasil orang tuanya stres berat.

Menjadi pendidik memang tidak mudah. Rasanya lebih mudah mendidik anak orang lain ketimbang mendidik anak sendiri. Ini karena anak sendiri lebih banyak bikin kita permisif, yang mana hal itu justru jadi bumerang. Selain itu, karena merasa yang diajari anak sendiri, kita merasa boleh memarahinya saat mereka tidak paham.

Baca tulisan ini juga ya: 2 Tahun School from Home, Begini Suka Duka Online Learning

Dengan pandemi yang panjang ini, kita bisa mengambil pelajaran untuk memperkuat pendidikan anak dari rumah. Kita bisa membiasakan diri sebagai keluarga pembelajar. Belajar tidak seharusnya terlalu sempit, hanya dibatasi tembok-tembok ruang kelas semata.

Hal-hal sehari-hari bisa jadi media pembelajaran, jika kita mau melakukannya. Terlebih soal pendidikan karakter. Jangan sampai karena fokus pada akademis membuat kita lupa bagaimana menumbuhkan karakter anak yang baik dan berakhlak Islami.

Satu hal yang perlu selalu kita ingat adalah memberi contoh yang baik pada anak-anak. Mustahil anak-anak akan tumbuh menjadi orang saleh jika orang tuanya sama sekali tidak berusaha mensalehkan diri.

Belajar Mengelola Ekspektasi dan Emosi

Kesejahteraan emosi penting banget bagi keluarga saat kondisi sulit/ Foto: Canva

Ekspektasi sering kali tak sejalan dengan realita. Hal itu terkadang menimbulkan tekanan tersendiri. Akibatnya emosi pun sering meluap, lalu hal-hal negatif melekat. Rumah yang seharusnya menjadi “surga” seketika terasa seperti “neraka”. Naudzubillah min dzalik.

Mengelola ekspektasi adalah proses yang rumit. Ketika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan, sangat mudah menyalahkan orang lain. Misalnya ketika suami tak kunjung mendapatkan pekerjaan, padahal kebutuhan hidup meningkat, tentu istri rasanya kesal bukan main.

Apalagi ketika si istri berusaha mencari penghasilan dan di saat yang sama harus pula mengurus pekerjaan domestik. Ekspektasinya suami lebih giat mencari kerja, sedangkan istri fokus pada kegiatan domestik dan mengurus anak. Saat realita tak sesuai ekspektasi, rasanya ingin selalu menyalahkan pihak lain. Pihak lain pun jadi pelampiasan emosi. Jika itu dirasakan, sebaiknya jangan dituruti.

Sebelum melihat ke luar, kita perlu melihat ke dalam diri sendiri. Ada baiknya merenung sesaat, bahwa ada hal yang bisa kita kontrol dan yang tidak bisa dikontrol. Nah, hal yang tidak bisa dikontrol sebaiknya jangan terlalu diambil pusing.

Di tengah pandemi yang banyak membatasi keleluasaan, kita harus berdamai dengan banyak hal tidak menyenangkan. Namanya mencoba berdamai dengan hal yang tidak enak, tentu tidak selalu mudah. Wajar sekali.

Namun, kita harus belajar untuk mengelola ekspektasi dan emosi, meskipun sama sekali tidak mudah. Agar langkah ini terasa lebih mudah, jangan lupa untuk mengenali dan memvalidasi emosi yang sedang dirasakan.

Langkah selanjutnya adalah berusaha melihat hal positif terlebih dahulu, ketimbang selalu fokus pada hal negatif. Untuk membuat diri lebih tenang dan sadar dengan semua yang terjadi tanpa bersikap impulsif, kita bisa melatih pernapasan. Ajak diri menarik napas perlahan, lalu hembuskan dengan perlahan juga. Lakukan setidaknya lima kali.

Istighfar penting dilakukan sembari menarik napas. Insya Allah akan membuat diri lebih cepat tenang. Jangan lupa juga untuk meminta kepada Allah agar dimudahkan dan dikuatkan. Apalagi Allah telah berjanji dalam QS. Al-Baqarah ayat 286 untuk tidak membebani hamba kecuali menurut kemampuannya.

Keluarga Tangguh Saling Jaga dan Peduli

Saling menjaga dan saling peduli adalah sikap yang perlu selalu dilakukan untuk menjadi keluarga tangguh. Saling mengingatkan dan menasihati dalam kebaikan adalah hal baik yang perlu selalu dilakukan. Dengan demikian anggota keluarga tidak mudah tergoda tipu daya setan.

Ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-‘Ashr ayah 2-3: “Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran, dan saling menasihati untuk kesabaran.”

Nasihat dan pengingat yang baik misalnya untuk selalu menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus Corona. Selain itu kita bisa mengajak anggota keluarga untuk melaukan vaksinasi Covid-19. Nasib dan umur seseorang memang tidak ada yang tahu, tetapi kita bisa berikhtiar secara maksimal untuk tetap sehat dan produktif.

Jangan sampai kita malah berkutat dengan aneka teori konspirasi dan kabar hoaks yang beredar di media sosial, terkait merebaknya pandemi ini. Hal-hal semacam itu justru kontraproduktif dengan tujuan menjadikan keluarga tangguh. Alih-alih menyebarkan kabar tidak pasti, lebih baik mengingatkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.

Atas kehendak Allah pandemi terjadi. Atas kehendak-Nya pula kasus Covid-19 perlahan turun. Tanpa campur tangan Allah, mustahil penyakit ini akan terkendali.

Atas semua kehilangan dan kepahitan yang pernah dilalui, semoga semakin menambah keimanan kita. Allah yang menguatkan dan memampukan. Dengan kuasa Allah pula, ikhtiar menjadi keluarga tangguh akan dimudahkan. Kita harus yakin, di tengah kondisi terpahit sekali pun, Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya. Untuk itu, kita harus selalu berzikir, beribadah, mendekat pada-Nya, dan mengikuti jejak Nabi Muhammad, SAW.

Referensi:

Menkes: Ada Imunitas Alami dan Vaksin, Kasus Covid Turun”. (2021). Diakses pada 11 Oktober 2021, dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211011172952-20-706275/menkes-ada-imunitas-alami-dan-vaksin-kasus-covid-turun

Maddy Savage. Mengapa Angka Perceraian di Berbagai Negara Melonjak saat Pandemi Covid-19?. (2020). Diakses pada 11 Oktober 2021, dari https://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-55284729

Mari Persiapkan Dana Darurat! (2020). Diakses pada 11 Oktober 2021, dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-suluttenggomalut/baca-artikel/13573/Mari-Persiapkan-Dana-Darurat.html

Jumlah Kasus COVID-19 Turun Drastis, Rakyat Indonesia Dianggap Sudah Punya Kekebalan. (2021). Diakses pada 14 Oktober 2021, dari https://www.voaindonesia.com/a/jumlah-kasus-covid-19-turun-drastis-rakyat-indonesia-dianggap-sudah-punya-kekebalan/6267032.html

Leave A Reply

Your email address will not be published.

www.kirmiziyilan.com