Catatan Kecil Saat Mudik; Niatnya Liburan, Malah Dirawat di RS

Libur kenaikan kelas tiba. Anak-anak bahagia luar biasa, karena akhirnya bisa mudik dan liburan di Yogyakarta. Nyatanya, siapa nyana malah dirawat di RS karena hal yang tak disangka-sangka. Hiks, demikianlah hidup, terkadang ekspektasi tak sejalan dengan realita.

Ya, jadi liburan kenaikan kelas ini, saya mengajak anak-anak mudik ke Yogyakarta. Kebetulan di bulan Juni ini ada beberapa hal yang perlu diurus juga di kota tersebut. Sekalian juga biar anak-anak bisa bertemu dan bermain bersama sepupu-sepupunya.

Kisah realita dan ekspektasi yang tak sejalan ini terjadi di suatu siang. Jam di dinding menunjuk angka dua. Cuaca di Yogyakarta cukup terik. Saya baru saja membantu si bungsu bebersih dan mengganti celananya. Maklum, dirinya basah karena nyemplung ke kolam ikan.

Tiba-tiba seorang tetangga datang tergopoh-gopoh. “Mbak, itu tadi anaknya jatuh dari sepeda,” ujarnya sambil menunjuk ke suatu arah.

Astaghfirullah. Rasanya hati dan kepala langsung mendidih. “Duh, ngeyel banget sih dibilangin. ‘Kan tadi sudah dikasih tahu, naik sepedanya nanti saja saat jalanan tidak ramai,” ucap saya dalam hati sambil menuju tempat kejadian perkara.

Hati saya mencelos. Si sulung tergeletak di jalan. Beberapa orang mengerumuninya. Ya Allah, jarak tiga ratus meter yang saya tempuh dengan berjalan kaki, rasanya seperti ratusan kilometer.

Dibawa ke UGD

Pendaftaran di UGD RSIY/ Foto oleh Nurvita Indarini

Sesampainya di TKP, seorang pria muda bermotor menawarkan mengantarkan anak saya ke rumah. Anak saya bangkit dengan posisi badan membungkuk, dan naik di sepeda motor bagian depan.

Tangan kanan anak saya memegangi dada. Wajahnya pucat. Di dahinya, keringat mengalir. Begitu tiba di rumah keluarga, anak saya langsung turun dari sepeda motor. Seketika, dia berbaring di lantai. Padahal lantai teras sedang kotor.

Saya bantu dia untuk rebahan di kursi panjang. Di situlah, dia mulai kesakitan. Katanya setiap bernapas, muncul nyeri di dadanya. Duh!

Akhirnya saya putuskan untuk membawanya ke rumah sakit (RS) terdekat, yakni RSIY PDHI. Untung ojek online yang dipesan segera tiba, sehingga segera melaju ke UGD RS.

“Tolong, Ma. Sakit sekali. Selamatkan Taqi,” rintihnya. Duh, kalimatnya bikin saya makit kalut dan panik.

Sesampainya di UGD RS, anak saya langsung dibawa ke ruangan, sementara saya mengurus administrasi. Mulanya, saya menunjukkan foto kartu asuransi dari kantor suami. Saat dicek petugas, ternyata ditolak karena tidak bekerja sama. Hiks. Akhirnya memutuskan pakai biaya pribadi.

Anak saya lantas menjalani rontgen toraks, CT scan, dan tes darah. Dari CT scan, semua aman. Hanya saja untuk toraksnya, dokter khawatir terjadi keretakan. Akhirnya diputuskan dirawat di RS untuk observasi.

Semoga Baik-baik Saja, Ya, Nak

Anak saat dirawat di RS/ Foto oleh Nurvita Indarini

Ketika mengurus proses rawat inap, saya tanya kepada petugas apakah bisa menggunakan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Kebetulan kartunya juga ketinggalan, tetapi suami sudah mengirim KIS online.

Alhamdulillah, bisa langsung diproses. Petugas hanya minta nomor KIS-nya. Setelah itu, saya diminta mengisi formulir yang antara lain berisi kronologi kejadian.

Tak lama, anak saya dibawa ke bangsal anak. Dia dirawat di RS di ruang rawat sesuai kelas. Saya tidak mengajukan upgrade karena memang sedang banyak pengeluaran bulan ini.

Alhamdulillah, anak saya menghabiskan makan sorenya dengan lahap. Kendati demikian, dia masih merasakan nyeri di dada.

Di malam hari menjelang tidur, dia pun gelisah. Seperti tidak nyaman saat bernapas, padahal sudah memakai selang oksigen. Setelah diberi obat pereda nyeri, barulah dia bisa beristirahat menjelang tengah malam.

Alhamdulillah tidurnya cukup nyenyak. Anak saya bangun saat subuh untuk melaksanakan salat. Televisi di ruang perawatan mengalami gangguan, sehingga bikin anak saya “gabut” dan memilih tidur lagi.

Bismillah, semoga semua baik-baik saja, sehingga bisa segera istirahat di rumah, ya, Nak.

Ketika Ekspektasi dan Realita Tidak Sejalan

Realita dan ekspektasi/ Foto dari Canva

Saat ekspektasi dan realita tak sejalan, rasanya kesal dan sedih. Terlintas di benak, kenapa sih ada saja ujiannya, padahal sudah berusaha jadi orang baik. Kenapa orang yang nggak baik dan yang nggak memikirkan perasaan orang lain, justru sering kali mendapat keberuntungan.

Pada akhirnya saya sadar bahwa ekspektasi yang tidak selaras dengan kenyataan bisa mengurangi rasa syukur. Protes pada keadaan, membandingkan kondisi sendiri dan orang lain, adalah hal-hal yang bisa menghilangkan rasa menghargai atas apa yang dimiliki.

Benar, bersyukur adalah tentang menghargai apa yang dimiliki, bukan meratapi apa yang tidak dipunyai. Ini sejalan dengan penelitian yang digelar pada 2018 lalu. Meski obyek penelitiannya adalah lansia, tapi kesimpulan penelitiannya saya kira related dengan berbagai usia.

Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Mental and Health Being tersebut menyimpulkan bahwa bersyukur dan menikmati hidup dapat meningkatkan kepuasan hidup, afek positif, serta kebahagiaan. Bahkan obyek yang mendapat pelatihan tentang optimisme tidak mendapatkan hasil sebaik mereka yang berlatih mensyukuri hidup.

Cara Mengelola Ekspektasi

Mengelola ekspektasi/ Foto oleh Canva

Memiliki ekspektasi atas suatu hal memang bukan kesalahan. Hanya saja kita perlu mengelola ekspektasi, agar kelak tidak memunculkan kekecewaan dan stres.

Sejujurnya, beberapa kali saya masih kecewa karena ekspektasi dan realita yang tidak sejalan. Ya, bukan kali ini saja saat anak saya malah dirawat di RS saat liburan yang bikin saya kecewa dan sedih. Ada berbagai momen yang bikin mood berantakan akibat realita yang tak sesuai ekspektasi.

Berdasar beberapa pengalaman tersebut, ada beberapa hal yang bisa diambil pelajaran untuk mengelola ekspektasi.

1. Realistis

Dalam berekspektasi harus benar-benar realistis. Kita harus ingat bahwa di dunia ini, satu-satunya yang bisa dikontrol hanyalah diri sendiri.

Jadi, jika kita berekspektasi situasi dan orang-orang akan bertindak seperti yang kita mau, maka itu tidak realistis. Bahkan anak dan pasangan kita sendiri punya kemauan, cara pandang, dan kebiasaan yang berbeda.

Ada kalanya orang lain tidak mendengarkan saran kita. Mereka pun tidak peka pada sesuatu yang kita harapkan kepekaannya. Hal terbaik yang bisa kita lakukan hanyalah melakukan bagian kita dengan baik. Sisanya, biarkan Allah yang mengatur. Termasuk mengatur hati dan kehendak orang lain.

2. Berlatih Bersyukur

Dunia terkadang bukan melulu seperti yang kita mau. Namun, ketika sesuatu terjadi tidak seperti yang diharapkan, yuk, coba cari sisi positif yang dimiliki.

Seperti saat anak saya jatuh dari sepeda dan harus dirawat di RS ini. Ada kecewa dan sedih yang bergumul sih. Kecewa kenapa anak saya tidak mau mendengar kata-kata saya untuk tidak main sepeda. Sedih karena melihat dirinya kesakitan.

Akan tetapi, di balik peristiwa tersebut, seharusnya saya masih bisa bersyukur. Ya, bersyukur karena anak saya ternyata tidak mengalami pendarahan di otak. Bersyukur pengobatannya masih bisa ditanggung KIS. Bersyukur, pagi ini anak saya tidak merasakan sakit seperti sebelumnya.

Dari hal-hal yang kita anggap buruk, sebenarnya masih banyak hal-hal positifnya. Terkadang semua itu tergantung sudut pandangnya.

Ilustrasi bersyukur/ Foto oleh Canva

3. Ojo Dibanding-bandingke

Setiap orang punya ujian dan masalahnya sendiri, jadi nggak seharusnya kita membanding-bandingkan masalah kita dengan masalah orang lain. Ojo dibanding-bandingke.

Nyatanya, apa yang kita lihat belum tentu sama dengan yang sebenarnya dialami orang lain. Jadi sebaiknya jangan pernah merasa paling menderita dengan ujian yang Allah beri.

4. Menghargai dan Menikmati yang Dimiliki

Beberapa hari yang lalu mungkin saya merasa akan bahagia jika semua urusan saat liburan segera selesai, lalu bisa bersenang-senang bersama keluarga. Nyatanya, anak harus dirawat di RS sebagai ujian bagi saya.

Ketika kesal dan kecewa, perlu bertanya pada diri sendiri; apakah hal tersebut yang akan benar-benar membuat saya bahagia? Padahal bisa jadi kebahagiaan itu tidak akan bertahan lama.

Alih-alih menghujat hal-hal yang meleset dari rencana, lebih baik menghargai dan mensyukuri nikmat yang Allah berikan. Betapa senangnya melihat si sulung akhirnya tidur nyenyak dan makan dengan lahap.

Bersyukur sekali si bungsu yang ditinggal di rumah keluarga tidak rewel berlebihan. Ada keluarga besar yang bisa membantu menjaga si kecil. Maklum, si bungsu adalah sosok yang selalu “termama-mama”, jadi saya harus berpikir panjang saat harus berjauhan darinya.

Pada akhirnya belajar menerima segala kondisi/ Foto dari Canva

5. Belajar Menerima

Ketika ekspektasi tidak selaras dengan realita, kita mungkin akan cenderung menyalahkan. Entah itu menyalahkan diri sendiri, atau menyalahkan orang lain.

Saya bisa jadi tergoda menyalahkan si sulung yang tidak mau mendengar kata-kata saya untuk tidak bersepeda di siang itu. Sekaligus juga menyalahkan diri sendiri, kenapa tidak menyimpan sepeda itu dari penglihatan anak-anak.

Namun, semua hal sudah digariskan. Ada ketentuan Allah yang tidak bisa dilawan. Jadi, pada akhirnya kita harus belajar menerima, sepahit apa pun.

Bukankah Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, seperti firman-Nya di Surah Al Baqarah ayat 286.

Lagi pula, Allah berjanji di setiap kesulitan akan ada kemudahan. Sesulit apa pun beban hidup yang dihadapi, kita masih punya Allah untuk mengadu dan menggantungkan hati.

Penutup

makanan saar dirawat di RS
Anak yang selalu menghabiskan makanan saat dirawat di RS adalah sesuatu yang perlu disyukuri/ Foto oleh Nurvita Indarini

Namanya hidup, pasti tidak semua hal berjalan seperti yang diekspektasikan. Kecewa boleh, tapi jangan sampai berlebihan dan marah pada Allah.

Harapan saya di mudik dan libur kali ini memang bisa menyelesaikan urusan di Yogyakarta sesegera mungkin. Apalagi masih banyak hal yang berderet menunggu dirampungkan. Namun, jika kemudian hal-hal yang direncanakan tidak berjalan secepat yang diinginkan, seperti karena anak harus dirawat di RS seperti ini, ya nggak apa-apa.

Kadang Allah ingin memperlambat langkah kita karena suatu tujuan. Mungkin tujuannya masih berselimut misteri, tapi nggak apa-apa. Jalani saja apa yang sudah digariskan dan ditetapkan.

Referensi

Salces-Cubero, I. M., Ramírez-Fernández, E., & Ortega-Martínez, A. R. (2018). Strengths in older adults: differential effect of savoring, gratitude and optimism on well-being. Aging & Mental Health, 23(8), 1017–1024. https://doi.org/10.1080/13607863.2018.1471585

verywellmind.com. The Expectations vs. Reality Trap, https://www.verywellmind.com/expectation-vs-reality-trap-4570968, diakses pada 24 Juni 2024.

3 Comments
  1. Annisa Khairiyyah Rahmi says

    Cepat pulih kembali adek. Kadang kalau ada kejadian yang tidak sesuai ekspektasi, ada rasa kesal sih, cuma bagaimana lagi. Nggak semuanya harus sesuai keinginan kita. Peluk makkk

    1. Laila RI says

      Ya Allah, semoga cepat pulih ya Dek Taqi..
      Bener sih kak, harus pinter-pinter mengelola ekspektasi agar ngga terlalu kecewa juga.. peluk jauh untuk mama…

  2. Uswatun Khasanah says

    Sehat-sehat sekeluarga ya, Kak. Semoga si sulung segera pulih kondisinya. Apa yang menurut kita baik, belum tentu baik juga menurut Allah dan begitu pula sebaliknya. Allah paling paham apa yang hamba-Nya butuhkan ❤️

Leave A Reply

Your email address will not be published.

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.