Catatan Kecil tentang Kebanggaan di Hari Penerimaan Raport
21 Juni 2024 ini adalah hari penerimaan raport untuk si sulung yang duduk di kelas empat sekolah dasar (SD). Saat mendengar kata demi kata dari Bu Guru kala raport diberikan, ada kaca yang bertengger di mata dan siap pecah.
Sungguh terharu dengan pencapaian si sulung secara akademis. Padahal menjelang penilaian akhir semester lalu, saya sempat mengomelinya panjang lebar. Gara-garanya adalah dia kelupaan membawa pulang buku pelajaran. Padahal esok hari akan ada penilaian.
Ini bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, saat bukunya ketinggalan, saya minta difotokan isi materi buku pada orang tua temannya. Pernah pula, saya cari materinya di internet. Nah, belakangan saya tidak mau lagi melakukannya.
Ya, anak saya mau menangis dan merengek sekencang apa pun, saya tetap bergeming. Biarkan dia mendapat konsekuensi atas keteledorannya. Dia tidak bisa terus-menerus berharap mamanya akan selalu menjadi “pahlawan” atas kelalaiannya.
Nah, hari ini, saya punya sedikit catatan kecil tentang hari penerimaan raport si sulung. Setelah tulisan ini usai, saya akan meminta dia membacanya. Semoga barisan kata ini akan jadi pengingat baginya, bahwa mama akan selalu jadi pendukungnya, tapi tidak bisa selalu menjadi “penyelamatnya”.
Buku-Buku Pelajaran yang Tertinggal
Saya lanjutkan lagi cerita tentang buku pelajaran yang tertinggal, padahal dia harus belajar untuk penilaian ya. Esok paginya, dia berangkat lebih pagi agar bisa baca-baca materi untuk penilaian.
Saat si sulung pulang sekolah, saya tanya apakah dia bisa mengerjakan soal-soalnya. “Bisa, Ma. Soalnya kalau pelajaran ‘kan Taqi menyimak, jadi Taqi ingat. Ada sih yang lupa, tapi sedikit. Mungkin salah satu atau dua,” tuturnya.
Ada sedikit kelegaan di dada. Bukan, bukan karena kemungkinan jawaban penilaiannya hanya salah satu atau dua. Saya lega mendengar cerita bahwa dirinya bersungguh-sungguh menyimak pelajaran.
Nyatanya benar, saat hasil penilaian dibagikan, nilai di atas 90. Meski begitu, sebenarnya saya agak khawatir. Ya, khawatir dia akan meremehkan kedisiplinan. Merasa bisa menjawab sebagian besar soal saat penilaian, lalu abai pada kedisiplinan membawa pulang buku pelajaran.
“Taqi, kita bisa saja menjadi orang paling pintar. Tapi harus ingat, orang pintar yang tidak disiplin akan bisa kena batunya. Kalau Taqi pelupa, jangan pernah tunda untuk melakukan sesuatu. Lupa itu terjadi karena kita sering menunda,” ucap saya pada si sulung.
Akhirnya, dia ke sekolah dengan membawa map plastik. Gunanya adalah untuk merapikan kertas-kertas di laci mejanya. Kertas yang bukan miliknya akan dimasukkan ke dalam map. Sementara itu, dia berkomitmen setelah selesai pelajaran langsung memasukkan buku-buku ke tas.
Si sulung juga membawa buku catatan kecil. Isinya adalah catatan tentang pekerjaan rumah atau tugas dari sekolah.
O, ya, anak saya juga punya kebiasaan belajar selepas isya. Mungkin juga hal ini yang membuatnya lebih memahami materi pelajaran.
Kebanggaan di Hari Penerimaan Raport
Saya pergi ke sekolah bersama si sulung dan si bungsu. Sengaja datang pagi-pagi agar urusan lebih cepat selesai. Selain itu, sebagai mama introver, saya memang kurang bisa berkumpul ramai-ramai dengan mama-mama lainnya, he-he-he.
Kepada kami, Bu Guru menjelaskan bahwa nilai si sulung paling tinggi di kelas. Nilai terkecil adalah 95, sedangkan paling tinggi adalah matematika. Sempurna, 100.
Wah, anak saya jago matematika? Rasanya nggak juga. Dia sama seperti saya, agak lama kalau hitung-menghitung. Namun, untungnya, dia paham konsep matematika yang dia pelajari. Itulah yang menguntungkan dia, sehingga selalu bisa menyelesaikan soal-soal matematika dari gurunya dengan baik. Les matematika yang diikuti membuatnya lebih termotivasi untuk berlatih.
Sebagai seorang ibu, tentu bangga dengan pencapaian akademis si kecil. Ya, pencapaian anak, sekecil apa pun, pasti akan menggurat kebanggaan orang tuanya. Namun, ada hal yang lebih membanggakan ketimbang nilai raport-nya.
Kebanggan itu menyeruak saat kami tiba di rumah. Dari dapur, saya mendengar teriakan anak-anak di jalan dekat rumah. Mereka melontarkan kata-kata makian dengan mudah. Kasar sekali.
Kata-kata yang tidak pernah saya dengar dari mulut si sulung. Katanya, dia takut mulutnya akan dibakar di neraka jika mengatakan sesuatu yang tidak Allah suka. Masyaallah.
Saya juga bangga melihatnya berdamai dengan kondisi tidak memiliki handphone seperti kebanyakan anak-anak di sekitarnya. Saya bilang padanya, saya belum siap memberikan dunia tanpa batas melalui handphone.
Lagipula, handphone bukan alat untuk main-main. Di rumah kami, handphone sebagian besar digunakan untuk bekerja dan belajar. Saya dan ayahnya tidak main game. Kami juga jarang sekali menonton film atau video di handphone. Sepertinya terakhir kali nonton film itu tahun lalu deh. Itu juga saya izin dulu ke anak dan suami, he-he.
Toh, si sulung juga masih bisa meminjam handphone orang tuanya. Masih boleh melihat YouTube (meski dengan mode restricted), berkreasi di Canva, juga membuat foto dan video. Setiap orang tua punya aturan masing-masing, dan bangga itu menyusup kala si sulung tidak pernah membanding-bandingkan aturan tersebut.
Bangga Melihatnya Sibuk Berkreasi di Hari Penerimaan Raport
Hari ini anak saya sibuk sekali. Dia sedang bersiap-siap jualan kartu Pokemon. Kata dia, saat ini sedang musim koleksi kartu Pokemon. Jadi, dia memanfaatkan peluang itu untuk mendapatkan cuan.
Kebetulan beberapa hari lalu, dia menggunakan uang tabungan untuk membeli beberapa kartu Pokemon. Dia bilang, ada kartu yang langka dan bisa dijadikan koleksi oleh penggemarnya.
Jadilah hari ini dia sibuk memfoto-foto kartunya. Tidak mau foto yang biasa-biasa saja, dia membuat sandaran kartu Pokemon dari kartu bekas. Tidak puas, dia membuat lagi sandaran yang baru. Kali ini menggunakan stik es krim.
Rencananya, dia akan menggunakan akun jualan saya dan ayah di lokapasar untuk memasang barang jualannya. Hmm, bakal laku atau tidak ya?
Saya sih sudah memberi tahu dia, namanya orang jualan, kadang laku dan kadang tidak laku. Namun, dia bersikeras. Katanya, dia tidak akan pernah tahu kalau belum mencoba. Masyaallah. Semangat ya, Nak. Siapa tahu ada orang yang terdampar di tulisan ini dan ingin beli kartunya, langsung kontak saja ya, he-he.
Penutup
Si sulung sejak kecil tangannya memang tidak bisa diam. Di usia empat tahun, dia memasang sayap di mobil-mobilannya. Tentunya menggunakan batuan obeng milik ayahnya.
Semakin besar, dia berusaha mewujudkan barang-barang yang diinginkan menggunakan barang bekas di sekitarnya. Banyak sekali kreasinya. Ada televisi, handphone, laptop, bahkan suntikan dari kertas atau kardus.
Rupanya di kelas, saat pelajaran, tangannya juga sibuk sendiri bikin ini dan itu. Hal itu menjadi salah satu catatan Bu Guru saat penerimaan raport hari ini. Apa yang dilakukan si sulung bisa bikin temannya tidak fokus. Apalagi si sulung juga gemar mengobrol. Duh, Nak, semua ada waktunya.
Semoga pesan-pesan Bu Guru akan membuatnya lebih baik esok hari. “Mama pun akan selalu bangga dengan pencapaianmu, Nak. Ketika orang di luar sana menganggapnya biasa-biasa saja, di mata Mama, kamu selalu istimewa. Semoga Allah selalu menjagamu dan memudahkanmu melakukan hal-hal yang Allah suka. Aamiin.”
Bagaimana dengan Mama, apa hal-hal sederhana dari anak yang memunculkan rasa bangga padanya?
Kok saya terharu ya baca pesan di penutupnya, jadi keinget ibu. Hihi, tapi parentingnya bagus kak, nggak memberikan handphone ke anak-anak. Supaya mereka puas bermain dunianya dulu