Jika Tidak Resign, Mungkin Saya Tidak Akan Pernah…
Empat tahun sudah saya menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Bergumul dengan baju kotor, bahan masakan, gunungan piring kotor, serta lantai kotor dan barang-barang di rumah yang kerap tak pada tempatnya. Ya, saya resign empat tahun lalu. Keputusan yang tidak mudah, tetapi tidak akan saya sesali.
Posisi yang cukup bagus di kantor saya tinggalkan. Gaji dua digit tiap bulan, bonus, dan lainnya saya lepaskan. Beberapa privilege saya biarkan lepas dari genggaman.
Secara materi, alhamdulillah tidak kekurangan, kendati pengeluaran kala itu pun tidak bisa dibilang sedikit. Namun, berapa pun nominal yang saya bawa pulang, alhamdulillah bisa bermanfaat.
Setelah melalui serangkaian pertimbangan bersama suami, saya memutuskan untuk resign. Konsekuensinya tentu pemasukan keluarga kami tidak akan sebesar sebelumnya. Sebelumnya dua pintu terbuka, lalu berganti dengan satu pintu saja. Meski kemudian, saya sedikit-sedikit membantu dengan memanfaatkan kemampuan menulis yang tidak seberapa ini untuk bekerja freelance.
Bagi kami, resign adalah keputusan paling tepat. Ya, terlepas dari jumlah anak yang bertambah dan butuh perhatian lebih besar dari ibunya.
Saya sangat menghargai para ibu-ibu bekerja. Pasti setiap perempuan punya alasan tersendiri untuk menjadi ibu bekerja. Sebagaimana ibu-ibu yang memutuskan untuk menjadi ibu di rumah, tentu ada alasan tersendiri. Tidak ada yang salah dengan keputusan-keputusan tersebut. Semua ibu hebat, apa pun pilihannya.
Namun, bagi saya, ada beberapa hal yang tidak akan pernah saya jalani jika tidak memutuskan resign. Yup, jika tidak resign, saya tidak akan pernah…
1. Membuat Lesson Plan
Dulu, saat anak masih satu, saya sama sekali nggak tahu apa itu lesson plan. Main sama anak juga nggak terlalu sering, karena sebagian besar waktu digunakan untuk bekerja.
Hal-hal terkait anak dipercayakan pada daycare. Pagi diantar, lalu dijemput paling akhir saat teman-teman si kecil sudah pulang.
Nah, untuk anak kedua ini karena selalu sama ibunya, maka saya berusaha menstimulasi sebisanya. Saya ikut program belajar anak dari rumah, di mana selalu dikirim modul sesuai tema. Selanjutnya, saya dan anak tinggal main bersama dengan bantuan lembar printable.
Next, saya ikut kegiatan yang mengharuskan ibu bisa membuat lesson plan sendiri untuk anaknya. Lesson plan disusun dengan mengacu pada STPPA (Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak).
Kalau saya belum resign, mungkin pikiran dan waktu akan lebih banyak tersita di pekerjaan. Boro-boro lesson plan, plan untuk kerjaan saja sering berantakan.
2. Mengantarkan Anak ke Berbagai Kegiatan
Setelah resign, otomatis saya lebih punya banyak waktu untuk anak dan keluarga. Saya bisa antar si sulung kelas main anak, juga les bahasa Inggris. Bahkan saya pernah ikut beberapa kelas sesuai passion. MasyaAllah happy sekali.
Kala itu, selepas resign bisa pergi liburan bersama keluarga kecil. Menjelajah Bali, Malang, serta beberapa kota lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga perjalanan darat ke Bengkulu dan Padang. Kegiatan yang mustahil bisa saya lakukan jika belum resign. Maklum, liburannya berdurasi panjang dan lama, he-he-he.
Beberapa waktu setelah pandemi berlalu, si sulung ingin ikut Sekolah Sepakbola. Alhamdulillah, karena ada waktu, saya bisa antar jemput dirinya ke lapangan. Pun untuk si bungsu, saya punya waktu untuk menemaninya latihan bersama mengendarai push bike.
Saya adalah orang yang manajemen waktunya berantakan. Jika saya belum resign dan manajemen waktu masih sangat berantakan, mungkin anak-anak tidak bisa mencicipi kegiatan yang diminati.
Sekarang, alhamdulillah kerjaan selalu ada. Namun, waktunya fleksibel. Bisa di-adjust sesuai kegiatan anak. Apalagi si sulung nggak perlu ditunggui mamanya.
3. Ikut Berbagai Komunitas
Dulu, saat belum resign, What’s app ramai dengan perbincangan grup kantor. Yaa, meskipun saya bukan tipe yang banyak bicara di grup. Penyimak setia, dan bicara bila diperlukan saja.
Nah, saat sudah resign, WA ramai dengan perbincangan di berbagai grup. Ada grup support medsos, kerjaan, komunitas menulis, komunitas ibu-ibu, pengajian, segambreng. Suami pernah menghitung, ternyata ada 100 lebih grup yang saya ikuti, meski ada juga grup yang kurang aktif.
Again, meski saya tidak terlihat keaktifannya, tapi beberapa grup disimak dengan seksama. Soalnya sering ada info berharga seperti info kerjaan, pengajian, atau diskon, he-he-he.
4. Sering Main ke Taman dan Pusing-pusing
Sebelum resign, jarang sekali main ke taman. Lagi-lagi karena sok sibuk dengan kerjaan itu menguras energi banget. Belum lagi saat weekend saya juga sering piket masuk kerja.
Sekarang, alhamdulillah lebih sering melipir ke taman dekat rumah. Tak main ke taman pun masih ada waktu bersenang-senang dengan cara pusing-pusing alias putar-putar naik sepeda motor bersama anak.
Sering sekali mereka bilang, “Mama ayo kita pusing-pusing.” Nggak beli apa-apa, cuma sekadar putar-putar saja sudah bikin mereka happy. Masyaallah.
5. Lebih Sering Silaturahmi
Dulu, cukup sulit bersilaturahmi ke rumah saudara. Lagi-lagi karena saya sok sibuk dengan urusan kerjaan. Namun, alhamdulillah sekarang sudah lebih bisa bersilaturahmi lebih sering daripada dulu. Puun untuk pulang kampung dalam waktu lebih lama bisa dilakukan.
Dulu mah buka bersama keluarga besar nggak pernah ikut, acara kumpul-kumpul juga jaraaaang sekali menampakkan batang hidung. Kayanya isi hidupnya tuh kerja, kerja, kerja. Mungkin karena manajemen waktu yang buruk itulah, jadi suka keteteran. Nggak bisa bikin prioritas jadinya.
Padahal silaturahmi bisa menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT. “Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan ingin dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia bersilaturahmi.” (HR. Bukhari)
Baca juga tulisan ini yuk: Sesuatu yang Lepas dari Genggaman, Terkadang Tidak Benar-benar Hilang
Penutup
Saya pernah menjalani masa-masa indah bekerja. Punya teman setim yang kompak, atasan yang pengertian, serta kesempatan workliday ke beberapa daerah di Indonesia, bahkan ke mancanegara.
Namun, pada akhirnya hidup adalah tentang pilihan. Saya memilih resign karena ada hal-hal yang tidak bisa saya lakukan sambil bekerja di ranah publik.
Menjadi ibu bekerja pasti memiliki tantangan tersendiri. Demikian pula menjadi ibu di rumah, tidak selalu mudah. Menurut saya, ibu di rumah malah lebih rentan stres.
Dulu, kerja selelah apa pun akan mendapat gaji setiap tanggal 28. Gaji tuh menjadi hiburan bagi jiwa dan merupakan bentuk penghargaan. Nah, saat menjadi ibu di rumah, nggak ada yang menggaji. Suami memang memberi transferan tiap dirinya gajian, tapi sebagian besar untuk kebutuhan rumah dan anak-anak.
Lebih lelah? Pasti. Lha wong sebagian besar pekerjaan domestik dikerjakan sendiri. Belum lagi harus menjadi guru yang kesabarannya selalu diuji bagi anak-anak.
Hanya saja ini sementara. Saat anak-anak masih kecil, pasti terasa repot. Namun, kelak anak-anak akan besar. Tak perlu lagi mereka saya antar ke sana sini. Saya pun kian menua. Semoga di sisa umur ini, saya bisa berjuang sebaik-baiknya sebagai pribadi yang baik. Semoga lelah ini menjadi lillah.