Fantastis! Jejak Perjalanan ke Mongolia yang Berselimut Putih

Suatu perjalanan ditempa dalam kenangan. Pahit getirnya, tawa bahagianya, tergurat sempurna di salah satu sudut hati terdalam. Lalu, ketika rindu menyapa, bukalah album kenangan. Menyimak kembali jejaknya, seperti jejak yang dulu terpahat di Negara Langit Biru, Mongolia. Inilah perjalanan ke Mongolia yang tak lekang dalam ingatan.

Hawa yang teramat dingin menyapa saat saya keluar dari Chinggis Khaan International Airport. Kala itu, Januari 2011, Mongolia memang masih dilanda musim dingin. Tidak tanggung-tanggung, suhu rata-ratanya minus 16 hingga minus 25 derajat Celcius. Brrr!!

Musim dingin di Mongolia biasanya berlangsung dari November hingga Maret. Nah, Januari merupakan bulan terdingin. Kebetulan saya berkunjung di bulan tersebut. Suhu di malam harinya bisa mencapai minus 40 derajat Celcius, bahkan lebih rendah di daerah-daerah tertentu.

Sejauh mata memandang hamparan putih yang terlihat. Salju yang menumpuk seperti membebat Mongolia dalam selimut putih. Pemandangan yang menakjubkan bagi saya, yang biasanya hanya melihat kemacetan dan dinding bangunan di rimba Jakarta.

Bahkan ketika berada di dalam bus untuk menuju ke hotel, jendela kacanya berembun cukup tebal. Di udara sedingin itu, jika membawa cairan, tentu akan lebih mudah membeku.

Jejak apa saja yang terpahat di Negara Langit Biru? Berikut ini kisah perjalanan ke Mongolia.

Live Like A Local

perjalanan ke mongolia
Perjalanan ke Mongolia saat musim dingin yang mengesankan/ Foto: dok. pribadi

Bagian paling menarik saat berkunjung ke wilayah baru bagi saya adalah live like a local alias hidup seperti penduduk setempat. Jadi, setelah beristirahat sejenak di hotel yang terletak di Ibukota Mongolia, Ulaanbaatar, saya dan seorang teman mencari makan malam di luar.

Melihat suasana malam dari jendela hotel bikin bulu kuduk meremang. Di luar sana pasti dingin sekali. Bergegas memakai mantel dan sepatu boot. Tak lupa kupluk, sarung tangan, dan syal agar tidak membeku.

Menggunakan taksi yang dipanggil petugas hotel, kami menuju area pusat perbelanjaan. Saya lupa nama tempatnya, tetapi penampakannya mengingatkan saya pada ITC Ambassador di Jakarta.

Kami berjalan-jalan mengitari pusat perbelanjaan tersebut. Suasana cukup sepi. Mungkin karena banyak orang memilih meringkuk di balik selimut hangat rumahnya. Beberapa penjual menawarkan dagangannya kepada kami dalam bahasa Inggris. Akan tetapi, sebagian besar penjual memilih berdiam di dalam kiosnya.

Ada yang berjualan perlengkapan musim dingin. Beberapa lainnya berjualan pakaian, kain khas Mongolia, juga tas dengan merek global. Teman saya membeli sepatu boot. Pasalnya dia hanya membawa sepatu kets yang tidak bisa menahan udara dingin.

Tiba-tiba terdengar suara krucuk-krucuk dari perut kami. Ah, iya, tujuan utama ‘kan mencari makan malam. Kami memutuskan makan malam di sebuah restoran yang terletak di seberang pusat perbelanjaan. Menunya aneka masakan khas Mongolia.

Sebelum menceritakan pengalaman menyantap kuliner khas Mongolia, saya ceritakan pengalaman kami pulang ke hotel dulu, ya. Kami berdiri cukup lama di pinggir jalan untuk menunggu taksi. Wah, mobil bertuliskan “taxi” kok tidak ada yang lewat, ya. Padahal masih belum terlalu larut. Jam menunjukkan pukul 21.00 waktu setempat.

Ah! Saya ingat penjelasan seorang kenalan yang pernah singgah di Mongolia. Jika tidak menemukan mobil bertuliskan “taxi”, maka lambai-lambaikan tangan saja ke arah mobil berjenis sedan yang lewat. Jika ada yang pengendara yang berniat menjual jasa transportasi, pasti meminggirkan mobilnya.

Suhu dingin Ulaanbaatar menusuk-nusuk kulit. Sudah hampir 15 menit melambai-lambaikan tangan, belum ada juga mobil yang menepi. Saat itu, taksi online memang belum ada seperti sekarang.

Untunglah, beberapa waktu kemudian ada mobil yang menepikan kendaraannya. Akhirnya, terselamatkan dari suhu dingin. O, ya, kebanyakan sopir taksi di Ulaanbaatar saat itu tidak bisa berbahasa Inggris. Jadi, kami menyodorkan kertas bertuliskan nama tempat yang ingin dituju.

Taksi tidak resmi seringkali tidak menggunakan takometer. Karena itu, perlu untuk bernegosiasi harga dengan sopir. Untunglah harga yang diajukan sopirnya tidak jauh berbeda dari harga taksi saat berangkat ke pusat perbelanjaan.

Saat ini, konon taksi “gelap” di Mongolia masih ada. Kendati demikian, tidak lagi sebanyak satu dekade lalu. Alasannya, mulai tersisih oleh taksi online. Perlu diingat, jika menggunakan taksi di Mongolia, upayakan menggunakan taksi resmi atau melalui aplikasi, ya.

Mencicipi Makanan Khas Saat Perjalanan ke Mongolia

khuushuur
Khuushuur khas Mongolia/ Foto: dok. pribadi

Saya memesan khuushuur. Melihat foto di menu, sepertinya enak sekali. Makanan ini terlihat seperti pastel. Kulitnya tampak lembut dan renyah.

Ternyata saat menu yang dipesan datang, ukuran khuushuurnya sangat besar. Sekitar tiga kali lebih besar dibandingkan pastel yang biasa dijumpai di Indonesia.

Seporsi khuushuur berisi empat buah. Hmm, meski tampak seperti camilan, tapi saya rasa bakal kenyang sekali. Isinya adalah daging anak sapi dan domba cincang yang dicampur bawang putih, bawang bombay, serta merica. Makan sebuah khuushuur saja bikin perut kenyang sekali. Alhasil sisanya dibawa ke hotel.

Khuushuur sering disajikan di acara-acara khusus, seperti festival dan perayaan masyarakat Mongolia. Makanya, saya tidak ingin melewatkan mencicipi makanan khas tersebut, meskipun sepintas mirip dengan pastel.

Ada yang bilang khuushuur ini mirip juga dengan makanan Rusia bernama chiburekki. Ada pula yang mengatakan mirip pangsit khas China. Makanan orang-orang di negara ini mirip karena letaknya yang berdekatan. Di sebelah selatan, Mongolia berbatasan dengan China, sedangkan di sebelah utara berbatasan dengan Rusia.

Teman saya memilih makan lapsha, sup mi dengan resep tradisional Mongolia. Tekstur mi kenyal dan lembut. Ditambah daging sapi dan sayuran membuat rasanya lebih kaya. Kuah hangatnya bikin makanan ini cocok dinikmati di tengah udara dingin.

Rupanya lapsha ini tidak hanya ada di Mongolia. Orang-orang Rusia pun makan mi ini. Hanya saja di Rusia, lapsha umumnya dimasak menjadi pasta, atau sebagai pelengkap berbagai hidangan.

Mampir ke Rumah Tradisional Mongolia

perjalanan ke mongolia
Berkunjung ke ger, rumah tradisional Mongolia. Foto kanan dari detikcom, foto kiri dok. pribadi

Berada di Mongolia, tidak lengkap rasanya jika tidak berkunjung ke rumah tradisionalnya. Di era modern seperti sekarang ini, tidak banyak warga yang tinggal di rumah tradisional, hanya komunitas tertentu saja. Itu makanya, kami menuju ke Chingisiin Khuree Camp, yang berjarak sekitar 10-15 km dari Ulaanbaatar.

Di sana terdapat puluhan rumah tradisional Mongolia yang disebut ger. Warnanya putih, agak mirip dengan iglo –rumah orang eskimo. Dindingnya terbuat dari kulit binatang, seperti sapi atau domba. Saat musim dingin, dindingnya dibuat berlapis-lapis agar kondisi di dalam rumah terasa lebih hangat.

Bangunan Ger tidak terlalu tinggi. Umumnya, hanya memiliki ketinggian 150-180 cm dengan panjang rangka dinding sekitar 230 cm. Di dalam ger terdapat pemanas, juga furniture seperti sofa yang digunakan untuk tempat tidur penghuninya.

Ger tidak dilengkapi dengan kamar kecil. Lalu jika kebelet pipis bagaimana? Tenang, ada kamar mandi umum di sana. Hmm, kondisi ini mirip dengan suasana glamping di Indonesia.

Saat musim dingin, Chingisiin Khuree Camp tampak sepi dari penyewa. Yah, siapa juga yang mau tinggal di padang salju?

Jadi, camp tersebut berada di tengah-tengah gurun. Saat musim panas, di sana merupakan padang rumput. Mengingat saat saya ke sana masih musim dingin, jadilah ger diselimuti salju.

Benar-benar mirip selimut putih raksasa. Meski matahari bersinar terik, tapi tetap saja menggigil. Suhunya saja minus 27 derajat Celcius. Kendati demikian, saya menikmati sekali waktu diChingisiin Khuree Camp.

Selimut putih dari hamparan salju sangat kontras dengan langitnya yang biru cerah. Indah sekali. Konon, selama 260 hari setiap tahunnya, Mongolia dinaungi langit biru cerah. Kendati cuaca sedang ekstrem, tapi langit biru kerap memperlihatkan pesonanya. Tak heran, Mongolia dijuluki Negara Langit Biru.

Hal-hal Kecil yang Membekas Selama Perjalanan ke Mongolia

perjalanan ke mongolia
Perjalanan ke Mongolia yang berkesan/ Foto: dok. pribadi

Selama tiga hari di Mongolia, ada hal-hal kecil yang ternyata meninggalkan makna mendalam di hati ini. Hal-hal kecil yang tak terlupa itu kini kerap menyapa. Menghadirkan nostalgia perjalanan ke Mongolia yang tak terlupa.

Pipi Merah Anak-anak Mongolia

Di beberapa titik Ulaanbaatar sejumlah anak bermain ski salju dengan antusias. Meluncur ke sana ke mari dengan lihai. Melihat tingkah para bocah membuat diri ini mematung sesaat.

Rasanya ingin bergabung bersama mereka. Meluapkan penat dan segala beban khas orang dewasa. Sungguh keceriaan yang membuat diri merindukan masa kanak-kanak.

Semakin gemas lagi saat melihat wajah anak-anak tersebut. Mantel dengan bagian leher berbulu tebal mencoba menghangatkan mereka. Akan tetapi pipi anak-anak itu tampaknya tak cukup merasa hangat. Buktinya, pipinya memerah karena suhu dingin. Merah seperti tomat.

Respons pada Suhu Dingin

Saking kepengin live like a local, saya gemar berjalan-jalan di luar meski sedang gerimis salju. Melihat aktivitas orang-orang setempat justru menghadirkan rasa hangat yang misterius.

Namun, yang sedikit mengesalkan adalah ingus mengalir tanpa disadari saat berjalan di udara terbuka. Jadi, ingusnya tuh nggak seperti ingus yang biasanya. Seperti ingus yang kehilangan identitas. Ingin membeku, tapi tidak leluasa akibat terpapar karbon dioksida yang secara alami dikeluarkan hidung. Tidak nyaman.

Konon menutupi telinga dengan kupluk dan membebat leher dengan syal akan membuat tubuh lebih hangat. Dengan begitu, seharusnya tidak akan ingusan. Nyatanya, ingus terus mendesak keluar.

Kendati suhu begitu dingin, orang-orang di sana kerap saya dapati tidak mengenakan sarung tangan, lho. Ingin seperti mereka, saya pun nekat melakukan aksi serupa. Hasilnya, nyeri menusuk tulang. Sungguh ide ceroboh yang tak perlu ditiru.

Respons pada suhu dingin memang berbeda-beda pada masing-masing orang, ya. Teman saya sampai mimisan gara-gara kedinginan. Sepertinya dia termasuk orang yang memiliki pembuluh darah di hidung lebih dekat ke permukaan. Akibatnya, hidung jadi lebih mudah berdarah ketika terpapar suhu dingin.

Kertas yang Setajam Silet

Saat musim dingin, udara di Mongolia cenderung kering. Bibir saya rasanya kering sekali. Padahal saya sudah menggunakan pelembap bibir. Mungkin produknya kurang bagus, jadi kurang maksimal melembapkan bibir. Saking keringnya, bibir saya rentan pecah dan berdarah.

Belum lagi kulit di jemari tangan saya yang juga menjadi kering. Suatu kali, saat membuka lembaran kertas, jari saya mengalami luka robek akibat goresan kertas. Ya Allah, kertas jadi setajam silet buat saya. Seharusnya ke mana-mana saya selalu membawa losion pelembap kulit, nih.

Cashmere

Syal cashmere. Foto: dok. pribadi

“Kamu tahu? Mongolia adalah salah satu produsen cashmere terbesar di dunia,” ujar seorang warga lokal, Dulguun Batbold, yang menemani berjalan-jalan.

Rupanya penduduk Mongolia yang hidup nomaden di masa lalu sudah mulai beternak kambing cashmere. Selama lebih dari satu abad, mereka mengambil bulu halus dari kambingnya yang bisa dibuat menjadi kain untuk memberikan kehangatan tubuh. Kain itu lantas disebut juga cashmere.

Di abad ke-19, industri cashmere Mongolia mulai berkembang pesat, seiring meningkatnya perdagangan dengan Tiongkok dan Rusia. Cashmere Mongolia pun diekspor ke berbagai negara.

Ucapan Batbold tidak berlebihan. Menurut Program Pembangunan PBB (UNDP), sekitar 40 persen cashmere dunia berasal dari Mongolia. Cashmere telah banyak digunakan untuk membuat sweater, syal, dan selimut mewah di berbagai negara.

Wol dari Mongolia ini memang dikenal sangat lembut, ringan, tidak membuat alergi, tetapi memberikan kehangatan maksimal. Cashmere pun cenderung lebih mahal dibandingkan wol biasa.

Harga cashmere relatif mahal karena pasokan bahan baku yang terbatas. Umumnya, orang Mongolia akan mengumpulkan bulu kambing cashmere yang rontok. Peternak akan akan menyisir bulu kambingnya untuk mendapatkan rontokan bulu-bulu tersebut, sehingga tidak merusak bulu kambing secara keseluruhan.

Saya sempat menyimpan hasrat untuk membeli syal cashmere untuk kenang-kenangan saat pulang ke Tanah Air. Melihat harga syal yang harganya hampir Rp400.000, saya terpaksa memadamkan keinginan tersebut.

Namun, alangkah bahagianya karena menjelang kepulangan ke Jakarta, mendapatkan syal cashmere secara cuma-cuma! Alhamdulillah, mimpi yang jadi nyata. Cashmere yang diberikan bermerek Gobi, salah satu merek terkemuka dan merupakan pabrik pertama cashmere di Mongolia.

Kini, saat cashmere dari kambing semakin menipis, banyak label yang mencari alternatif bahan baku yang lebih sustainable. Stella McCartney, misalnya, hanya menggunakan cashmere daur ulang sejak tahun 2016.

Sedangkan startup asal Jepang, Spiber, mengembangkan alternatif cashmere sintetis dengan memfermentasi bahan-bahan nabati menjadi polimer protein. Ada pula yang berinovasi dengan menggunakan bulu bintang yak alias lembu berambut.

Penutup

Sebenarnya salju tidak memiliki aroma kuat. Akan tetapi di hidung saya, salju Mongolia memiliki aroma khas. Baunya melekat sampai ke mantel, kupluk, dan segala benda yang saya bawa ke negerinya Chinggis Khan itu.

Satu dekade lebih berlalu, entah bagaimana, secara magis aroma itu terkadang masih tercium. Segala rasa berpendar kala saya memeluk atau mengalungkan syal cashmere ke leher.

Jejak langkah perjalanan ke Mongolia memang telah pupus di depan mata. Namun, di dalam jiwa, jejak itu terpatri kuat. Melangitkan harapan kelak akan menapaki kembali jejak yang sama. Tidak sendiri, melainkan bersama belahan hati.

Bagaimana dengan Teman-teman, adakah jejak perjalanan yang terasa abadi kendati telah digerus waktu yang bergerak cepat laksana berlari?

Referensi

theguardian.com. “Real street food: Mongolian Khuushuur,” https://www.theguardian.com/cities/2014/dec/16/real-street-food-mongolian-khuushuur, diakses pada 20 September 2024.

mountsinai.org. “Is Dry Air Causing Your Nosebleeds?” https://health.mountsinai.org/blog/dry-air-causing-nosebleeds/#:~:text=Nosebleeds%20are%20particularly%20problematic%20in,nose%2C%20resulting%20in%20a%20bleed, diakses pada 20 September 2024.

escapetomongolia.com. “From Goat to Coat: What to Know and Where to Buy the Best Mongolian Cashmere,” https://www.escapetomongolia.com/blog/from-goat-to-coat-what-to-know-and-where-to-buy-the-best-mongolian-cashmere, diakses pada 20 September 2024.

cnn. “Cashmere Demand is Threatening Mongolia’s Steppe. Can The Industry Go Sustainable?” https://edition.cnn.com/style/mongolia-cashmere-sustainable/index.html, diakses pada 20 September 2024.

2 Comments
  1. Maria Ulfah says

    Uuuuu kertas bisa setajam silet juga. Sama nih, punya bibir yang cukup sensitif juga, harus banget bawa lip balm yang cocok ke mana-mana~

  2. Monica Rasmona says

    Ya, ampun, Mbak, suhu malam di Ulaanbaatar bisa mencapai minus 40°, ya. Pantesan temennya sampai mimisan gitu. Ini sisi lain dari keliling dunia, nggak melulu enaknya saja. Namun, meski begitu tetap jadi salah satu kenangan terindah, ya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.