Hentikan Stigma, Kusta Tak Mudah Menular
Kusta masih dianggap sebagai penyakit yang mengerikan. Itu makanya stigma tentang kusta masih kerap ditemukan di masyarakat. Betul, kusta memang penyakit menular, tapi tidak mudah penularannya.
Orang yang terkena kusta dan terlambat diobati memang bisa berdampak pada kecacatan. Hal ini dikarenakan kusta tidak hanya menyerang kulit, saraf tepi, tetapi juga jaringan tubuh lainnya. Namun, jika dideteksi dini sehingga segera diobati, peluang sembuh tanpa kecacatan sangatlah tinggi.
Di masa pemerintahan kolonial Belanda, sejumlah penyakit memang ditangani dengan membuat tempat karantina masing-masing. Seperti TBC yang dikarantina di sanatorium. Sedangkan untuk pasien kusta, dikarantina di leprosie. Hal seperti itu mungkin masih membekas di benak orang-orang, bahwa kusta sangat mengerikan dan harus dijauhi.
Teknologi berkembang pesat. Penelitian, termasuk di dunia kesehatan, semakin masif digelar. Akhirnya diketahui bahwa kusta adalah penyakit menular kronis yang diakibatkan oleh Mycobacterium leprae. Diketahui pula bahwa penularan kusta memerlukan kontak yang intens. Sesekali bertemu dengan pasien kusta tidak akan serta merta membuat seseorang tertular.
Yuk, pahami kusta dengan membaca tulisan ini: Kenali Gejala Awal Penyakit Kusta dan Risiko Kecacatan
“Dari sudut pandang mikrobiologi, kusta perlu distigma. Tertular kusta itu butuh kontak sangat intens. Harus kontak terus-menerus, paling tidak 8 bulan dan lebih. Mungkin tinggal serumah, ketemunya setiap hari lebih dari 8 jam,” terang analis kebijakan di Kemenkes, Hana Krismawati, M.Sc.
Hal itu disampaikan Hana dalam diskusi Ruang Publik KBR dalam rangka Hari Kusta Sedunia yang berlangsung pada Selasa (30/1/2024). Kebetulan, Hana sebelumnya juga merupakan peneliti mikrobiologi. Hal itu membuatnya paham benar tentang penularan kusta.
Disampaikan Hana, sudah banyak bukti ilmiah yang menyebut kusta tidak mudah menular. Karena itulah, masih adanya stigma pada pasien kusta sangat tidak relevan. “Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah membuktikan (kusta tidak mudah menular),” lanjut Hana.
Kenapa Kusta di Indonesia Belum Bisa Dihilangkan?
Indonesia menempati posisi ketiga negara dengan angka kusta tertinggi di dunia. Dua negara sebelumnya adalah India dan Brasil. Bukan prestasi yang membanggakan tentunya. Apalagi setiap tahun ditengarai ada temuan kasus baru sekitar 17.000-20.000 kasus.
Jika melihat angka pasien kusta di Indonesia, sebenarnya tidak sebanyak pasien tuberkulosis (TB). Kata Hana, satu per sepuluh dari pasien TB. Lantas kenapa ya penyakit kuno tersebut belum bisa benar-benar menghilang dari Indonesia?
Menurut Hana, kusta cenderung endemis tinggi di negara dengan tingkat perekonomian menengah ke bawah. Jika melihat dua negara di peringkat dua teratas untuk jumlah orang dengan kusta, memiliki persamaan lain dengan Indonesia. Negara-negara tersebut memiliki populasi yang tinggi, serta sama-sama negara beriklim tropis.
Hana menambahkan, ada korelasi orang yang gampang kena kusta dan kecenderungan komposisi nutrisi kurang bagus atau malnutrisi. “(Kusta) gampang menyerang orang dengan sistem kekebalan tubuh kurang bagus. Saat kurang nutrisi, daya tahan tubuh kurang, sehingga bisa kena berbagai penyakit, nggak hanya kusta,” terangnya.
Adanya stigma pada kusta juga membuat penyakit ini masih sulit dienyahkan. Artinya masih banyak yang belum teredukasi dengan baik. Belum lagi adanya faktor keterlambatan, terkait terlambat datang ke pelayanan kesehatan, terlambat didiagnosis, dan terlambat diobati.
Curiga Terkena Kusta, Diam atau Jujur?
Stigma pada orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) menimbulkan ketakutan. Ketika curiga terkena kusta, kebimbangan melanda. Haruskah diam saja agar tidak didiskriminasi atau jujur agar segera mendapat penanganan?
“Sebaiknya jujur pada petugas. Datang ke Puskesmas, jalani pengobatan. Keluarga juga memberikan support bagi OYPMK,” imbau Hana.
Hana menyampaikan saat ini layanan primer di puskesmas dikuatkan. Dengan begitu, seharusnya layanan untuk pasien kusta juga otomatis menguat. Apalagi sekarang program penanganan kusta tengah dirombak habis-habisan.
“Misal digitalisasi pelaporan kusta. Juga terkait kemandirian obat. Bertahun-tahun kita bergantung dari WHO, kini obat selain dari WHO juga ada dari APBN,” terangnya.
Bila segera mendapat penanganan, maka bisa mengurangi risiko penularan. Selain itu, juga bisa mengurangi risiko kecacatan pasien.
Selanjutnya, eliminasi kusta tidak bisa dilakukan sendiri. Perlu kerja sama lintas kementerian/ lembaga, pemerintah daerah, universitas, masyarakat, juga organisasi non-profit seperti Yayasan Netherlands Leprosy Relief (NLR) Indonesia.
NLR dan Komitmen Dukung Indonesia Bebas dari Kusta
Yayasan NLR Indonesia bermula dari NLR, organisasi non-pemerintahan (LSM) yang mendorong pemberantasan kusta dan inklusi bagi orang dengan disabilitas termasuk akibat kusta. Kegiatan NLR di Indonesia dimulai pada 1975 dengan memberikan bantuan ke Rumah Sakit Dr. Sutomo Surabaya.
Dalam kiprahnya di Indonesia, NLR menyediakan tenaga ahli untuk memberikan pelatihan peningkatan keterampilan petugas kusta di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan desa. Fokus utama pelatihan adalah dalam hal perencanaan, monitoring, dan evaluasi program pengendalian kusta.
Tak hanya teknis, NLR juga aktif memberi dukungan finansial. NLR juga turut mendanai penelitian kusta, beasiswa pendidikan pascasarjana, kegiatan kesehatan masyarakat, dan rehabilitasi kusta. Selain itu, ada pula dukungan kepada penyandang disabilitas dan mendukung OYPMK agar bisa berjejaring.
Beberapa provinsi kini telah dinyatakan bebas kusta. Untuk itu, saat ini NLR Indonesia fokus memberantas kusta di 13 provinsi.
“NLR ingin membuat Indonesia bebas kusta. Tak lagi ada transmisi, tak lagi ada penularan. Zero transmission, zero disability, dan zero exclusion,” papar Agus Wijayanto MMID, Direktur Eksekutif NLR Indonesia, di acara yang sama.
Untuk memuluskan impian agar Indonesia bebas dari kusta, NLR sepakat butuh sinergi dari berbagai pihak. NLR sudah berkontribusi di sekitar 30 persen penanganan kusta. Harapannya, semakin banyak pihak lagi yang memberikan kontribusi.
NLR juga mendorong upaya pencegahan yang lebih masif. Utamanya, upaya penanganan kusta di tingkat daerah juga lebih gencar.
Baca juga tulisan ini agar tidak terperangkap stigma tentang kusta: Kusta Penyakit Kutukan? Jangan Mudah Percaya, Simak Dulu Faktanya
Penutup
Hari Kusta Sedunia diperingati setiap hari Minggu terakhir di bulan Januari. Pada tahun 2024 ini, peringatan Hari Kusta Sedunia mengusung tema “Beat Leprosy” atau “Kalahkan Kusta”.
Tema ini dipilih dengan dua tujuan. Pertama, menghapuskan stigma yang melekat pada kusta. Kedua, meningkatkan martabat orang yang terkena penyakit kusta.
Semoga peringatan ini membuat siapa saja lebih peduli pada kusta. Penyakit ini memang sudah ada sejak lama, tapi perlu diingat bahwa kusta bukan penyakit turunan atau kutukan. Kusta bisa disembuhkan dan tidak menular setelah pasien mendapatkan pengobatan.
Ingat, jika menemukan bercak di kulit seperti panu yang tidak sembuh dengan salep kulit biasa, kulit menjadi mati rasa, atau kulit tidak berkeringat, segera periksa ke puskesmas. Pun jika mendapati adanya bengkak atau benjolan di wajah dan telinga, juga bercak yang pucat dan berwarna lebih terang dari pada kulit di sekitarnya.
Jauhi penyakitnya, bukan orangnya!