Tak Semua Harus Disuarakan, Siapa Tahu Ada yang Tersakiti Karenamu
Punya pendapat atas sesuatu tentu sah-sah saja. Bersikap atas suatu hal juga wajar-wajar saja. Namun, sebaiknya tidak perlu menyuarakan sikap dan pendapat dengan lantang atas semua hal. Siapa tahu ada orang yang tersakiti karenanya.
Apalagi jika pendapat atau sikap yang disuarakan menegasi hal-hal yang wajar dilakukan kebanyakan orang. Lebih-lebih hal tersebut tidak melanggar norma dan etika, tidak merugikan, serta tidak menyalahi ajaran agama. Jadi buat apa bicara keras-keras melalui berbagai media?
Berikut ini beberapa pandangan dan sikap yang kerap terdengar dan berseliweran di media sosial dan berpotensi menyakiti hati orang lain. Semoga kita lebih berhati-hati menyuarakan sikap.
1. Aku Sih Pro Melahirkan Normal, karena Itu Tanda Ibu Sejati
Pro melahirkan normal atau tidak, sebaiknya jadi sikap yang tidak perlu dikoar-koarkan. Kita harus ingat, tidak semua mama bisa melahirkan normal karena kondisi tertentu.
Buat apa sih kita harus menyuarakan sikap seperti ini? Biar dianggap paling “ibu sejati”? Ya Allah, cara melahirkan itu tidak bisa menjadi tolok ukur menyebut seorang ibu menjadi ibu sejati atau tidak.
Melahirkan normal alias per vaginam memang masyaallah “nikmatnya”. Namun, kita juga harus ingat, melahirkan secara caesar pun butuh perjuangan yang tidak mudah. Jangan sampai sikap kita yang digembar-gemborkan membuat orang bersikukuh hendak melahirkan normal, padahal kondisi tidak memungkinkan. Akibatnya bisa fatal.
Baca tulisan saya lainnya : Semangat Kerja Keropos Gara-gara Toxic Boss
2. Si Kecil Bukan Anak Sapi, Jadi Aku Pilih Susui Mereka
Air Susu Ibu (ASI) memang makanan terbaik bagi bayi. Sudah banyak penelitian yang mengungkap manfaat ASI bagi bayi. Namun, jangan sampai sikap dan keputusan kita memberi ASI menyakiti hati ibu yang tidak bisa memberikan ASI.
Idealnya, setiap ibu bisa meng-ASI-hi bayinya. Akan tetapi terkadang di dunia ini banyak hal tidak ideal. Ketimbang menghakimi ibu yang memberikan susu formula, lebih baik mengedepankan empati.
Misalnya dengan menanyakan baik-baik apakah kegiatan menyusuinya bermasalah. Jangan lupa validasi perasaan si ibu, dan berikan masukan jika diminta.
Yuk, kita ingat baik-baik. Dengan menyuarakan sikap meng-ASI-hi tapi sambil menyentil ibu yang memberi susu formula, tidak lantas membuat kita jadi sosok yang wow. Alih-alih dikagumi, bisa jadi kita malah kehilangan respect dari orang lain.
Hidup orang tidak sama. Masalahnya pun pasti berbeda. Sebaiknya kita tahan mulut dan jari. Gunakan lebih berhati-hati agar tidak ada yang tersakiti.
3. Menyuarakan Sikap tentang Anak dan Gadget
Sebaiknya, penggunaan gadget pada anak memang diatur. Jika kebablasan, dampaknya tentu tidak baik. Untuk itu, sah-sah saja jika ada orang tua yang membatasi anaknya menggunakan gadget.
Namun, jangan sampai sikap kita yang membatasi anak dalam menggunakan gadget dibarengi sentilan pada ibu yang memberikan gadget pada si buah hatinya. Ketimbang nyentil dan nyindir, lebih baik berikanlah edukasi secara umum tentang dampak kecanduan gadget. Bisa juga sampaikan rekomendasi waktu penggunaan gadget untuk anak.
Langit itu tidak perlu kok menyampaikan bahwa dirinya tinggi. Kalau ingin dianggap hebat, tidak perlu meninggikan diri sambil memandang rendah orang lain, atau menganggap pilihan orang lain “salah”.
4. Menyuarakan Sikap Childfree
Umumnya, orang yang menikah mendambakan memiliki momongan. Meski mungkin tidak ada yang penah menyampaikan pada mereka bahwa punya anak itu tidak semudah yang dibayangkan.
Ya, saat kita punya anak, harus siap repot dan capek. Bahkan beberapa ibu mungkin kehilangan cara untuk aktualisasi diri. Itu makanya sebaiknya kita belajar menjadi orang tua jauh sebelum memiliki anak.
Lalu, ketika menyadari bahwa punya anak itu tidak mudah dan memilih untuk childfree, apakah wajar? Wajar-wajar saja. Namun, tidak perlu juga menggemborkan sikapnya sembari sedikit “mencolek” orang-orang yang memutuskan punya anak.
Ada yang menganggap childfree adalah resepnya untuk awet muda. Ya nggak apa-apa juga sih bilang begitu, tapi sekali lagi, jangan sambil nyentil keputusan yang berbeda.
Bukankah berkata dengan diksi yang baik dan nada yang baik justru bikin adem? Yuk bisa yuk saling menjaga hati, meski punya sikap dan keputusan berbeda.
5. Aku Sih Nggak Mau Jadi Wanita Karier, Nanti Anak Nggak Dekat Sama Aku
Nah, ini! Saat anak hadir, terkadang seorang ibu bekerja dihadapkan pada pilihan yang dilematis. Jika ingin jujur, mungkin ingin terus bekerja dengan berbagai alasan.
Ya, ada ibu yang bekerja sebagai sarana aktualisasi diri, untuk membantu perekonomian keluarga, bahkan ada yang jadi tulang punggung. Ketika si kecil lahir, atas sejumlah alasan, akhirnya memilih untuk menitipkannya selama ibu bekerja. Entah dititipkan di orang tua atau mertua, di saudara, di pengasuh, atau di daycare.
Ibu yang bekerja bukan berarti nggak sayang anaknya kok. Lagipula itu hidup orang lain, buat apa kita mengulik-ulik hidupnya. Jika nanti ibu bekerja resign dan keluarganya malah terlilit utang karena pemasukan berkurang drastis, memangnya kita mau menanggung? Tidak, bukan?
Penutup
Benar dan salah itu sering kali tentang persepsi. Sikap dan keputusan orang lain yang berbeda kita anggap salah karena persepsi kita. Lalu apakah persepsi kita harus dianggap paling hebat dan bijak?
Saya kira orang bijak itu adalah sosok yang bisa menempatkan diri di kacamata orang lain. Dengan begitu, dia tidak akan terjebak pada rasa “paling benar”, “paling wow”, atau “dianggap hebat”.
Tulisan ini adalah pengingat bagi diri saya sendiri. Ketika saya memutuskan melahirkan per vaginam, bukan berarti saya lebih baik dari ibu yang melahirkan secara caesar.
Kala saya membatasi penggunaan gadget untuk anak, juga bukan berarti saya lebih wow ketimbang ibu lainnya. Saya punya alasan di balik sikap dan keputusan yang diambil.
Kalau keputusan orang lain tidak menyalahi apa pun, ya sudahlah, biarlah dipilih. Ketimbang sibuk ingin merasa paling wow, lebih baik wow bersama-sama.