Kenali Gejala Awal Penyakit Kusta dan Risiko Kecacatan
Gejala awal penyakit kusta tidak boleh diabaikan. Semakin awal dideteksi, maka risiko kecacatan bisa diminimalkan. Lantas, seperti apakah gejala awal penyakit kusta?
Kebetulan pada 21 Desember 2021 lalu, saya mengikuti talkshow yang digelar oleh Kantor Berita Radio (KBR) yang bertajuk “Yuk Cegah Disabilitas karena Kusta”. Terima kasih kepada Komunitas 1Minggu1Cerita yang menginfokan talkshow menarik ini, sehingga saya bisa berbagi beberapa hal penting tentang kusta di blog ini.
Oke, di tulisan kali ini, saya akan paparkan gejala awal penyakit kusta, risiko kecacatan, serta kisah penyintas kusta. Pastikan dibaca sampai selesai ya, Ma, agar bisa membagikannya juga kepada orang lain.
Gejala Awal Penyakit Kusta
Kusta adalah penyakit menular yang daya tularnya rendah. Stigma dan kurangnya pengetahuan sering kali membuat gejala awal penyakit kusta terabaikan. Padahal jika ditangani lebih dini, maka akan lebih cepat sembuh dan meminimalkan risiko kecacatan.
Dr. dr. Sri Linuwih Menaldi, SPKK(K), FINSDV, FAADV dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) menjelaskan ciri paling awal penyakit kusta adalah munculnya bercak putih atau merah di kulit. Bercak ini bisa jadi hanya satu atau atau menyebar di seluruh tubuh.
Punggung, sekitar telinga, dan paha adalah lokasi yang sering menjadi tempat ditemukannya bercak. Bercak tersebut tidak terasa gatal, akan tetapi saat diraba, digosok dengan kapas, maupun ditusuk dengan jarum tidak terasa alias mati rasa. Kondisi ini terjadi karena bakteri Mycobacterium leprae menyerang saraf tepi.
Sebenarnya tak hanya bercak di kulit, terkadang yang timbul adalah benjolan-benjolan di lengan, wajah, badan, dan telinga. Ketika tanda-tanda ini ditemukan, pemeriksaan ke puskesmas sebaiknya tidak ditunda.
Mengapa Kusta Menimbulkan Risiko Kecacatan?
Risiko kecacatan akibat kusta sering terjadi karena pasien mati rasa alias tidak merasakan sakit saat terdapat luka di tubuhnya. Ketika tidak merasakan sakit, pasien enggan berobat. Hal itu mengakibatkan kerusakan jaringan dan kecacatan.
Apabila saraf yang diserang bakteri Mycobacterium leprae rusak, maka yang terjadi adalah kelumpuhan, baik lumpuh layu atau kekakuan otot. Itu makanya jika dideteksi dini, pengobatan kusta bisa segera dilakukan, sehingga kecacatan luas bisa dihindari.
Apabila saraf di tangan, kaki, dan mata diserang bakteri penyebab kusta, maka risiko disabilitasnya lebih besar. Sering ditemukan bermula dari bercak kusta di siku, mengakibatkan gangguan saraf di tangan. Pun saat ditemukan bercak kusta di lutut, maka saraf kakilah yang akan terdampak.
Bercak kusta bisa muncul juga di kelopak mata. Hal ini dapat menyebabkan kornea mata menjadi baal atau kebas. Akibatnya apa? Saat kelilipan, yang bersangkutan tidak akan merasakan apa pun. Bahkan, jika ada binatang kecil masuk ke mata, pasien juga tidak merasa.
“Apabila ada tanda di wajah. Lalu mata merah dan mendadak kabur, daya penglihatannya menurun, tentu harus ke dokter mata untuk pengecekan,” saran dr. Sri.
Kecacatan yang sering ditemukan pada pasien kusta antara lain jari bengkok, memendek atau terputus. Terjadi kelumpuhan tangan dan kaki, kelopak mata tidak menutup (lagoftalmos), dan kebutaan.
dr. Sri mengingatkan begitu ada reaksi peradangan saraf, maka bisa cepat berdampak pada kemungkinan disabilitas. Dukungan orang sekitar pada pasien untuk memeriksakan diri sangat diperlukan. Jangan sampai setelah terjadi kecacatan, pasien baru berobat.
Kusta Kering Vs Basah, Mana yang Lebih Berisiko Kecacatan?
Ada dua jenis kusta yang dikenal di masyarakat yakni PB (pausibasiler) atau kusta kering dan MB (multibasiler) atau kusta basah. Dari kedua jenis kusta tersebut, mana yang lebih berisiko menimbulkan kecacatan?
dr. Sri menjelaskan pada kusta kering, jumlah kumannya lebih sedikit. Hal itu mengakibatkan kelainan pada kulit hanya beberapa. Pada kusta kering, kulit menjadi kering dan tidak berkeringat.
Sedangkan pada kusta basah, kuman lebih banyak dan kelainan kulit yang dialami pasien juga lebih banyak. Kondisi ini mengakibatkan kelainan saraf pun lebih banyak.
“Semua kusta berpotensi menjadi cacat jika ada kerusakan pada saraf,” tegas dr. Sri.
Jadi, baik kusta kering maupun basah, apabila kuman mengakibatkan kerusakan saraf, maka potensi kecacatan sama besarnya. Dengan demikian, pengobatan yang segera adalah cara terbaik untuk mencegah kecacatan yang meluas.
Baca juga: Kusta Penyakit Kutukan? Jangan Mudah Percaya, Simak Dulu Faktanya
MDT atau multi drug therapy merupakan kombinasi obat kusta yang direkomendasikan WHO. Pengobatan untuk pasien kusta kering berlangsung selama 6 bulan, sedangkan untuk kusta basah selama 12 bulan.
dr. Sri mengingatkan agar pasien tidak putus dalam minum obat kusta, karena jika berhenti maka harus diulang lagi dari awal. Alasannya kandungan obat bisa hilang saat berhenti dikonsumsi. Selain itu, penghentian minum obat juga menimbulkan risiko resistensi bakteri.
Hanya dengan sekali pengobatan saja, 95 hingga 99 persen kuman sudah terbunuh, lho. Namun, ingat, ada kuman yang dorman atau sedang berhibernasi. Itu makanya perlu pengobatan dalam jangka cukup lama. Pengobatan juga membuat daya tular kusta turun.
Kisah Penyintas Kusta
Dulamin mengalami kecacatan di jari-jari tangan akibat kusta. Kondisi ini dialami karena terlambat penanganan. Tak ingin hal yang sama dialami orang lain, dia pun giat memberikan edukasi tentang kusta. Kini, Dulamin menjadi Ketua Kelompok Perawatan Diri (KPD) Kecamatan Astanajapura, Cirebon.
Amin, panggilan akrabnya, mengaku awalnya memang muncul bercak di punggung. Sayangnya kala itu dia dan orang di sekitarnya kekurangan informasi tentang kusta. Itulah yang menyebabkan keterlambatan pengobatan.
Kata Amin, dirinya terkena kusta basah. Hal itu mengakibatkan tangannya penuh luka. Agar kelihatan bersih, dia pun rajin melakukan perawatan diri. Dengan penampilan diri yang lebih bersih, maka pasien dan orang sekitarnya pun bisa lebih positif.
Amin mengingatkan pasien kusta agar menggunakan pelindunh saat memegang benda, misalnya menggunakan sarung tangan. Hal ini untuk mencegah timbulnya luka. “Karena kalau ada luka, bisa lama sekali,” ujarnya.
Dia mengakui stigma masyarakat pada penyakit kusta masih tinggi. Ada yang bilang pasien kusta diguna-guna, kutukan, hingga keturunan. Dia pun sering mendengar kalimat bernada miring tentang penyakit yang diidap. Lalu bagaimana Amin menghadapinya?
“Kita terima saja penyakit ini. Kalau nggak terima, maka akan jadi reaksi tinggi. Kalau rileks, reaksi tubuh lebih baik. Kita ambil yang baik saja. Masyarakat juga kekurangan informasi, bilang ini kutukan, guna-guna, padahal karena bakteri. Allah kasih begini ya terima saja,” papar Amin.
Yuk, kita lebih peduli dan waspada pada kusta. Pastikan diri kita menjadi bagian dari upaya mencegah disabilitas kusta dengan mendorong pengobatan segera pasien kusta. Pengobatan tak hanya mencegah dan menangani cacat agat tidak berlanjut, tetapi juga bisa memutus rantai penularan. Pengobatan kusta juga dapat menangani komplikasi, serta memperbaiki kualitas hidup pasien.