Kisah di Balik Sambal yang Tak Pedas dan Tidur yang Tidak Nyenyak

“Sambalnya tidak pedas,” komentar suami sambil menyuap sepotong tempe goreng yang sudah dicocol sambal.

Sudah beberapa waktu ini kami terbiasa makan sambal yang kehilangan pedasnya. Rindu rasanya pada cabai yang mengigit lidah. Kangen pada peluh yang turut menetes kala kepedasan. Namun, kami bisa apa? Dompet kami tak punya cukup kekuatan untuk menghadirkan kembali rasa pedas di sambal.

Akhir-akhir ini harga cabai meroket. Biasanya cabai seharga 5 ribu rupiah sudah cukup untuk membuat sambal nan pedas. Harga cabai yang tidak masuk akal membuat selembar uang 5 ribu rupiah hanya bisa membawa pulang lima buah cabai. Terpaksa sambal dibuat dengan campuran tomat yang lebih banyak. Itulah makanya sambal di rumah kami tak lagi pedas.

Sambal yang kehilangan pedasnya

Sebenarnya tak hanya harga cabai. Harga aneka bahan kebutuhan pokok juga ikut-ikutan merayap naik. Duh, padahal uang belanja tidak turut bertambah. Alamat bakal mengencangkan ikat pinggang lebih erat lagi nih.

Harga Cabai Menggila akibat Petani Gagal Panen

Sambil masak, saya buka beberapa situs media online. Beberapa headline menyebut meroketnya harga cabai adalah imbas perubahan iklim. Kenapa bisa begitu ya?

Rupanya perubahan iklim memiliki berbagai dampak, salah satunya cuaca ekstrem. Ya, dampak perubahan antara lain meningkatnya suhu udara, perubahan curah hujan, serta peningkatan frekuensi atau intensitas cuaca ekstrem.

Perubahan iklim secara nyata memengaruhi makanan yang kita konsumsi, air yang kita minum, udara yang kita hirup, dan cuaca yang kita alami. Nah, perubahan curah hujan dan cuaca ekstrem membuat petani cabai gagal panen.

Stok cabai di pasaran pun semakin terbatas. Ketersediaan barang di pasar terbatas, sedangkan permintaan banyak membuat harga cabai melonjak.

Petani padi pun mengalami hal yang sama. Mereka mengalami gagal panen dan harus menelan kerugian dalam jumlah besar. Jika kerap seperti ini, apakah para petani masih akan setia pada pekerjaannya?

Udara Panas Bikin Tidur Tak Nyenyak akibat Perubahan Iklim

Ilustrasi peningkatan suhu akibat perubahan iklim/ Foto: Canva

Rasa akhir-akhir ini semakin enggan keluar rumah, tak terkecuali pergi ke penjual sayur di ujung jalan. Ini bukan hanya perkara banyak bahan kebutuhan pokok yang naik harganya, tapi juga karena suhu udara yang semakin panas.

Pukul 9 pagi rasanya seperti 12 siang. Baru saja keluar rumah sebentar, keringat langsung membanjir. Namun, di sore hari, tiba-tiba hujan deras datang disertai petir.

Panasnya suhu udara tidak hanya dirasakan di siang hari, tetapi juga di malam hari. Seringkali kami terbangun dari tidur dalam keadaan banjir keringat. Embusan kipas angin tidak sanggup mengusir panas yang memerangkap peluh di balik pakaian tidur.

Rupanya tak hanya kami yang tidak bisa tidur nyenyak di malam hari. Saya baca di santander.com, sekitar 62 persen orang di seluruh dunia pada 2019 merasa tidak tidur nyenyak. Salah satu penyebabnya adalah kenaikan suhu.

Catatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sepanjang periode pengamatan tahun 1981 hingga 2020, tahun 2016 adalah tahun terpanas di Indonesia. Sedangkan 2020 dan 2019 berada di peringkat kedua dan ketiga sebagai tahun terpanas.

Terkait kenaikan suhu ini, para ilmuwan meyakini akan terus terjadi peningkatan selama beberapa dekade mendatang. Sebagaimana laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), suhu permukaan Bumi diperkirakan akan naik hingga mencapai lebih dari 1,5 derajat Celcius.

Suhu naik 1,5 derajat Celcius tampak sepele, tetapi dampaknya bisa serius. Es di Bumi bisa mencair, sehingga muka air laut bisa naik 10 meter. Tak cuma itu, dunia pun terancam kelaparan lantaran gagal panen di mana-mana. Seram ya!

5 Langkah Kecil dari Rumah untuk Atasi Perubahan Iklim

Sambal yang tak lagi pedas dan tidur yang tak lagi nyenyak adalah pertanda semesta. Perubahan iklim bukanlah isapan jempol. Semua tanda dan dampaknya semakin nyata dirasakan. Jika dibiarkan begitu saja, maka manusia akan menanggung beban semakin berat dalam bertahan hidup.

Saya sebagai ibu rumah tangga bisa apa? Apakah saya yang kecil mungil ini bisa turut berkontribusi mengurangi perubahan iklim? Jawabannya: bisa. Ya, siapa pun kita bisa melakukan langkah kecil untuk menyelamatkan dunia. Bukankah perjalanan seribu mil dimulai dari satu langkah kecil?

Nah, berikut ini langkah kecil yang saya lakukan dari rumah sebagai ikhtiar mengatasi perubahan iklim.

1. Membawa Wadah dari Rumah

Membawa kotak makanan saat beli makan di luar, ikhtiar sayangi Bumi/ Foto: Canva

Ketimbang beli makan di luar, saya lebih suka masak sendiri. Selain lebih hemat, saya juga bisa memastikan semua bahan yang digunakan aman dan sehat. Namun, ada kalanya energi pas-pasan sehingga tidak kuasa memasak. Beli makanan di luar pun jadi solusi.

Eit, sebelum keluar rumah untuk beli makanan, saya pastikan membawa wadah sendiri. Biasanya saya bawa kotak plastik berpenutup yang bisa dicuci dan digunakan berkali-kali.

Pun saat akan beli minuman, seperti jus buah, saya biasakan membawa tumblr sendiri. Begitu pula saat akan berbelanja, tas kain serbaguna selalu dibawa. Ini semua adalah ikhtiar untuk tidak menambah sampah di Bumi, utamanya sampah plastik.

Dari situs Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PPI KLHK), sampah plastik adalah salah satu penyebab utama perubahan iklim. Mengapa begitu? Sebab sejak proses produksi plastik hingga pembuangan dan pengelolaan, sampah plastik telah mengemisikan banyak gas rumah kaca ke atmosfer.

2. Tidak Membuang Makanan untuk Cegah Perubahan Iklim Drastis

Langkah kecil lainnya adalah dengan menanamkan kebiasaan tidak membuang makanan. Kebiasaan menghabiskan makanan sehingga tak menyisakan sampah adalah ikhtiar tidak meninggalkan jejak karbon berlebihan.

Apabila jejak karbon yang kita hasilkan semakin tinggi, maka semakin tinggi pula dampak negatif yang diberikan pada Bumi. Perubahan iklim akan menjadi tanggungan besar yang harus dipikul Bumi.

Seperti kita tahu, sejak dari bahan baku, hingga produksi dan distribusi makanan meninggalkan jejak karbon. Apabila makanan tersebut tidak habis dikonsumsi dan dibuang begitu saja, tentu akan jadi gunungan sampah yang sia-sia.

Berdasar data Badan Pangan dan Pertanian PBB (UN FAO), makanan yang tidak terkonsumsi secara global menyumbang sekitar 4,4 gigatone emisi gas rumah kaca setiap tahun. Emisi gas rumah kaca ini akan menyumbang terjadinya perubahan iklim.

Agar semakin memotivasi diri tidak buang-buang makanan, bisa baca tulisan ini: Saat Membuang Makanan, Ingatlah Ada Orang Kelaparan

Agar tidak mudah membuang makanan dan menambah tumpukan sampah sisa makanan, saya menerapkan langkah sebagai berikut:

3. Kurangi Pemakaian Listrik

Keluarga super irit. Begitu kami menyebut keluarga kecil kami untuk meningkatkan semangat mengurangi pemakaian listrik. Kami akan saling mengingatkan apabila ada anggota keluarga yang boros menggunakan listrik.

Misalnya jika ada yang meninggalkan kamar mandi dalam keadaan lampu masih menyala, maka akan diingatkan. Juga saat meninggalkan kamar dengan posisi kipas angin masih berputar. Kami juga saling mengingatkan untuk mencabut stop kontak yang tidak digunakan.

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), stop kontak yang yang tidak dicabut bisa mengakibatkan 83 Watt listrik terbuang percuma. Padahal 83 Watt bisa digunakan untuk menyalakan 11 lampu LED selama satu jam.

Kebanyakan sumber energi listrik berasal dari pembakaran bahan fosil. Dengan begitu, pemakaian listrik yang berlebihan akan menghasilkan gas emisi pemicu perubahan iklim.

Cara menghemat pemakaian listrik di rumah kami adalah sebagai berikut:

4. Bijak Gunakan Air

Untuk mengelola air bersih, dibutuhkan energi yang tidak sedikit. Kebutuhan itu didapat dari penggunaan energi fosil. Seperti disinggung sebelumnya, pembakaran bahan fosil akan memengaruhi perubahan iklim.

Langkah menghemat air di rumah:

perubahan iklim

5. Menanam Sayur dan Buah di Halaman

Kota besar seperti Jakarta berpotensi memproduksi gas rumah kaca dalam jumlah besar. Penyerapan gas rumah kaca di Jakarta menjadi kurang optimal lantaran jarangnya tanaman hijau. Dampaknya lapisan gas rumah kaca di atmosfer semakin tebal dan suhu di Bumi semakin meningkat.

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menambah jumlah tanaman hijau di Jakarta adalah dengan berkebun di rumah. Tidak perlu lahan luas untuk menanam aneka tanaman hijau seperti buah dan sayur. Kita bisa menanam menggunakan pot yang diatur sedemikian rupa di teras.

Kadang kita merasa bukan siapa-siapa yang punya peran besar dalam menyelamatkan dunia. Namun, tidak selalu menjadi superhero kenamaan untuk menjadi penyelamat Bumi dari perubahan iklim. Ternyata langkah-langkah kecil dari rumah yang konsisten dilakukan bisa jadi wujud nyata menyelamatkan Bumi.

Siapa pun kita bisa menjadi bagian #TeamUpforImpact dan melakukan hal-hal sederhana tetapi bermakna. Langkah-langkah ini adalah bentuk syukur dan cinta #UntukmuBumiku. Yuk, mulai langkah-langkah kecil ini sekarang juga!

Referensi:

Santander. The Impacts of Climate Change That You Suffer in Your Everyday Life Without Realising, diakses pada 20 April 2022.

NASA. The Effects of Climate Change, diakses pada 20 April 2022.

Ditjen PPI KLHK. Perubahan Pola Hidup: Bijak Dalam Membeli Makanan, diakses pada 20 April 2022.

Ditjen PPI KLHK. Ubah Kebiasaan Penggunaan Plastik , diakses pada 20 April 2022.

Kementerian ESDM. Listrik Baik untuk Indonesia Mandiri Energi, diakses pada 20 April 2022.

PPSDM Aparatur. Jejak Karbon dalam Kehidupan, diakses pada 20 April 2022.

BMKG. Selisih Suhu Udara Rata-rata Bulan Maret 2022 – Februari 2022, diakses pada 20 April 2022.

Leave A Reply

Your email address will not be published.

www.kirmiziyilan.com