Yuyun Ahdiyanti, Menenun Asa dari Ujung Bima

“Tak, tok, tak, tok.” Hentakan belida kayu bersahut-sahutan seperti orkestra tua yang tak pernah pensiun di Desa Ntobo, Bima, Nusa Tenggara Barat. Dari balik dinding-dinding rumah warga, suara itu terdengar. Mengiringi tangan-tangan yang bergerak lincah, menari di antara helai benang aneka warna.

Mata mereka penuh fokus, tapi bibirnya menyungging senyum. Seolah menenun bukan sekadar pekerjaan, melainkan asa yang dibisikkan dengan penuh cinta.

Bagi perempuan-perempuan Ntobo, tenun bukan sekadar kain. Lebih dari itu, tenun adalah cara mereka bertahan hidup dan menjaga martabat. Sebuah cara untuk menjaga warisan budaya, kendati zaman terus berubah.

Mirisnya, dulu karya itu hanya dihargai murah oleh pengepul dari luar desa. Hal itu membuat Yuyun Ahdiyanti, perempuan asli Ntobo, merasa tak lagi bisa berdiam diri.

Ntobo: Desa Penuh Tenun, tapi Tak Dianggap Desa Tenun

penenun ntobo
Penenun di Desa Ntobo/ Foto: dok. Yuyun Ahdiyanti

Di setiap rumah di Desa Ntobo, selalu ada gedogan, alat tenun tradisional yang terbuat dari kayu. Bukan pajangan, bukan pula artefak yang dibiarkan berdebu. Lebih dari itu, merupakan sahabat setia para perempuan untuk menenun kain bermotif indah.

Gedogan setia menemani para perempuan menenun, lembar demi lembar, motif demi motif. Seolah rumah tak lengkap tanpa suara tak-tok yang menandai benang sedang dijalin menjadi tenunan penuh kisah.

Anehnya, nama Ntobo hampir tak pernah disebut dalam daftar desa tenun di Bima. Identitasnya tenggelam, seolah tak pernah ada.

“Orang tahu kain tenun Bima, tapi tidak tahu Ntobo. Padahal di kampung kami, hampir setiap rumah adalah rumah penenun,” tutur Yuyun Ahdiyanti, dalam perbincangan dengan mamanesia.com.

Sejak kecil, perempuan-perempuan Ntobo sudah bersahabat dengan benang. Bahkan saat masih kelas lima SD, tangan mereka telah terampil menggerakkan suri, kayu pipih untuk menyisipkan benang pakan di antara benang lungsi.

Bukan semata karena ingin membantu ekonomi keluarga, melainkan karena tradisi.  Sebuah amanat budaya. Ibarat benang yang diwariskan dari tangan nenek, ke ibu, lalu ke anak. Begitu terus, sambung-menyambung lintas generasi.

Berdasarkan ketentuan adat, setiap perempuan yang memasuki usia remaja harus terampil melakukan muna ro medi, menenun sebagai bentuk kehormatan. Sejak dini, anak-anak perempuan dibimbing menjadi ma loa ro tingi, penenun terampil yang berjiwa seni.

Namun, satu hal menyisakan ironi. Jika hampir semua rumah di Ntobo menenun, mengapa nama desa ini tak dikenal sebagai desa tenun?

Jawabannya pedih. Bertahun-tahun, tenunan Ntobo hanya berhenti di tangan pengepul luar desa. Kain-kain indah dibeli murah, lalu dijual kembali dengan harga tinggi. Ntobo hanya menjadi produsen. Tanpa nama. Tanpa identitas. Tanpa cerita yang tersemat.

“Kalau menjual ke pengepul ‘kan dimonopoli. Pasarnya tidak pasti, transparansi kurang, dan rawan eksploitasi,” ungkap Yuyun.

Di sinilah perjalanan Yuyun dimulai. Dari desa yang menenun, tapi tak pernah disebut desa tenun. Dari keresahan yang pelan-pelan berubah menjadi keberanian.

Berbekal handphone, Yuyun mengikhtiarkan perubahan. Menenun keberanian untuk mengubah nasib desanya.

Membuka Jalan Baru, Menjual Tenun Tanpa Pengepul

Yuyun Ahdiyanti saat bertemu dengan Sandiaga Uno/ Foto: dok. UKM Dina

Suatu hari di tahun 2015, Yuyun Ahdiyanti memberanikan diri menantang arus. Dia ingin memasarkan kain tenun asli kampung halamannya tanpa melalui pengepul. Yuyun mulai dengan sederhana. Dirinya mengumpulkan kain tenun karya ibunya, keluarga, dan para tetangga.

Satu per satu kain tersebut difoto, lalu dia unggah ke Facebook dan WhatsApp. Di awal-awal, belum ada pesanan. Paling hanya komentar “cantik” saja.

Tak hanya melalui media online, Yuyun juga mencoba menawarkan kain tenun secara door to door ke berbagai instansi. Dia juga menggelar arisan kain tenun, sehingga bisa memfasilitasi mereka yang tidak bisa membeli kain tenun untuk seragam kantor.

Seiring berjalannya waktu, pemesanan kain tenun ke UKM Dina yang dibesut Yuyun mulai berdatangan. Dia pun lebih serius membina penenun di desanya. Mengingat banyak penenun yang tidak punya modal sendiri, akhirnya dirinyalah yang memberi modal.

“Saya nekat ambil pinjaman dana KUR, tapi bukan untuk diri sendiri. Sekitar 20 penenun saya kasih Rp 1 juta. Saya ambil KUR-nya Rp25 juta,” terang Yuyun.

Penenun tersebut kemudian menyetorkan tenunannya pada UKM Dina. Setelah kain tersebut laku terjual, hasil penjualan antara lain digunakan untuk membayar cicilan KUR.

Kombinasi promosi online, offline, dan kerja sama dengan akademisi membuat penjualan kain tenun UKM Dina mengalami peningkatan signifikan. Dampaknya tentu berimbas pula pada kesejahteraan penenun.

Harga kain tenun yang dijual UKM Dina bervariasi, dari Rp270.000 hingga Rp750.000. Sedangkan harga songket, biasanya lebih mahal, berkisar Rp1,2 juta hingga Rp2 juta. Nah, dari hasil penjualan tersebut, penenun bisa memperoleh keuntungan lebih dari 60 persen untuk satu kain.

Kisah di Balik Motif Tenun Bima

tenun bima
Salah satu motif tenun Bima/ Foto: dok. UKM Dina

Para perempuan Ntobo bukan sekadar menenun kain. Mereka sedang merajut cerita. Setiap motif yang lahir dari tangan-tangannya menyimpan makna, simbol, dan filosofi budaya Bima.

Jika suatu hari Anda berkesempatan melihat tenun Bima dari dekat, perhatikanlah motifnya. Di sanalah kisah-kisah itu tersimpan.

Menurut Yuyun Ahdiyanti, motif tenun Bima banyak terinspirasi dari alam dan nilai kehidupan. Salah satunya ngusu waru, yang secara harfiah berarti bunga sekuntum. Motif ini terdiri dari delapan helai daun yang tersusun rapi. Melambangkan harapan agar pemakainya berakhlak mulia dan memberi manfaat bagi sesama.

Ada juga motif binatang, seperti burung dan kuda. Kuda hadir sebagai motif istimewa karena Bima dikenal dengan susu kuda liarnya.

Motif lain yang tak kalah sarat makna adalah anti fare, atau padi yang merunduk. Padi adalah simbol kemakmuran dan kecukupan pangan. Dalam tenun, motif ini menjadi doa agar kehidupan pemakainya selalu sejahtera dan berkecukupan.

Namun, ada satu kain yang benar-benar istimewa, yakni tembe nggoli. “Tembe nggoli ini unik,” tutur Yuyun.

Kainnya halus, kuat, dan tidak mudah sobek. Tembe nggoli mampu menyesuaikan suhu tubuh. Dingin saat kemarau, hangat di musim hujan. Motifnya pun tak sekadar dekorasi, melainkan simbol religiusitas, kejujuran, dan ketegasan masyarakat Mbojo, yaitu sebutan untuk masyarakat Bima.

Tembe nggoli punya tempat istimewa dalam budaya Bima. Ia menjadi bagian penting dari tradisi berbusana rimpu, sekaligus identitas budaya yang masih hidup, dan sumber ekonomi bagi masyarakat setempat.

Rimpu adalah tradisi berbusana perempuan Mbojo, di mana kain tenun dililitkan menutup tubuh hingga kepala. Rimpu hadir sebagai wujud kesopanan sekaligus ekspresi budaya.

Untuk menghasilkan sehelai kain tenun, waktu yang dibutuhkan tidak sebentar. Bisa empat-lima hari hingga sebulan. Semuanya tergantung pada rumitnya motif dan jenis benang yang digunakan.

“Benang emas dan perak, misalnya, itu agak susah diatur, karena kaku” ujar Yuyun.

Belum lagi, para penenun bukan hanya penenun. Mereka juga berladang, berkebun, dan ibu rumah tangga. Ada hari-hari ketika tangan mereka harus memegang cangkul dulu sebelum menyentuh benang.

Penghargaan SATU Indonesia Awards dan Asa yang Kian Membara

Yuyun Ahdiyanti
Yuyun Ahdiyanti mendapat penghargaan SATU Indonesia Awards 2024/ Foto: dok. SATU Indonesia Awards

Berjuang menjadi lebih baik memang tidak mudah. Ketika memasarkan kain tenun dari Ntobo, Yuyun Ahdiyanti pun kerap jatuh bangun. Berkali-kali dia berubah peran menjadi semacam debt collector. Pasalnya, beberapa orang membeli secara arisan, Yuyun sering harus menunggu pembayaran belakangan.

Berkali-kali dia terpaksa berubah peran menjadi semacam debt collector. Ketika tiba waktunya membayar, ada pembeli yang berdalih sibuk. Sampai akhirnya, dia benar-benar mendatangi tempat kerja yang bersangkutan untuk menagih pelunasan.

“Saya nggak pernah membayangkan, menjual kain tenun akan membawa saya ke titik harus menagih seperti itu. Tapi kalau bukan saya yang memperjuangkan nilainya, siapa lagi?” ujarnya.

Yuyun bukan hanya sedang berjualan. Lebih dari itu, dia sedang memperjuangkan martabat. Bahwa hasil tenun perempuan desanya harus dihargai dengan layak.

Langkah-langkah berat itu, perlahan tapi pasti, mendatangkan hal-hal membahagiakan. Misalnya, pada 2024, Yuyun mendapatkan apresiasi yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya, yakni SATU Indonesia Awards dari Astra bidang Kewirausahaan.

Prosesnya tidak mudah. Dia harus melewati seleksi ketat, dengan penilaian yang menyorot dampak, keberlanjutan, dan orisinalitas perjuangannya. Namun juri sepakat bahwa perempuan asal Ntobo ini layak menyandang penghargaan.

Ibu dari tiga anak ini membuktikan bahwa ketulusan yang diperjuangkan tanpa henti, selalu menemukan jalannya. Impiannya untuk mengenalkan Ntobo sebagai desa penenun semakin terbuka.

“Dengan penghargaan SATU Indonesia Awards, Ntobo semakin dikenal,” ucap Yuyun Ahdiyanti.

Kini, mulai banyak wisatawan yang datang untuk melihat proses pembuatan kain tenun di Ntobo. Tak hanya itu, cakupan pemasaran UKM Dina semakin luas dan sudah merambah pasar luar negeri.

Penghargaan ini bagi Yuyun tentu bukan puncak, melainkan percikan api baru. Api asa yang dulu menyala kecil, kini semakin membara. Melalui SATU Indonesia Awards, Yuyun semakin mantap melangkah. Bukan hanya menenun kain dan kemudian menjualnya, tetapi juga menenun masa depan bersama para perempuan di desanya, Ntobo.

Sekilas tentang SATU Indonesia Awards

SATU Indonesia Awards merupakan bentuk apresiasi Astra kepada generasi muda Indonesia yang berkontribusi nyata dalam menciptakan kehidupan berkelanjutan. Penghargaan ini diberikan kepada para pemuda yang bergerak di lima bidang utama, yaitu Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi, serta satu kategori kelompok yang mewakili kelima bidang tersebut.

Selaras dengan semangat Sumpah Pemuda, Astra ingin menghormati anak bangsa yang bekerja tanpa henti. Pemuda yang memberi manfaat bagi masyarakat, serta menghadirkan solusi bagi masa depan yang lebih baik.

Melalui program ini, Astra juga mendorong para anak muda yang terlibat dalam SATU Indonesia Awards untuk berkolaborasi dengan program unggulan Kampung Berseri Astra (KBA) dan Desa Sejahtera Astra (DSA). Harapannya, kolaborasi ini dapat memperluas dampak positif dan menghasilkan kontribusi berkelanjutan bagi pembangunan di daerah masing-masing.

Penutup

Yuyun memeragakan proses menenun/ Foto: dok. UKM Dina

Ntobo adalah desa di ujung utara Bima. Jauh dari pusat kota, juga jauh dari jalur provinsi. Dulu, bahkan sinyal telepon pun kadang hilang. Sebuah tempat di mana hampir setiap rumah menenun, tetapi tak pernah benar-benar dikenal sebagai desa penenun.

Di tengah keterbatasan itulah Yuyun Ahdiyanti bergerak. Dia tak hanya membawa kain tenun keluar dari desanya, tapi juga membawa kisah dan harapan. Dia menjembatani jarak, bukan hanya secara geografis, tapi juga secara sosial dan ekonomi.

Perlahan, desa itu menggeliat. Kini, Ntobo telah dikenal sebagai salah satu penghasil kain tenun terbanyak di Bima. Siapa pun yang datang akan disambut mural besar yang merupakan penanda jati diri desa, bahwa Ntobo adalah kampung penenun.

Sebuah tanda bahwa di desa ini, asa akan terus dirajut. Seiring tangan-tangan terampil yang menenun benang, menghidupkan warisan leluhur, dan meneruskannya ke masa depan.

Leave A Reply

Your email address will not be published.

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.