Tak Ada Makan Siang Gratis, Waspadai Benih Korupsi di Balik Politik Biaya Tinggi
Hiruk pikuk tahun politik 2024 mulai terdengar. Partai politik, calon wakil rakyat, serta sosok-sosok yang hendak berkontestasi di pemilihan presiden mulai bergerak lebih masif. Hati-hati, adanya fenomena politik biaya tinggi yang rentan berbuntut korupsi.
Tentu masih ingat di benak kasus korupsi yang melibatkan mantan Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S. Bahat. Di awal 2023, Ben ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama sang istri yang juga anggota DPR dari fraksi Nasdem, Ary Egahni.
Keduanya didakwa melakukan tindak pidana korupsi, antara lain dengan menerima gratifikasi. Uang berjumlah miliaran tersebut lantas digunakan untuk membayar lembaga survei.
Contoh lainnya adalah Rita Widyasari, mantan Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara. Dalam persidangan, dirinya mengakui gratifikasi senilai Rp 2 miliar digunakan untuk kegiatan partai.
Politik biaya tinggi dan mahalnya mahar politik kerap disebut sebagai salah satu sebab munculnya korupsi para pejabat. Bayangkan, untuk level calon kepala atau wakil kepala daerah dalam pilkada, biaya politiknya bisa mencapai miliaran rupiah. KPK bahkan menyebut angkanya bisa di atas Rp 10 miliar. Untuk itu, perlu meningkatkan kewaspadaan akan hadirnya benih-benih korupsi di balik politik biaya tinggi menjelang tahun politik.
Tak Ada Makan Siang Gratis, Termasuk dalam Politik
Tak hanya di level daerah, kontestasi politik level nasional dan pilpres pun butuh uang yang tidak sedikit. Dikatakan Waketum Partai Gelora Fahri Hamzah, biaya minimal seorang caleg agar bisa duduk di Senayan mencapai miliaran rupiah. Mulai dari Rp 5 miliar sampai Rp 15 miliar.
Itu baru untuk nyaleg. Sedangkan untuk nyapres, lebih besar lagi yang dibutuhkan. Sandiaga Uno yang pernah maju sebagai cawapres di Pilpres 2019 dalam wawancara di Kompas TV menyebut telah menghabiskan biaya Rp 1 triliun. Tak cuma dari kantong pribadi, uang tersebut juga berasal dari pendukung Prabowo-Sandi di Pilpres 2019.
Kendati biaya tersebut telah dilaporkan dan diaudit Komisi Pemilihan Umum, tetapi tetap menunjukkan biaya nyapres yang fantastis. Biaya nyapres calon-calon lainnya sepertinya tidak beda jauh. Fahri menengarai untuk pilpres, seorang capres setidaknya butuh uang Rp 5 triliun.
Untuk apa uang dengan jumlah fantastis itu? Umumnya untuk komunikasi politik dengan menggunakan berbagai media massa. Tujuannya tentu saja agar masyarakat lebih mengenal capres dan cawapres tersebut.
Jika capres kekurangan dana dari kantongnya, pasti akan mengumpulkan donasi. Kelak, akan ada hubungan power dan policy. Ada harapan dan kepentingan pihak-pihak yang turut mendukung dana kampanye para capres.
Tidak ada makan siang gratis dalam banyak bidang, tak terkecuali di bidang politik. Rasanya sulit ditampik jika tidak ada kepentingan di balik sumbangan besar kepada calon pejabat. Mencari uang itu tidak mudah, banyak kalangan enggan menggelontorkan dana secara cuma-cuma. Pada akhirnya, potensi benturan kepentingan pada pendanaan di kontestasi politik rawan terjadi.
Peran Stranas PK dalam Mencegah Korupsi
Integritas partai politik sangat diharapkan demi menegakkan demokrasi dan sistem yang jauh dari korupsi. Akan tetapi salah satu temuan Indikator Politik Indonesia pada 3 April 2022 lalu, partai politik merupakan institusi paling tidak dipercaya di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari kasus-kasus suap dan korupsi yang melibatkan para pejabat publik dari partai politik.
Agar ada solusi dari permasalahan ini, Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) mendorong penguatan partai politik dalam pencegahan korupsi. Salah satunya adalah dengan penambahan dana bantuan untuk parpol dari negara.
Keberadaan bantuan keuangan secara langsung dari negara ini bisa memperkuat otonomi politisi. Dengan begitu, mereka tidak bergantung pada para donatur yang berkepentingan di masa mendatang. Selain itu juga bisa mendukung peningkatan transparansi keuangan dan kesetaraan partai politik.
Jika hal itu bisa dilakukan, Stranas PK juga mendorong laporan dan pertanggungjawaban pendanaan negara kepada partai politik. Caranya adalah melalui Sistem Integrasi Partai Politik (SIPP) atau sistem penilaian kinerja dan transparansi partai.
Stranas PK sendiri lahir sesuai amanat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2018. Ini merupakan wujud niat serius pemerintah dalam mencegah korupsi. Arah kebijakan nasional dalam pencegahan korupsi termuat dalam Stranas PK. Arahan itu menjadi acuan kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya.
Arahan yang realistis dari Stranas PK sangat dinanti sehingga bisa segera direalisasikan semua kalangan. Terlebih di masa kontestasi politik yang tak lama lagi digelar, perlu upaya serius semua kalangan untuk bersungguh-sungguh mencegah korupsi.