(Tak Cuma) Ipar adalah Maut bagi Kondisi Finansial
Sudah pada nonton film “Ipar adalah Maut”, Ma? Katanya seru tuh filmnya. Saya belum nonton, lantaran si bungsu belum kondusif ditinggal nonton ke bioskop. Hm, benarkah ipar adalah maut?
Saya beberapa kali mendapati cerita tentang ipar adalah maut. Ini bukan tentang perselingkuhan seperti di film yang saat ini berlangsung. Namun, tentang “maut” bagi finansial. Kabar lebih buruknya, bukan hanya ipar yang jadi maut finansial, tapi anggota keluarga besar yang lain, kerabat, teman, juga tetangga.
Sebagai seorang “menteri keuangan” di keluarga, tentu seorang mama harus bisa mengatur masuk dan keluarnya uang. Jangan sampai besar pasak daripada tiang. Juga, jangan sampai keuangan sekarat, padahal tanggal gajian masih jauh. Lebih parah lagi, jangan sampai nggak ada uang sama sekali, saat harus membayar kewajiban di depan mata.
“Aku tuh nggak habis pikir, kenapa sih ada orang yang kerjanya nggak maksimal, tapi pengeluarannya besar dan bikin orang lain kesal. Gimana nggak kesal, kalau setiap kekurangan selalu datang ke kita untuk minta bantuan. Lha dipikirnya kita punya pohon uang,” ketus orang dekat dalam hidup saya. Sebut saja namanya, Violet.
Hu-hu, saya paham banget, karena pernah beberapa kali berada di situasi seperti itu. Saya terbiasa menyiapkan segala sesuatu dari jauh-jauh hari. Misalnya nih, tanggal 1 Juli 2024 adalah tanggal daftar ulang si sulung. Jadi, di tanggal tersebut harus menyetorkan sejumlah uang ke sekolah dengan nominal tertentu. Menyiapkan dana sejak jauh hari, bisa meminimalkan kalang kabut karena uangnya nggak ada.
Si sulung belajar di sekolah swasta. Tentu saya tahu konsekuensinya. Harus mengeluarkan uang lebih ketimbang menyekolahkannya di sekolah negeri. Lalu, melihat kemampuan diri, kira-kira sanggup tidak untuk keluar uang lebih.
Kalau tidak sanggup ya nggak usah dipaksakan. Daripada memaksakan diri, yang berakibat menyusahkan orang lain. Memangnya hanya saya saja yang punya kebutuhan, sedangkan orang lain tidak punya kebutuhan mendesak?
Bantu Bayar Masalah Keuangan Orang Lain = Maut Bagi Finansial
Sudah sering sekali saya dan orang dekat saya ini menghadapi sosok yang selalu datang ketika dirinya kekurangan uang. Namun, saat dirinya punya rezeki berlebih, lupa sama kita.
Boro-boro acuh sama kita, ingat pada pinjamannya pun nggak. Sedihnya hati ini. Hanya diingat saat menderita. Ketika sedang senang, malah “dicampakkan”.
Jadi ingat pengalaman suami membantu membayar finansial keluarga temannya. Suatu ketika, temannya itu butuh uang untuk membayar biaya sertifikasi pekerjaan istrinya. Bukan jumlah yang besar memang, tetapi saat itu kondisi finansial suami sedang pas-pasan.
Rasa iba yang begitu besar membuat suami “mengorbankan” dirinya. Sepekan menjelang gajian, uang di dompetnya nyaris tak tersisa. Hanya cukup untuk transportasi pulang pergi ke kantor. Alhasil, suami terpaksa pinjam uang ke orang lain.
Membantu orang lain sah-sah saja, tapi jangan sampai bikin diri sendiri menderita. Mengambil tanggung jawab orang lain –antara lain dengan membantu membayar masalah finansialnya secara impulsif– berpotensi merugikan diri sendiri.
Bayar Utang Orang Lain = Maut Bagi Kondisi Finansial
Hati-hati dengan utang. Jika tidak punya penghasilan memadai untuk membayar cicilan utang, mendingan nggak usah utang deh. Lebih banyak mudaratnya.
Ada cerita lagi nih terkait hal ini. Suatu kali Ibu saya kedatangan temannya. Nah, si teman ini memohon belas kasihan, karena sudah beberapa bulan tidak membayar cicilan sepeda motornya. Akibatnya, sepeda motor tersebut terancam ditarik.
Hiks, yang pakai sepeda motor siapa, yang repot nalangin bayar cicilannya siapa. Mulanya, Ibu saya tidak mau membantu membayar utang temannya ini. Keuangan sedang pas-pasan menjadi alasan.
“Atau saya pinjam BPKB sepeda motor punya Ibu deh. Atau ada perhiasan nggak yang bisa saya gadaikan dulu?” ujar si teman memberikan usul.
Harta milik sendiri kok ya direcokin orang lain dalam penggunaannya. Padahal si teman itu beli sepeda motor agar anaknya nggak malu ke sekolah, bukan untuk mencari nafkah. Lha, apa hubungannya sih malu ke sekolah dengan keberadaan sepeda motor?
Akhirnya perhiasan ibu saya dipinjamkan ke orang ini. Sayangnya, bertahun-tahun berlalu, perhiasan tersebut tidak juga dikembalikan. Akhirnya Ibu harus putar otak, gimana caranya mencukupi kebutuhan saat tak ada “barang berharga” yang bisa diandalkan.
Mungkin prinsip si teman, barang berharga atau uang yang sudah dipinjamkan orang lain berarti diberikan kepada dirinya. Hiks, prinsip macam apa seperti itu.
Padahal utang bisa jadi penghalang masuk surga. “Barang siapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: [1] sombong, [2] ghulul (khianat), dan [3] utang, maka dia akan masuk surga. (HR. Ibnu Majah No. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Nggak Enakan = Maut Bagi Kondisi Finansial
Bicara nggak enakan, ini saya banget. Kadang saya kesal sekali dengan sifat yang satu ini. Bikin hati menggerundel dan nggak enak di kemudian hari.
Suatu hari ada orang yang beberapa kali membantu saya, minta pinjaman uang. Bagi orang lain mungkin nominalnya kecil, tapi bagi saya cukup besar. Maklum, saya kan cuma pekerja lepas. Kadang ada kerjaan, kadang nggak ada.
Karena nggak enak untuk menolak, saya pinjami dia uang yang sedianya digunakan untuk bayar les anak. Akibatnya apa? Anak saya nggak jadi ikut les. Hu-hu, anak saya yang jadi korban.
Dulu, saat kuliah di Bandung juga begitu. Akibat nggak enakan sama orang, saya pinjamkan uang tabungan yang seharusnya dipakai untuk pindahan ke Jakarta. Ketika ditagih, ada saja alasannya. Akhirnya, saya jual sepeda dan barang-barang lain yang bisa dijual. Ngenes banget.
Perlunya Financial Boundaries
Uang memang bukan hal utama dalam kehidupan rumah tangga. Akan tetapi, butuh uang untuk menghidupi keluarga. Ketika finansial keluarga merana, bisa jadi rumah tangga di ujung maut.
Saya beberapa kali membaca kisah miris berakhirnya rumah tangga karena masalah finansial. Bukan melulu tidak adanya penghasilan yang memadai, tetapi karena “digerogoti” pihak lain di luar keluarga inti.
Amalia, seorang perencana keuangan, menyarankan agar suami-istri memiliki financial boundaries. Ini penting agar rumah tangga tidak berantakan karena finansial amburadul akibat ulah pihak lain.
Menurut saya, bukan hanya mereka yang sudah menikah saja sih yang perlu menerapkan financial boundaries. Semua orang perlu agar kondisi finansialnya tetap sehat dan tidak mudah menghadapi ajal.
Caranya gimana menerapkan financial boundaries ini? Amalia menyarankan untuk membuat perencanaan keuangan. Sesuatu yang terencana akan membuat seseorang tidak ugal-ugalan mengeluarkan uang.
Amalia juga memberikan masukan agar pasangan suami-istri punya mimpi bersama. Percuma jika istrinya punya mimpi merenovasi rumah di tahun kelima pernikahan, misalnya, sedangkan suami tidak menjadikan hal itu sebagai mimpinya. Beda langkah dong jadinya.
Jika sudah menikah, sebaiknya bicarakan kondisi finansial dengan pasangan. Jangan semua pengeluaran dibebankan ke satu orang saja. Sebaiknya juga tidak diam-diam saat akan membantu atau memberi pinjaman pada orang lain, meskipun itu keluarga dekat. Bukankah suami adalah pakaian istri, dan begitu pula sebaliknya? Jadi, nggak perlu ada yang ditutup-tutupi.
Nah, yang terpenting nih, “BILANG TIDAK”. Ups, caps lock jebol, he-he. Kita berhak menolak memberikan bantuan finansial jika kondisi keuangan sedang tidak baik-baik saja.
Penutup
Sah-sah saja menolak memberikan pinjaman uang. Apalagi pada orang yang selalu menjadikan kita andalan untuk menyelesaikan finansialnya. Biarlah orang lain itu belajar memprioritaskan kebutuhan.
Dia juga perlu memahami semua orang punya kebutuhan. Yang bersangkutan juga harus tahu terkadang seseorang bisa membeli aneka barang bukan karena uangnya banyak. Namun, karena seseorang itu rajin menabung, bekerja keras, dan tahu cara menempatkan prioritas.
Jadi, bukan hanya ipar adalah maut. Ada banyak sosok dan hal yang menjadi maut bagi kondisi finansial. Sebenarnya salah satu cara amankan keuangan adalah dengan Tak Gampang Utang. Namun, terkadang ketidakmampuan membedakan kebutuhan dan keinginan, menjerumuskan seseorang dalam utang.
Mama gimana, pernah punya pengalaman kondisi finansial keluarga ngos-ngosan karena digerogoti orang lain?
Ibuku banget, Kak, gak enakan sama orang. Dulu, siapa aja yang datang buat minjem bakal dikasih. Sekarang udah punya financial boundaries, jadi kalaj ada orang-orang yang “nyusahin” mau minjem, ibu selalu cari alasan.biar dia gak jadi minjem.
Pernah, temen minjem katanya butuh bangets eh lah trnyata dia ada tabungan yg tdk mau uang tabunganny itu d ambil u/ keperluan sehari² atau keperluan mendesak hmmm…trus ambis dkasih pnjeman eh lahhhh makan² enak d luar hmmmm….#maap jd ikut curhat jg hehehe