Hobi Jadi Bisnis, Cerita Teguh Kembangkan Motor Difabel yang Buka Jalan Mobilitas

Keterbatasan bukanlah penghalang untuk berkarya. Hal itu dibuktikan Teguh Prastyanto. Pria asal Malang yang mengembangkan UMKM Sonem Technokindo, usaha modifikasi motor khusus penyandang disabilitas. Dari tangannya, lahir kendaraan roda tiga yang aman, stabil, dan memberi kebebasan bergerak bagi difabel.
Berawal dari Teknisi Handphone

Perjalanan Teguh dimulai jauh sebelum Sonem Technokindo lahir. Pada tahun 1996, dengan latar belakang teknik, ia bekerja sebagai teknisi ponsel sekaligus berjualan handphone. Saking seringnya gonta-ganti HP untuk dijual kembali, banyak yang mengira dia adalah orang kaya raya.
“Soalnya kalau hape kejual, saya beli lagi,” ucap Teguh yang saya temui di kediamannya, kawasan Bogor, Jawa Barat.
Waktu itu, usahanya masih kecil-kecilan, bahkan dia sempat berjualan secara kaki lima. Teguh memanfaatkan peluang di koperasi mahasiswa Universitas Brawijaya dan Institut Teknologi Nasional Malang untuk menjajakan dagangan kepada teman-teman kampus. Dari sanalah jiwa wirausahanya terus ditempa.
Dari Stairlift ke Sepeda Motor Difabel

Sejak awal, Teguh bercita-cita membuat peralatan untuk penyandang disabilitas. Tesisnya bahkan membahas sistem otomatis pada stairlift, yakni alat bantu untuk naik tangga.
Teguh sempat memperkenalkannya ke publik pada tahun 2000-an. Sayangnya, terbentur regulasi SNI. Selain itu, impor peralatan untuk membuatnya juga sangat mahal. Alhasil kala itu hanya segelintir orang yang bisa menikmati.
Melihat kenyataan itu, Teguh banting setir. Ia memilih menciptakan sesuatu yang lebih dekat dengan kebutuhan sehari-hari, yaitu modifikasi motor untuk difabel.
Hobi yang Menjadi Jalan Bisnis Sepeda Motor Difabel
Awalnya, modifikasi sepeda motor hanyalah hobi. Namun, sejak 2010, usaha itu berkembang menjadi bisnis. Berbekal ilmu mekatronika yang didapat di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Teguh mulai merancang sepeda motor difabel yang stabil, aman, nyaman, dan tetap menarik secara visual.
Motor hasil karyanya bukan sekadar ditambah roda sembarangan. Dia menghitung tinggi, lebar, hingga keseimbangan agar benar-benar sesuai kebutuhan pengendara difabel.
Teguh bercerita, salah satu pesanan yang tak pernah dia lupakan adalah saat diminta memodifikasi motor besar jenis Phantom. “Motornya sendiri harganya Rp40 juta, tapi biaya modifikasinya sampai Rp60 juta,” kenangnya sambil tersenyum.
Pesanan itu menjadi bukti bahwa karyanya dipercaya. Selain itu, juga menunjukkan bahwa modifikasi motor difabel membutuhkan keahlian, detail teknis, serta biaya yang tidak sedikit.
Sonem Technokindo dan Pendampingan YDBA

Melalui Sonem Technokindo, Teguh terus mengembangkan karya inovatifnya. Hingga akhirnya, dia bergabung menjadi UMKM binaan Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) pada Oktober 2024 lalu.
Pria kelahiran tahun 1976 ini merasa senang bisa menjadi bagian dari YDBA. Pasalnya ada banyak pelatihan berkualitas yang bisa diikutinya. Misalnya saja pelatihan 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin), keterampilan las di Sukabumi, hingga pemahaman standar keselamatan produk.
Tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi Teguh karena UMKM yang dikembangkannya bergabung dengan YDBA. Pasalnya Astra selama ini dikenal sebagai manufaktur besar dengan standar ketat.
Bagi Teguh, kesempatan belajar langsung dari ekosistem Astra adalah pengalaman berharga. “Kalau Astra itu manufaktur beneran, saya masih kecil-kecilan. Kalau mereka bikin spare part baru, saya hanya memodifikasi dari spare part yang ada,” ujarnya.
Meski kapasitas produksi masih terbatas, yakni maksimal tiga sepeda motor per bulan, Teguh tetap menjaga kualitas. Baginya, setiap sepeda motor adalah personal. Ada pengguna yang butuh sepeda motor cepat meski hanya punya satu kaki. Namun, ada pula yang sekadar ingin bisa jalan dengan motor roda tiga seadanya. Semua bisa disesuaikan.
Kini, Teguh mengelola dua workshop. Satu di Gunung Putri, Bogor, dan satu lagi di Cimakpar, Bogor Utara. Masuk ke jejaring YDBA juga membuatnya terhubung dengan berbagai perusahaan. Salah satunya, ada perusahaan yang karyawannya mengalami kecelakaan kerja, lalu menghubungi Sonem Technokindo untuk dibuatkan motor roda tiga.
Dari pengalaman itu, Teguh semakin belajar mengenai standar manufaktur. Bahwa stabilitas sepeda motor yang dihitung dari tinggi, lebar, hingga detail kualitas yang tak selalu terlihat oleh konsumen, tapi krusial untuk keselamatan.
Penutup
Kisah Teguh bersama Sonem Technokindo membuktikan bahwa inovasi bisa lahir dari keterbatasan. Dari seorang teknisi handphone sederhana, dia tumbuh menjadi inovator motor difabel yang memberi dampak nyata. Perjalanan Teguh adalah cermin kegigihan dan kepedulian.
“Yang terpenting, karya saya bisa bermanfaat bagi teman-teman disabilitas. Saya berharap semakin banyak difabel mendapat kesempatan yang sama,” ujarnya.
Sonem Technokindo bukan sekadar UMKM. Ini adalah rumah inovasi. Tempat di mana sepeda motor difabel bukan sekadar alat transportasi, tapi juga simbol kemandirian, kebebasan, dan harapan baru.