Ketika Guru Menampar Siswa dan Orang Tua Melapor, Refleksi tentang Pendidikan Zaman Sekarang
Beberapa waktu lalu, dunia pendidikan geger. Seorang kepala sekolah menampar siswanya yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Kejadian itu terjadi di SMAN Cimarga, Banten.
Guru menampar siswa ini bukan tanpa sebab. Siswa yang ketahuan merokok tidak mau mengakui perbuatannya. Padahal jelas-jelas kepala sekolah melihat perbuatan tersebut. Merasa kesal dan gemas, kepala sekolah lepas kontrol. Tamparan pun melayang.
Peristiwa itu berbuntut panjang. Siswa tersebut mengadukan sang kepala sekolah kepada orang tuanya. Tidak terima, orang tua murid kemudian melapor ke polisi. Mereka berpendapat anaknya cukup diberi nasihat baik-baik saja, tidak perlu ditampar.
Kekerasan apa pun alasannya, tentu tidak bisa dibenarkan. Namun, di sisi lain, kita juga bertanya-tanya apa yang sedang terjadi dengan relasi antara guru, orang tua, dan murid sekarang ini? Dari kasus guru menampar siswa, mari berefleksi tentang pendidikan zaman sekarang.
Dulu, Saat Saya Dihukum Guru

Seingat saya, dulu saya adalah siswa yang baik di sekolah. Rajin belajar, serta giat mengerjakan soal latihan dan PR. Namun, ada kalanya saya melakukan “kenakalan” di kelas. Misalnya, terus-menerus mengobrol, padahal sudah ditegur guru.
“Pletak” Penghapus papan tulis melayang. Nyaris mengenai kepala saya. Zaman saya kecil dulu, disetrap, dihukum membersihkan toilet, serta dilempar kapur atau spidol adalah hal “biasa”. Kendati sakit fisik atau sakit hati, sedikit pun tidak terpikir untuk mengadu ke orang tua. Kalau orang tua tahu, bisa gawat. soalnya, bisa jadi malah kena tambahan hukuman di rumah.
Bukan karena orang tua kejam, tapi karena dulu seperti ada kesepahaman tak tertulis, bahwa guru punya wewenang mendidik, dan anak punya tanggung jawab menaati. Sekolah bukan hanya tempat menuntut ilmu, tapi juga tempat belajar adab, tanggung jawab, dan konsekuensi.
Pernah, suatu kali ada guru yang kayaknya tuh “sentimen” pada saya. Penyebabnya, saya beberapa kali lupa membawa buku pelajaran. Pasti guru saya sebal banget. Namun, saya merasa kekesalan guru saya itu nggak juga luntur kendati di hari-hari berikutnya saya selalu membawa buku pelajaran. Sindiran dan kata-lata ketus kerap saya dapati darinya.
Tahu nggak apa yang saya lakukan? Saya “balas dendam” pada guru itu. Semua latihan soal di buku saya kerjakan tanpa ampun. Saat pelajaran, saya berusaha jadi yang paling aktif. Selalu tunjuk tangan bila guru melempar pertanyaan, seolah tak ingin memberi kesempatan pada siswa lain untuk menjawab.
Hasilnya apa? Nilai saya paling tinggi. Bahkan guru tersebut merekomendasikan saya untuk mengikuti lomba antarsekolah. Bagi saya, itu jadi “kemenangan” tersendiri.
Sekolah Zaman Sekarang: Antara Guru, Anak, dan Orang Tua

Sekarang suasananya berubah. Guru takut menegur kesalahan muridnya karena khawatir dilaporkan. Bahkan ada beberapa kasus kekerasan dilakukan murid pada guru. Astaghfirullah, kok berani ya sama gurunya.
Ada yang bilang, “Mungkin sistem pembelajaran harus dikembalikan ke masa kita kecil dulu.” Karena kini, hampir semua urusan sekolah melibatkan orang tua. Meski, memang sih hal ini tidak berlaku di semua sekolah.
Akan tetapi, di beberapa sekolah, perkara menghias kelas, memegang uang kas, membantu bikin prakarya, sampai membersihkan lingkungan sekolah saat ada kegiatan “mensyaratkan” keterlibatan orang tua. Orang tua ingin membantu, tapi tanpa sadar justru mengambil alih peran anak. Akhirnya, anak-anak jadi kurang berlatih mandiri, dan cepat menyerah pada kesulitan.
Seorang warganet pernah menulis jujur. “Sekarang semua tugas anak dikerjakan orang tua. Lalu apa tugas murid? Mereka jadi lemah dalam tanggung jawab, tapi kuat dalam emosi.”
Kita ingin anak bahagia, tapi sering lupa bahwa sedikit kesulitan justru mampu menumbuhkan karakter. Anak-anak perlu belajar bertanggung jawab atas tugasnya sendiri, bukan mengalihkannya pada orang tua. Bukan pula memaksa orang tua untuk menyelesaikan semuanya. Dari tugas sekolah sampai kegaduhan yang ditimbulkannya.
Ketika Wibawa Guru Merosot

Zaman dulu, guru tuh sangat dihormati dan disegani. Namun, sekarang kok sepertinya wibawa guru jadi merosot ya. Mungkin benar, hal ini terjadi karena mencuatnya beberapa kasus oknum guru yang tidak bertanggung jawab.
Munculnya kasus di lingkungan sekolah, membuat kepercayaan orang tua goyah. Kasus pelecehan oleh oknum guru, atau bullying yang terjadi di sekolah namun seperti ditutupi dengan alasan “nama baik sekolah.”
Belum lagi slogan “No Bullying Zone” yang sering kali hanya jadi tulisan di poster kelas. Sementara di baliknya, ada anak yang takut bicara karena di-bully.
Ketika kasus-kasus seperti ini muncul, wajar jika orang tua jadi waspada. Namun, kewaspadaan jangan sampai berubah jadi kecurigaan yang membutakan. Karena di sisi lain, masih banyak guru yang mengajar dengan hati, menegur dengan sabar, dan menuntun dengan cinta.
Masih banyak guru-guru yang berwibawa dan sabar. Guru yang tak mencari-cari kesalahan, tetapi menjaga arah siswa didiknya. Dengan kesabaran dan kebijaksanaannya, guru-guru tersebut mampu memberikan contoh yang baik dan menciptakan suasana belajar yang nyaman bagi semua isi kelas tanpa terkecuali.
Terkadang Dunia Terlalu Permisif

Dulu, salah sedikit di sekolah ditegur. Sekarang, salah banyak dimaklumi. Dulu, salah nada bicara saja bisa kena tatapan maut dari orang dewasa mana pun di sekitar. Sekarang, ucapan kasar dianggap “ekspresi diri.”
Saya ingat banget ketika ada teman yang mengumpat menggunakan nama binatang. Ketika ada guru yang memergoki dan menegur, teman saya langsung minta maaf. Namun sekarang, begitu mudah anak-anak mengumpat dengan pelesetan nama binatang. Ketika ditegur apa kata mereka?
“Santai saja, cuma ucapan kok, Bu. Lagian nggak menyebut nama binatang itu. Nggak usah kaku-kaku amat.”
Astaghfirullah, ditegur saja punya segudang pembenaran. Padahal jelas-jelas anak itu tahu makna dari kata yang diucapkan. Lain cerita kalau anaknya mengucap karena memang nggak paham maknanya.
Bullying dianggap wajar dengan alasan bercanda atau main-main. Menantang guru pun dianggap biasa karena merasa punya “backing-an”. Melakukan pelanggaran di depan guru pun tak sungkan lagi. Astaghfirullah.
Anak-anak kita tumbuh di dunia yang terlalu permisif. Seolah semua serba boleh dan wajar. Orang tua terlalu sibuk atau terlalu lelah hingga lupa mengawasi detail kecil. Lalu, ketika anak mulai melanggar batas, sering kali dibela dengan kalimat, “Namanya juga anak-anak, nanti juga ngerti sendiri.”
Padahal justru dari masa anak-anak, mereka perlu belajar bahwa setiap tindakan punya konsekuensi. Kalau tidak, mereka akan mencatat di kepala bahwa semua tindakan mereka nggak memiliki konsekuensi serius, sehingga akan diulang lagi esok harinya.

Praktisi pendidikan, Supri HS, dalam catatannya di Facebook menyebut semua berawal dari rem sosial yang longgar. Rem ini seharusnya menjadi alarm otomatis untuk tidak coba melakukan hal yang aneh-aneh karena ada mata-mata di mana-mana.
Sayangnya, ketika rem sosial ini jadi longgar, bibit-bibit ‘ketidakberesan’ tumbuh subur dari hal-hal kecil yang tidak lagi kita anggap penting. Seremeh anak mengatakan “anjay”, menyebut temannya “boti”, ancaman kekerasan seksual yang dibalut dengan candaan, bahkan ketika kita membiarkan anak main game semalam suntuk karena kasihan mereka sudah belajar keras di sekolah.
Dulu, saat saya sekolah, teriak-teriak di lingkungan sekolah berimbas ditariknya kuping saya oleh guru. Malu sekali. Anak yang dianggap berprestasi ,justru dijewer karena nggak mampu mengendalikan mulutnya.
Bagaimana sekarang? Teriak-teriak di lingkungan sekolah kerap diabaikan. Menertawakan teman dianggap lumrah. Tidak mengerjakan PR juga dibiarkan saja, sembari berharap murid tersebut bakal tobat sendiri.
Supri HS mewanti-wanti, sikap permisif seperti ini punya efek domino. “Permisivitas adalah jalan tol menuju kebiasaan buruk.”
Saat Anak Salah, Tetapkah Kita Bela?

Kalau anak kita mendapat hukuman atau konsekuensi, refleks pertama yang kita lakukan biasanya adalah membelanya. Padahal mungkin lebih bijak jika kita menenangkan diri dulu dan bertanya: apa pelajaran yang bisa anak ambil dari kejadian ini?
Apakah anak belajar bahwa setiap kesalahannya bisa disapu bersih oleh pembelaan orang tua? Atau anak memahami setiap tindakan punya konsekuensi?
Kita ingin anak bertanggung jawab, tapi kadang kitalah yang terlalu cepat menutupi kesalahannya. Ya, anak memang harus dijaga dari kekerasan. Akan tetapi, dilindungi bukan berarti selalu dibenarkan tindakannya.
Menegur dengan tegas bukan berarti kasar. Memberi konsekuensi bukan berarti tidak sayang. Jadi, sebaiknya memang jangan sampai kita memberi kemanjaan yang membuat anak salah arah.
Anak perlu tahu bahwa cinta orang tua juga bisa hadir dalam bentuk batas dan tanggung jawab. Bukan melulu membelanya. Tidak selalu mewujudkan semua keinginannya.
Jika Anak Terlibat Kasus di Sekolah, Bagaimana Kita Bersikap?

Bayangkan di suatu siang, anak pulang sekolah dan menceritakan dirinya ditampar guru. Apa reaksi kita? Sebagai orang tua, tentu kita nggak terima guru menampar siswa, terlebih siswa itu anak kita sendiri.
“Enak saja, menampar sembarangan. Kita saja yang kasih makan nggak pernah mukul.” Mungkin kalimat ini menyeruak di dada.
Tenang, Ma. Tahan emosi dan dengarkan dari dua sisi. Setelah mendengar cerita anak, ada baiknya tabayun kepada kepala sekolah atau pihak yang melakukan penamparan (kekerasan). Ingat, dengar dulu cerita dari anak dan guru sebelum bereaksi.
Jangan lupa, bangun komunikasi sehat dengan guru. Tunjukkan bahwa kita menghormati guru di depan anak. Itu pelajaran adab yang tak bisa digantikan.
Selanjutnya, ajak anak bertanggung jawab. Yuk, bantu dia mengakui kesalahan dan memperbaikinya. Jangan hapus pelajaran itu dengan pembelaan yang membabi buta.
Gunakan momen ini untuk belajar. Ya, kelak, dunia terkadang keras dan tidak selalu memaafkan. Jadi, biarkan anak belajar menghadapi konsekuensi sejak dini.
Evaluasi diri sebagai orang tua juga penting dilakukan. Kita bisa bertanya pada diri sendiri, apakah kita memberi ruang anak untuk tumbuh atau justru membuatnya terlalu bergantung?
Penutup
Kasus guru menampar siswa yang viral semoga menjadi pembelajaran bagi kita semua. Bahwa kekerasan, meski dengan tujuan mendisiplinkan, memang tidak bisa dibenarkan. Akan tetapi sebagai orang tua juga kita jangan selalu bermudah-mudahan melaporkan tindakan guru.
Mungkin kita memang perlu sedikit mundur, bukan ke masa lalu sepenuhnya, tapi ke nilai-nilai yang dulu menumbuhkan kita. Disiplin, tanggung jawab, sopan santun, dan rasa hormat pada guru tidak boleh pudar.
Sekolah seharusnya menjadi tempat anak belajar menjadi pribadi utuh, bukan medan tarik menarik antara guru dan orang tua. Bagi kita, para orang tua, refleksinya sederhana: sebelum membela anak, pastikan dulu kita tidak sedang membela kesalahannya.
Referensi
news.okezone.com. “Kronologi Kepsek SMAN 1 Menampar Siswa yang Merokok Hingga Berujung Dionaktifkan,” https://news.okezone.com/read/2025/10/15/340/3176896/kronologi-kepsek-sman-1-menampar-siswa-yang-merokok-hingga-berujung-dionaktifkan
Supri HS, “Inilah Alasan Sesungguhnya, Mengapa Murid Zaman Sekarang Miskin Moral dan Adab,” https://www.facebook.com/share/p/1PHmnXVgdr/
Nora Margaret, “Dari Lelah Menegur, Menuju Cahaya Wibawa yang Hilang,” https://www.facebook.com/share/p/1ACGPFvTMs/