Dulu Open Trip, Kini Road Trip Keluarga; Wisata Sawarna dalam Dua Versi Hidup Kami
Tiga belas tahun lalu, saya datang ke Sawarna, Banten, dengan cara ikut open trip. Ya, dulu saya bergabung dalam milis backpacker yang menawarkan berbagai paket open trip, sehingga mudah dapat info jalan-jalan ke berbagai tempat. Saat itu, open trip wisata Sawarna jadi pilihan untuk escape sejenak dari rutinitas kantor.
Kala itu, saya ikut open trip wisata Sawarna bersama suami yang belum menjadi suami, he-he. Semua sudah diatur penyelenggara open trip. Mulai dari jadwal keberangkatan, tujuan wisata Sawarna, hingga tempat menginap. Kami tinggal mengikuti dan menikmati, tanpa banyak berpikir.
Tahun ini, kami kembali ke Sawarna. Kami napak tilas perjalanan tiga belas tahun lalu. Pantai yang sama. Penginapan yang sama. Hanya saja, cara berwisatanya sedikit berbeda.
Kali ini, kami menyetir mobil sendiri, membawa anak-anak, dan menyusun itinerary sesuai ritme keluarga. Sawarna tetap memesona, tapi kami datang dengan versi hidup yang tak lagi sama.
Kembali ke Sawarna Setelah Tiga Belas Tahun

Ada perasaan campur aduk saat roda mobil mulai memasuki kawasan Sawarna. Antara nostalgia dan penasaran. Apakah tempat ini masih sama? Apakah rasanya masih seperti dulu?
Ternyata, Sawarna memang tidak banyak berubah. Pantainya masih luas, anginnya masih segar, dan suara ombaknya tetap menenangkan. Yang berubah justru kami.
Dulu, kami adalah pasangan muda yang ringan langkahnya. Sedangkan sekarang, kami merupakan orang tua dengan tanggung jawab dan pertimbangan di setiap keputusan perjalanan.
Dari Open Trip ke Menyusun Itinerary Sendiri Kala Wisata Sawarna

Dulu, ikut open trip terasa menyenangkan. Praktis, spontan, dan bebas repot. Kami tinggal duduk, datang, dan menikmati.
Open trip kala itu mempertemukan kami dengan sesama penikmat wisata. Kami berteman dengan seorang warga negara Jepang yang sedang bekerja di Indonesia. Yocan, demikian kami menyapanya.
Kini, road trip keluarga memberi pengalaman yang berbeda. Menyetir sendiri berarti menentukan sendiri kapan harus berhenti, dan kapan harus melanjutkan perjalanan. Itinerary tak lagi soal mengejar destinasi, tapi tentang menjaga suasana tetap nyaman.
Menyusun perjalanan sendiri ternyata bukan soal ingin lebih ribet, melainkan ingin lebih sadar. Kami belajar berjalan lebih pelan. Tentu saja, setelah hadirnya anak-anak dalam hidup, siapa pun tidak bisa lagi berlari sendiri dengan kecepatan penuh.
Perbedaan Liburan ke Sawarna Dulu dan Sekarang
- Dulu ikut open trip, sekarang road trip keluarga
- Dulu mengikuti jadwal, sekarang mengikuti ritme anak
- Dulu mengejar destinasi, sekarang mengejar kenyamanan
- Dulu mengikuti arus, sekarang menentukan arah.
Menikmati Legon Pari Bersama Kelomang

Kami sampai di parkiran Desa Wisata Sawarna sekitar pukul 15.30 WIB. Sudah cukup sore memang, mengingat berangkat dari Jakarta sekitar pukul 10.00 WIB lantaran si sulung harus les renang terlebih dahulu.
Tak membuang waktu, kami segera menyewa sepeda motor. Biayanya Rp200.000 dan kami bisa memakai sepuasnya. Terasa mahal, tapi ya sudahlah. Dari parkiran tersebut, harus membayar tiket masuk ke kawasan desa wisata Rp10.000 per orang.
Suami bergegas memacu sepeda motor. Si kecil berada di paling depan, sedangkan saya dan si sulung duduk di bangku belakang. Untung orangnya kecil-kecil, jadi satu sepeda motor cukup untuk mengangkut kami semua.
Berbekal Google Map, sepeda motor melaju ke destinasi pertama, yakni Pantai Legon Pari. Pantai ini berada di bagian barat Desa Sawarna. Dari jalan utama Desa Sawarna, butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai ke sini. 13 Tahun lalu, kami tidak ke Legon Pari, sehingga ini jadi pengalaman pertama.

Pantai Legon Pari berada di balik perbukitan, alhasil jalan yang kami lalui pun naik-turun khas perbukitan. Sesekali kami melewati sawah yang menghijau dan menyejukkan mata. Kami juga harus melewati jembatan gantung dan membayar tiket masuk kawasan pantai Rp10.000.
Akhirnya, tiba juga di Legon Pari! Hamparan pasir putih kecokelatan langsung menyapa. Kami pun bergegas berjalan-jalan di bibir pantai.

Nah, dalam perjalanan tersebut, kami menemukan hal-hal kecil yang justru membuat pengalaman di Legon Pari semakin berkesan. Kelomang-kelomang kecil berjalan lincah di atas pasir, membawa cangkangnya masing-masing. Anak-anak berhenti cukup lama, mengamatinya dengan rasa penasaran.
Tak jauh dari sana, kami menemukan bangkai ikan buntal yang bentuknya menyerupai durian. Tubuhnya menggembung dan dipenuhi duri. Bagi anak-anak, ini menjadi pengalaman baru melihat ikan buntal dari dekat, meski dalam kondisi tak bernyawa.

Sementara itu, di kejauhan, seorang pria sibuk memancing. Dia berdiri di antara gulungan ombak sore yang saat itu cukup tinggi.
Pantai Legon Pari memiliki garis pantai yang sangat lebar dan panjang, membentang hingga sekitar empat kilometer. Nama Legon Pari sendiri berasal dari bahasa Sunda. Kata legon atau ngelagon berarti menjorok ke darat atau membentuk teluk, sementara pari merujuk pada ikan pari yang dahulu banyak ditemukan di kawasan ini.
Air Terjun yang Memukau di Pantai Karang Taraje

Mengingat waktu sudah semakin sore, kami bergeser sedikit ke pantai lainnya, yakni Pantai Karang Taraje. Pantai ini berada di sebelah timur Pantai Legon Pari.
Pemandangan di sana sungguh masyaallah. Luar biasa! Sejauh mata memandang, bisa melihat air terjun di lautan. Ini bukan air terjun yang mengalir dari sungai menuju ke laut, melainkan dari hempasan ombak yang mengenai batuan karang di Pantai Karang Taraje.
Ya, pantai yang satu ini ditandai dengan keberadaan formasi batuan karang yang menyerupai tangga. Nah, ombak yang menghantam karang menciptakan semburan air menyerupai air terjun. Fenomena ini menciptakan pemandangan indah yang jarang ditemukan di pantai lain.
Pantai Karang Taraje memiliki garis pantai yang relatif sempit, dengan hamparan karang yang mendominasi area bibir pantainya. Karakter inilah yang membuat pantai ini terasa lebih liar dan alami, berbeda dari pantai berpasir yang luas.
Sore itu, saat kami tiba di Pantai Karang Taraje, ombak khas pantai selatan sedang bergulung besar. Gelombang demi gelombang menghempas karang-karang berundak tanpa henti, menghadirkan pertunjukan alam yang terasa megah sekaligus menenangkan. Kami berdiri cukup lama di sana. Membiarkan suara deburan laut mengisi jeda, sehingga waktu seolah ikut melambat bersama senja yang perlahan turun.
Senja di Pantai Tanjung Layar dan Bakso Ikan yang Menggoyang Lidah

Pantai Tanjung Layar tetap menjadi ikon Sawarna. Dua batu karang raksasa yang berdiri berhadapan seolah tak terpengaruh waktu. Dulu, pantai ini kami nikmati dengan berburu foto. Bahkan saya sempat naik ke karang raksasa tersebut.
Namun, sore itu, saat kami kembali ke Tanjung Layar, laut sedang pasang. Air menggenang cukup tinggi hingga kami tak bisa mendekat ke dua karang raksasa tersebut. Kami pun memilih duduk-duduk santai di antara batu-batu karang yang berserakan di sepanjang bibir pantai, menikmati semilir angin dan debur ombak.
Tak jauh dari tempat kami duduk, seorang pria tua menjajakan bakso ikan. Aroma bakso hangatnya tercium samar, berpadu dengan udara pantai yang asin. Rasanya sulit menolak godaan menikmati bakso ikan ditemani angin laut dan langit yang perlahan menjelaga.

Kami membeli satu bungkus bakso ikan seharga lima ribu rupiah. Isinya sepuluh butir bakso yang disajikan dalam kantung plastik. Rasanya benar-benar mengejutkan, lantaran ikannya terasa kuat dan segar. Seporsi bakso ikan hangat di tengah suasana pantai sore itu mendadak terasa seperti hadiah kecil yang membahagiakan.
Karena terasa kurang, kami pun membeli satu bungkus lagi seharga tujuh ribu rupiah. Sambil mengunyah bakso ikan, kami sesekali menengadahkan kepala ke langit. Bulan mulai menampakkan diri, menggantung pucat di antara sisa warna senja.
Tak lama kemudian, azan magrib terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Seolah menjadi pengingat lembut bahwa sudah waktunya kami bergegas meninggalkan pantai sebelum hari benar-benar pekat.
Menginap di Little Hula Hula; Tempat yang Menyimpan Cerita Wisata Sawarna

Salah satu momen paling emosional dalam perjalanan ini adalah saat kami menginap kembali di Little Hula Hula. Ini adalah penginapan yang sama dengan tempat kami bermalam 13 tahun lalu.
Tempat yang sama, dengan perubahan di sana-sini. Namun, sepertinya kamar tempat kami menginap dulu sudah rusak dimakan usia. Dulu, saya bermalam di sebuah kamar bersama traveler perempuan lainnya. Sedangkan suami bersama traveler laki-laki di kamar sebelah.
Bentuk penginapan yang kami sewa berupa rumah yang sebagian besar dibangun dengan bahan kayu. Ada kursi dan meja bambu di terasnya. Sedangkan di bagian paling belakang kamar adalah kamar mandi berukuran besar, detail yang masih saya ingat hingga kini.
Di area tengah penginapan, sebuah gazebo masih berdiri. Dulu, tempat ini menjadi lokasi kami duduk berlama-lama setelah sarapan dan makan siang, berteduh di bawah rindangnya pepohonan. Sekilas suasananya terasa sama, meski beberapa perubahan kecil tak terelakkan. Waktu memang meninggalkan jejaknya, pelan tapi pasti.

Tiga belas tahun lalu, kami datang sebagai pasangan yang belum tahu ke mana arah hidup akan membawa. Kini, kami kembali bersama anak-anak, membawa cerita yang jauh lebih panjang dan berlapis. Ruangannya mungkin terasa lebih kecil dari yang saya ingat, tetapi maknanya justru terasa semakin besar.
Ada rasa hangat yang mengalir saat menyadari bahwa beberapa tempat bukan hanya sekadar lokasi singgah, melainkan penyimpan kenangan. Menginap di Little Hula Hula rasanya seperti membuka kembali kotak kenangan lama, dan menemukan bahwa isinya masih utuh. Hanya saja bertambah makna.
Baca juga rekomendasi traveling bersama keluarga dengan nuansa pantai, Sea Walker di Pahawang, Begini Rasanya Jalan-jalan di Bawah Laut

O, ya, penginapan di Little Hula Hula dilengkapi dengan air conditioner, juga ketel pemasak air. Handuk dan perlengkapan mandi pun disediakan. Selain itu, kendaraan bisa langsung parkir di depan kamar.
Penutup

Sawarna mengingatkan kami satu hal penting, bahwa suatu tempat bisa saja tetap sama, tapi manusia akan selalu bertumbuh. Dari ikut open trip, hingga berani menyusun perjalanan sendiri saat road trip bersama keluarga. Dari liburan spontan, hingga perjalanan yang penuh pertimbangan.
Perjalanan kali ini bukan sekadar kembali ke Sawarna, melainkan kembali melihat diri sendiri. Ya, melihat kembali sejauh apa kami melangkah, dan bagaimana cara kami menikmati hidup hari ini.
Kalau Mama diberi kesempatan kembali ke tempat yang pernah dikunjungi belasan tahun lalu, apakah bersedia datang lagi? Kira-kira, tempat mana yang ingin “diulang kembali”?