Kala Dua Matahari Dipaksa Bersinar: Luka di Dunia Kerja dan Pelajaran yang Tersisa

Puluhan purnama berlalu. Namun, ada hari-hari ketika luka di dunia kerja itu masih mengetuk kembali. Pelan, nyaris tak terdengar. Ia datang bukan membawa amarah, hanya seutas rasa asing dari masa lalu yang belum selesai kupahami sepenuhnya.
Belum lama ini saya bertemu dengan seorang teman lama. Kami pernah bekerja di bawah atap yang sama, berbagi meja rapat, berbagi lelah, juga mimpi. Percakapan kami pagi itu mengalir seperti sungai yang tak terbendung. Ya, tentang dulu, tentang sekarang, tentang dunia kerja yang berubah cepat tanpa pernah benar-benar memberi aba-aba.
Dari kisahnya, saya tahu, tak semua hal berjalan sesuai harapan. Ada getir di antara kalimatnya, dan entah kenapa, pertemuan itu seperti membuka pintu ingatan yang selama ini hanya saya biarkan tertutup. Ingatan tentang diri sendiri, di masa yang terasa dekat, tapi juga jauh.
Saya pernah tinggal lama di sebuah ruang kerja yang terasa seperti rumah kedua. Bertahun-tahun saya menjadi bagian dari alur yang membentuk arah. Di sana, saya tidak hanya bekerja, tapi juga bertumbuh. Saya turut membangun, menjaga ritme, memastikan cahaya tetap menyala meski kadang mati lampu.
Luka di Dunia Kerja: Satu Kursi yang “Dipaksa” Diduduki Berdua

Berangkat kerja, pulang kerja. Dedikasi dan loyalitas terpatri kuat. Namun, semua itu seolah belum cukup.
Hari yang seperti “neraka” itu datang. Bermula dari seseorang yang dulu pernah saya tolak untuk masuk ke dalam tim –ini bukan karena benci, tapi karena keyakinan profesional– tiba-tiba hadir sebagai bagian dari struktur baru.
Dia hadir bukan sebagai rekan biasa, tapi membawa ransel berisi wewenang setara. Bahkan tumpang tindih. Seperti dua kepala dalam satu tubuh. Seperti dua matahari di satu langit kecil yang selama ini saya tata dengan hati-hati.
Segalanya mulai terasa kabur. Suara-suara jadi berlapis. Keputusan tak lagi tunggal.
Hari itu saya memang masih duduk di kursi yang selama ini saya jaga. Akan tetapi, dunia seketika sempit kala diberi tahu bahwa kini ada orang lain yang harus duduk bersama. Bukan menggantikan, katanya, tapi menemani.
Keputusan aneh. sejak kapan ada orang yang nyaman duduk berdua di kursi yang memang hanya dirancang untuk satu orang?
Saya tidak langsung marah. Tidak juga menangis. Tapi diri ini tahu, tempat itu bukan lagi tempat saya. Maka saya memilih pergi. Bukan, bukan karena kalah, tapi karena saya tahu, bertahan kadang lebih menyakitkan daripada bertahan.
Luka di Dunia Kerja yang Mencoba Dikubur

Luka itu tak langsung sembuh. Waktu berjalan, dan saya belajar: kadang yang paling menyakitkan bukanlah kehilangan posisi, tapi kehilangan rasa dihargai, rasa dipercaya, rasa menjadi bagian dari sesuatu yang pernah kita rawat dengan sepenuh hati.
Pertemuan dengan seorang teman tempo hari itu membuka kembali luka yang sudah lama tak saya sapa. Namun, kini, saya bisa menatap luka itu dengan cara yang berbeda.
Bukan lagi sebagai luka yang menyiksa, tapi sebagai bagian dari diri yang pernah kuat. Diri yang tahu kapan harus diam, dan kapan harus melangkah pergi demi menjaga kewarasan.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Luka di Dunia Kerja Ini?

Ketika saya hendak mundur dari tempat kerja tersebut, sebenarnya ada beberapa pimpinan yang mencoba “menahan”. Mungkin alasannya karena masa kerja saya di sana yang tidak sebentar. Lagi pula saya baru saja turut “melahirkan” divisi baru.
Satu hal yang agak menyakitkan adalah orang baru yang kehadirannya menjadi duri bagi saya itu diajak berdiskusi oleh pengambil keputusan dari sisi human resources. Kata orang baru itu, saya juga akan dipanggil untuk mendiskusikan posisi kami berdua. Katanya, agar segalanya lebih terang benderang dan tak ada prasangka.
Nyatanya apa? Tidak pernah ada panggilan darinya. Saya justru mendengar yang bersangkutan mengatakan begini pada rekannya, “Kalau memang mau resign ya silakan saja. Datang dan pergi ‘kan biasa saja di sini.”
Hmm, dari situ saya langsung paham sekali bahwa saya tidak lagi diinginkan. Mungkin cukup sebegitu saja pengabdian saya. Di dalam hati saya bertekad, kelak, jika saya punya usaha atau perusahaan tidak akan bertindak konyol seperti itu.
Ya, tindakan konyol menaruh dua orang di satu kursi, untuk tim yang isi internalnya hanya empat orang. Langkah yang kurang bijak karena mendengar hanya dari satu sisi saja. Bukankah itu suatu kezaliman?
Dari beberapa tulisan yang saya baca, banyak yang berpendapat menempatkan dua manajer di satu kursi sama sekali tidak bijaksana. Dari luka di dunia kerja yang saya alami, berikut ini beberapa hal yang bisa dipelajari.
1. Kejelasan Peran Itu Hal Penting

Seorang pengguna LinkedIn, Daniel Bermejo Oyarzun, berargumen, dua manajer di level yang sama berpotensi menimbulkan kebingungan dan konflik. Pasalnya keduanya tidak memiliki batas peran yang jelas. Satu sama lain saling tumpang tindih.
Ketika keduanya diberi tanggung jawab dan wewenang yang serupa tanpa mekanisme pengambilan keputusan yang terstruktur, ambiguitas pun muncul. Tim menjadi bingung harus mengikuti arahan siapa, terutama jika instruksi yang diberikan saling bertentangan.
Ketidakjelasan ini bukan hanya memengaruhi produktivitas, tapi juga memicu gesekan. Perebutan pengaruh bisa terjadi secara halus maupun terbuka, terutama ketika masing-masing pihak berusaha menegaskan otoritasnya. Dalam situasi seperti ini, kerjasama bisa terganggu. Tim pun kehilangan arah karena tak tahu siapa pemimpin yang seharusnya mereka andalkan.
2. Loyalitas Tidak Selalu Dihargai, dan Itu Fakta

Pada akhirnya saya sadar, bahwa sebanyak apa pun kontribusi, tidak semua tempat tahu cara merawat mereka yang setia. Alih-alih merawat, beberapa bahkan ada yang justru memasukkan orang baru untuk “menyingkirkan” yang lama.
Apakah karena yang lama dianggap tidak lagi memiliki makna? Bisa jadi. Namun, bukankah lebih baik memilih cara elegan untuk menggantikan. Yah, meski saya tidak yakin juga cara elegan merupakan pilihan di banyak tempat.
Terkait loyalitas di tempat kerja, Professor Jeffrey Pfeffer dari Stanford Graduate School of Business menyimpulkan norma timbal balik semakin diabaikan. Padahal di luar dunia kerja, timbal balik atas perbuatan baik hampir merupakan reaksi otomatis. Ini didasarkan pada harapan sosial bahwa perbuatan baik harus dibalas.
Dalam konteks organisasi, kata Pfeffer, semuanya tentang perhitungan. Jadi, jika ada karyawan yang loyal, tapi dirasa tidak akan memberikan banyak keuntungan di masa depan, perusahaan tidak memiliki alasan kuat untuk membalas budi.
“Pola pikir yang penuh perhitungan dan berorientasi ke masa depan itu berarti kita tidak boleh mengharapkan perusahaan untuk terikat kuat oleh norma moral,” ujar Pfeffer.
Berdasar penelitian itu, penting untuk punya batas pribadi di dunia kerja: kapan bertahan, juga kapan melepaskan.
3. Profesionalisme Itu Bukan Berarti Menyiksa Diri

“Kalau ada orang baru yang posisinya sama denganmu ya terima-terima saja. Toh itu keputusan perusahan. Profesional, dong!”
Hmm, mungkin ada yang berpendapat begitu. Sayangnya, entah bagaimana, keputusan itu lahir bukan dari atasan langsung. Aneh? Begitulah adanya.
Bagi saya, diam dan menerima lalu menjalani bukan selalu bentuk dewasa dan profesional. Kadang, yang lebih bijak justru adalah berkata “cukup” dan memilih langkah yang lebih sehat untuk diri sendiri.
4. Membuka Luka Lama di Dunia Kerja Bisa Jadi Proses Penyembuhan

Membicarakan pengalaman pahit bukan berarti belum move on. Justru itu cara untuk menatap masa lalu dengan kepala tegak. Tanpa dendam, hanya dengan pemahaman.
Apalagi nih, ketika mencoba menuangkan melalui tulisan ekspresif. Beberapa penelitian menyebut tulisan ekspresif awalnya dapat membuat orang kesal tetapi akhirnya membantu mereka untuk rileks.
Dr. James W. Pennebaker, dari Departemen Psikologi di University of Texas, Austin, dalam penelitiannya menjelaskan menulis membantu orang untuk mengatur pikiran dan memberi makna pada pengalaman traumatis. Proses menulis juga memungkinkan seseorang untuk belajar mengatur emosinya dengan lebih baik.
Rupanya waktu juga memegang peranan penting di sini. Beberapa penelitian menemukan orang yang menulis tentang peristiwa traumatis segera setelah kejadian, mungkin keadaannya justru lebih buruk. Alasannya, karena mereka belum siap menghadapinya.
Karena itu, Dr. Pennebaker menyarankan untuk menunggu setidaknya satu atau dua bulan setelah peristiwa traumatis sebelum mencoba teknik menulis ekspresif untuk menyembuhkan luka. Saya sendiri butuh bertahun-tahun untuk bisa menuliskannya tanpa amarah. Padahal saya juga sempat konsultasi ke psikolog, lho.
Penutup
Kalau Mama sedang berada di situasi kerja yang membuat merasa samar, entah karena tanggung jawab, keputusan atasan membingungkan, atau keberadaanmu seolah tak penting, semoga tulisan ini bisa menjadi teman.
Mama juga bisa berbagi cerita di kolom komentar. Kita belajar dari pengalaman satu sama lain. Karena sering kali, luka di dunia kerja bukan hal pribadi, melainkan sistemik. Ketika kita berani bercerita, kita sedang menciptakan ruang aman untuk orang lain yang mungkin belum bisa bersuara.
Referensi
Daniel Bermejo Oyarzun. “The Chaos of Having Two Managers at the Same Level”, https://www.linkedin.com/pulse/chaos-having-two-managers-same-level-daniel-bermejo-oyarzun-beavf/
gsb.stanford.edu. “Jeffrey Pfeffer: Why Companies No Longer Reward Loyal Employees,” https://www.gsb.stanford.edu/insights/jeffrey-pfeffer-why-companies-no-longer-reward-loyal-employees.
health.harvard.edu.“Writing about emotions may ease stress and trauma,” https://www.health.harvard.edu/healthbeat/writing-about-emotions-may-ease-stress-and-trauma?utm_source=chatgpt.com