Ketika Kebaikan Disalahgunakan

“Maaf ya, aku belum bisa balikin uang yang aku pinjam. Tolong pahami kondisiku. Kamu pasti ngerti, ‘kan?”
Kalimat itu mungkin terdengar lembut, tapi rasanya seperti pelan-pelan menyayat hati. Bukan karena saya pelit. Bukan pula karena tak ikhlas membantu, tapi karena ini bukan kali pertama saya diminta maklum oleh orang yang tak pernah benar-benar berusaha menepati janji.
Sudah beberapa kali saya menyisihkan sebagian rezeki untuk teman yang datang dengan cerita getir. Tentang anaknya yang masuk rumah sakit. Tentang biaya sekolah anak yang menunggak. Tentang suaminya yang harus mengganti kerugian di tempat kerjanya. Tentang keluarga yang butuh biaya. Tentang hidup yang katanya sedang runtuh.
Beberapa kali saya bantu. Bukan karena saya punya harta berlimpah-limpah, tapi karena saya tahu rasanya jadi orang yang bingung harus minta tolong ke siapa. Saya bantu karena saya percaya. Percaya ceritanya, juga percaya padanya. Mungkin saya sedang jadi jalan rezeki yang Allah titipkan.
Namun, semakin ke sini, saya mulai sadar, bahwa tidak semua yang datang dengan kisah sedih benar-benar butuh bantuan. Kadang, mereka hanya butuh tempat baru untuk melempar beban, tanpa pernah memertimbangkan apakah si penolong jadi ikut tertatih.
Beberapa dari mereka kemudian datang lagi. Meminta lagi. Meminjam lagi. Seolah saya selalu punya stok uang banyak dan tidak memiliki kebutuhan. Ketika mencoba menolak, dipepet terus, bahkan yang bersangkutan sampai menurunkan nominal yang akan dipinjamnya.
Terus Diminta Memahami, tapi Kebaikan Disalahgunakan

Suatu kali pernah seseorang datang dan meminjam sejumlah uang. Katanya untuk membayar biaya kuliahnya. Tanpa pikir panjang, langsung saya transfer ke rekeningnya. Lagi-lagi karena saya percaya padanya.
Lalu, saat saya mencoba menagih, saya diminta untuk memahami. Bahwa saat itu dia belum punya uang untuk membayar utangnya. Di saat yang lain ketika mencoba menagih kembali, katanya uangnya dipakai dulu untuk urusan lain.
Hmm, bagaimana dengan urusan saya? Saya mulai bertanya dalam hati, “Mengapa yang memberi pinjaman harus terus memahami, sementara yang menerima tak pernah belajar berterima kasih?”
Dalam Islam, amanah adalah perkara besar. Bahkan Rasulullah SAW bersabda, “Tidak beriman seseorang yang tidak bisa dipercaya.” (HR. Ahmad)
Sebenarnya saat berutang, itu bukan sekadar urusan antar manusia, tapi urusan dengan Allah. Bukankah kelak di akhirat setiap utang akan ditanyakan?
Begitu pula dengan memberi. Memberi itu mulia, tapi bukan berarti kita harus mengabaikan batas. Islam mengajarkan keseimbangan. Antara peduli dan menjaga diri. Antara menolong dan menasihati. Antara sabar dan tegas.
Saya menulis ini bukan karena marah, tapi karena ingin mengingatkan diri sendiri. Pada akhirnya, yang bisa menjaga kebaikan adalah kehati-hatian. Yang bisa menjaga silaturahmi adalah rasa saling menghormati. Dan yang bisa menjaga kita tetap manusiawi adalah kesadaran untuk tidak menyakiti, bahkan saat kita sedang merasa paling disakiti.
Ketika Kebaikan Dibalas Lemparan Kotoran

Di dunia yang serba cepat ini, kadang kita tergesa memberi tanpa sempat menilai. Kita merasa iba, ingin jadi penolong, ingin hadir sebagai pelita untuk seseorang yang sedang tenggelam. Namun, apa yang terjadi saat tangan yang kita ulurkan justru dijadikan pijakan untuk melempar kotoran?
Saya pernah melihat dari dekat, bagaimana kepercayaan bisa dikikis. Bukan oleh musuh, tapi oleh orang yang pernah kita sebut saudara.
Mungkin sebenarnya bukan karena dia jahat. Bisa jadi karena dia sedang terlalu tenggelam dalam luka, adiksi, atau ilusi bahwa semuanya bisa ditebus dengan kebohongan kecil. Sayangnya, kebohongan itu tumbuh, membesar, merusak. Bahkan dengan cara paling destruktif.
Saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Akan tetapi, saya juga tidak ingin diam. Karena dalam hidup, kita bukan hanya butuh hati yang luas, tapi juga batas yang jelas.
Kebaikan tanpa batas bisa jadi jebakan, dan kepercayaan yang diberikan tanpa perlindungan bisa berubah menjadi racun bagi diri sendiri.
Saya percaya semua orang bisa berubah. Namun, perubahan butuh kesadaran, bukan belas kasihan. Butuh keberanian untuk jujur, bukan sekadar air mata di depan orang-orang yang masih peduli.
Tulisan ini adalah pengingat, untuk diri saya sendiri dan mungkin untukmu juga. Bahwa jangan mudah menyalahkan diri karena kecewa pada orang lain. Jangan pula merasa bersalah karena memilih menjaga jarak. Serta jangan takut menetapkan batas, meskipun kita dikenal sebagai “si baik hati”.
Satu lagi yang tak kalah penting. Jangan pernah menganggap kepercayaan orang lain sebagai sesuatu yang bisa diuji seenaknya.
Penutup
Untuk kamu yang membaca ini. Jika kamu sedang merasa kecewa karena kebaikan disalahgunakan, semoga diberi ketenangan hati.
Jika kamu sedang meminjam kebaikan orang lain, semoga kamu diberi kekuatan untuk menjaga dan mengembalikannya dengan hormat. Dan jika kamu sedang berada di antara keduanya, semoga Allah jaga hatimu agar tetap lurus, amanah, dan tahu diri.
Mari sama-sama belajar menjadi pribadi yang tahu batas saat meminta, dan tahu waktu untuk “berhenti memberi.” Karena hidup bukan hanya tentang saling tolong, tapi juga saling menjaga. Kepercayaan adalah nikmat, dan amanah adalah ujian.
Mama pernah mengalami hal serupa? Yuk, cerita di kolom komentar. Kita saling belajar dan saling jaga.