Di Ujung Ombak Pesisir Selatan, KBA Lenggoksono Menulis Masa Depan
Ketika gemericik air terjun berpadu dengan debur ombak dan desah angin pantai, sensasi apa yang mengudara? Mungkin rasa tenang. Atau justru rasa kagum yang memeluk erat. Mengingatkan kita bahwa ada tempat di dunia ini, di mana alam bekerja dalam harmoni yang sempurna.
Pemandangan luar biasa itu seperti permata tersembunyi di pesisir Malang Selatan, Jawa Timur. Sebuah titik yang menjadi tempat darat, laut, dan gunung saling berpelukan tanpa saling menaklukkan.
Inilah Kampung Berseri Astra (KBA) Lenggoksono, sebuah kampung yang tumbuh bersama alam. Di sini, warga tak sekadar menikmati anugerahnya, tapi menjaga dan merawatnya seperti bagian dari dirinya sendiri.
Potret KBA Lenggoksono di Masa Lalu

Sebelum dikenal sebagai Kampung Berseri Astra, Lenggoksono “hanyalah” kampung nelayan sederhana. Jalan menuju ke sana masih sempit dan berbatu. Sinyal telepon kerap hilang. Sebagian besar warganya hidup dari hasil laut dan kebun.
Kala itu, belum banyak yang memikirkan soal konservasi dan perkembangan pariwisata. Laut hanya dianggap sumber nafkah, bukan ruang kehidupan yang perlu dijaga. Illegal fishing marak. Banyak warga menangkap ikan dengan memakai bom dan potasium. Hal itu membuat ekosistem laut rusak dan terumbu karang hancur.
Namun, perlahan, semangat baru tumbuh. Agungtriono, pemuda asli desa tersebut, menggerakkan warga untuk melakukan berbagai perubahan. Mereka menanam terumbu karang, juga membersihkan pantai. Agung bahkan dikenal sebagai pengasuh karang. Kerja keras itu membuatnya diganjar penghargaan Satu Indonesia Awards 2017 di bidang lingkungan.

Penghargaan itu melecut Agung untuk lebih jauh menata kampungnya. Dia percaya, Lenggoksono memiliki potensi besar. Bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi sebagai ruang hidup yang harus diwariskan dalam keadaan lebih baik.
“Awalnya, saya mengajak emak-emak untuk bergerak. Emak-emak ini memang tak terkalahkan,” ucap Agung saat dihubungi melalui panggilan video.
Ungkapan “emak-emak adalah ras terkuat di Bumi”, sepertinya memang benar adanya. Setidaknya begitulah yang terjadi di Lenggoksono. Ketika Agung mengumpulkan para ibu di Posyandu dan mengatakan kampungnya bisa didatangi banyak tamu, asal empat pilar dijalankan, mereka langsung mengangguk tanpa ragu. Empat pilar yang dimaksud adalah pendidikan, kewirausahaan, lingkungan, dan kesehatan.

Para ibu inilah yang pertama turun tangan. Mereka menyapu jalanan setiap pagi, memilah sampah rumah tangga, mengolah kulit pisang menjadi kompos, hingga menanam sayur dan tanaman obat.
Ketika sebagian warga lain masih ragu, para ibu justru lebih dulu percaya pada visi Agung. “Kalau saya bilang ke bapak-bapak duluan, belum tentu jalan, karena bapak-bapak sibuk kerja. Tapi kalau emak-emak sudah gerak, yang lain pasti ikut,” ucapnya sambil tersenyum.
Dari sinilah perubahan perlahan bertunas. Batu-batu di sepanjang jalan dicat warna-warni. Kebun sayur kecil tumbuh di depan rumah. Anak muda ikut terlibat dalam dokumentasi dan pelatihan.
Perubahan ini tidak terjadi dalam semalam. Butuh bertahun-tahun untuk meyakinkan warga bahwa menjaga alam bukanlah pekerjaan sia-sia.
Bahwa pantai yang terawat akan menarik tamu dan membuka peluang baru. Bahwa lingkungan desa yang bersih dan asri bukan hanya enak dipandang, tetapi juga meningkatkan kesehatan dan martabat warganya. Kampung kecil di sudut pesisir bisa menjadi contoh bagi desa lain.
Jalan Terjal yang Menguji, tapi Tak Mematahkan

Perjalanan itu tak selalu mulus. Ada masa ketika ombak besar merusak instalasi terumbu karang yang baru dipasang. Ada musim ketika hasil kebun tak seberapa dan warga harus bersabar menunggu panen berikutnya.
Di masa pandemi, pariwisata lumpuh total. Lenggoksono sempat goyah. Beberapa kegiatan harus dihentikan. Pendapatan warga pun menurun drastis.
Namun, semangat tak pernah benar-benar padam. Ibu-ibu tetap menanam sayur di pekarangan. Para pemuda tetap berkegiatan di laut. Warga lainnya membuat olahan hasil kebun, berharap bisa menambah pemasukan meski sedikit demi sedikit.
Kata Agung, pandemi adalah masa paling berat yang pernah mereka jalani. Ada hari ketika seorang warga masih ikut berkegiatan, lalu beberapa hari kemudian meninggal akibat Covid-19.
“Tahun 2021 itu berat. Banyak yang meninggal. Yang hari ini ikut kegiatan, tak lama sudah tiada. Saya sendiri sempat trauma. Tapi kalau berhenti, siapa lagi yang terusin?” ucapnya lirih.

Luka itu begitu dekat dan nyata. Akan tetapi, warga Lenggoksono memilih untuk bangkit bersama. Semangat gotong royong menjadi nadi yang tak pernah berhenti berdetak, bahkan di tengah duka yang datang silih berganti.
Setelah mulai stabil, ujian kembali mengguncang desa ini. Tahun 2022, banjir besar meluluhlantakkan kebun sayur dan taman bunga yang dirawat warga dengan telaten.
Kerja keras berbulan-bulan hanyut dalam satu malam. Alih-alih menyerah, warga memilih kembali menata kampungnya. Ya, meski dengan semangat yang tertatih-tatih.
Mereka mulai dari nol. Mengecat ulang batu-batu yang menjadi pagar, menanam kembali sayur-sayuran, dan merapikan kampung sedikit demi sedikit. Bagi Lenggoksono, menyerah bukan pilihan.
KBA Lenggoksono Hari Ini, Surga Tersembunyi yang Mulai Menampakkan Jati Diri

Hari ini, Lenggoksono seperti tengah membuka tabir kecantikannya perlahan-lahan. Desa pesisir itu mungkin dulu hanya dikenal karena ombak selancarnya. Akan tetapi, kini bangkit sebagai destinasi yang menawarkan keseimbangan alam, budaya, dan kehidupan warganya.
Transformasi ini mulai terasa sejak Astra hadir pada 2017, membawa program konservasi dan pemberdayaan masyarakat. Momentum penting berikutnya datang pada 2021, ketika Lenggoksono mengikuti seleksi Satu Indonesia Awards dan berhasil masuk 70 besar nasional. Apalagi, pada Juli 2021, Lenggoksono resmi menjadi Kampung Berseri Astra.
Serangkaian pelatihan, tugas, dan pendampingan membuat warga mulai melihat kampung mereka dengan perspektif baru. Ternyata Lenggoksono memiliki potensi jauh lebih besar dari yang mereka kira.
Kini, hasil dari kerja panjang itu tampak nyata. Empat pilar KBA, yakni pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan kesehatan, benar-benar hidup dalam keseharian warga.
Pilar Pendidikan

Di pilar pendidikan, warga KBA Lenggoksono berfokus pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Alasannya, perlu generasi muda yang maju untuk pengembangan Desa Lenggoksono di kemudian hari.
Untuk anak-anak yang lebih besar, mereka tak hanya belajar di sekolah, tetapi juga aktif di Sanggar Pasinaon Maritim. Anak-anak juga ikut aksi bersih-bersih lingkungan, membaca bersama, serta terlibat dalam berbagai kegiatan edukasi.
Agung bercerita, anak-anak di KBA Lenggoksono beberapa kali mengikuti kegiatan seru. Aktivitas yang bikin mereka semakin dekat dengan alam. Misalnya saja, anak-anak memasak dan makan bersama di pinggir kali. Selain “menjauhkan” anak dari gadget, juga mengajarkan basic life skill yang penting.
Pilar Lingkungan

Sedangkan pilar lingkungan menjadi napas utama KBA Lenggoksono hari ini. Sampah tak lagi dianggap musuh. Sampah organik dijadikan kompos, sedangkan sampah nonorganik dimanfaatkan sedemikian rupa. Terlebih, mereka sudah memiliki bank sampah yang membuat masyarakat tak kebingungan harus membuangnya ke mana.
Botol-botol bukan lagi sampah tanpa arti. Warga menjadikannya ecobrick dan kerajinan daur ulang. Bahkan, mereka membuat rumah dari botol plastik yang dicat warna-warni dan memfungsikannya sebagai tempat berkegiatan.
Kebersihan sungai dijaga bersama, terumbu karang pun dirawat secara berkala. Pantai juga dicek setiap hari untuk memastikan tak ada sampah kiriman hulu yang tertinggal. Semua dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa alam adalah fondasi masa depan mereka.
Pilar Kesehatan

Pilar kesehatan terasah melalui kebiasaan bebersih warga. Jalanan bersih, sungai bebas sampah, pekarangan ditanami sayuran, dan kegiatan posyandu berjalan aktif. Lingkungan yang bersih membuat udara lebih segar, dan aktivitas gotong royong rutin berdampak langsung pada kesehatan fisik maupun mental masyarakat.
Pilar Kewiraushaan

Pilar kewirausahaan KBA Lenggoksono tumbuh dengan pesat. Ekonomi desa tumbuh lewat berbagai klaster usaha. Masyarakat KBA Lenggoksono tak sekadar menjual hasil bumi, tapi mengolahnya menjadi produk bernilai tambah. Ada kopi dari kebun sendiri, keripik pisang, abon ikan, hingga kerajinan kayu.
Warga belajar menggunakan media sosial, memperhatikan desain kemasan, dan menjaga mutu produk. Semuanya dilakukan dengan cara modern, tanpa meninggalkan akar tradisi yang mereka miliki.
Tak hanya itu, sektor pariwisata desa pun berkembang ke banyak sisi. Jika dulu wisatawan hanya datang untuk surfing atau menuju pantai berair terjun, kini banyak pilihan wisata lainnya.
Wisatawan bisa mengikuti paket live-in untuk merasakan kehidupan desa secara utuh. Mereka diajak memetik kopi, mencicipi durian saat musimnya, memancing di sungai, memasak dan bersantap di pinggir sungai, hingga kungkum alias berendam di kali yang bersih.

Pengunjung juga bisa menikmati seni tradisional seperti jatilan dan angklung. Untuk menikmati paket wisata tersebut, traveler hanya perlu merogoh kocek sekitar Rp600.000. Cukup terjangkau karena sudah termasuk homestay dan aneka kegiatan menarik.
Selain itu, kelompok pemandu wisata di Lenggoksono kini lebih profesional. Para pemuda desa antusias menjalani profesi tersebut. Sebagian warga mengelola homestay, serta beberapa orang lainnya meramu paket-paket wisata.
Terkait wisata bahari, Lenggoksono menawarkan banyak pilihan aktivitas untuk para pelancong. Selain berselancar di ombak yang terkenal di kalangan surfer, wisatawan juga bisa memancing di sejumlah spot favorit nelayan setempat.

Petualangan tak berhenti di situ. Dari Pantai Lenggoksono, pengunjung dapat menyusuri laut menuju Pantai Banyu Anjlok. Di pantai ini, air terjun langsung jatuh ke bibir pantai. Pemandangan langka yang hanya dimiliki sedikit destinasi di Indonesia.
Bagi pencinta dunia bawah laut, Pantai Kletaan menjadi lokasi ideal untuk snorkeling maupun diving. Airnya jernih, terumbu karangnya terjaga, dan ikan-ikan berwarna-warni menari di antara celah batu karang.
Sementara itu, Pantai Bolu-Bolu menawarkan suasana berbeda. Pantai ini menjadi area camping ground yang tenang, sekaligus spot memancing di tebing yang menantang. Cocok bagi wisatawan yang ingin bermalam ditemani suara ombak dan langit penuh bintang.
Agung lantas merangkum perkembangan itu dalam kalimat yang terasa sangat tepat. “Sekarang orang datang bukan cuma untuk pantainya. Mereka juga mau merasakan hidup di desa kami. Alamnya, budayanya, orang-orangnya,” kata pria 37 tahun ini.

Menariknya, pariwisata dan konservasi berjalan beriringan. Setiap kunjungan, setiap kegiatan di pesisir, dan setiap edukasi tentang ekosistem menjadi pengingat bahwa kelestarian alam adalah inti dari keberlanjutan.
Jika laut rusak, wisata berhenti. Jika pantai kotor, tamu tidak kembali. Kesadaran ini membuat warga menjaga alam dengan penuh kesadaran.
Kini, Lenggoksono semakin menampakkan jati dirinya sebagai “surga kecil” yang lahir dari tangan-tangan warganya sendiri. Jika dulu Lenggoksono hanya dikenal karena pantainya semata, hari ini dikenal karena semangatnya. Ya, semangat untuk bangkit, tumbuh, dan hidup harmonis bersama alam.
Penutup

Perjalanan KBA Lenggoksono bukan sekadar kisah tentang kampung yang berubah menjadi lebih bersih dan teratur. Lebih dari itu, ini adalah kisah tentang warganya. Tentang keberanian mereka bermimpi, ketekunan menjaga alam, dan kegigihan mereka bangkit dari jatuh berkali-kali.
Di ujung ombak pesisir selatan, warga Lenggoksono menulis masa depannya dengan kesungguhan. Setiap terumbu karang yang dirawat, sayur yang ditanam, ecobrick yang disusun, hingga setiap tamu yang disambut dengan tulus, adalah huruf-huruf yang kelak menjelma menjadi kisah besar.
Kisah dalam bab panjang tentang keberanian sebuah desa untuk bangkit. Lenggoksono bukan sekadar desa di pesisir. Lebih dari itu, Lenggoksono adalah bukti bahwa perubahan bisa tumbuh dari tangan-tangan sederhana yang mencintai tanah kelahirannya.
#kabarbaiksatuindonesia