Gede Andika dan Gagasan Les Bahasa Inggris Dibayar Sampah Plastik
Sampah plastik nyatanya bukan barang yang tak lagi memiliki makna. Buktinya bisa jadi alat pembayaran les bahasa. Tidak, ini bukan bercanda. Les Bahasa Inggris dibayar sampah plastik nyata adanya.
Adalah I Gede Andika Wira Teja yang mengembangkan kegiatan ini sejak Mei 2020 bersama Komunitas Jejak Literasi Bali (JLB). Nama programnya adalah Kreasi Edukasi Bahasa dan Literasi Lingkungan (KREDIBALI).
Kegiatannya berupa kursus bahasa Inggris yang diberikan untuk anak-anak SMP dan SMA, sebagai respons atas terjadinya pandemi. Ya, pandemi COVID-19 membuat sejumlah siswa tidak bisa belajar di sekolah lagi.
Terlebih masih banyak anak-anak yang tidak bisa mendapatkan tambahan pendidikan Bahasa Inggris. Biaya menjadi alasan yang rasanya terdengar miris. “Masih bisa sekolah saja sudah untung,” begitulah kalimat yang kerap terdengar dan bikin hati teriris.
Padahal mau tidak mau, suka tidak suka, bahasa Inggris memegang peranan penting di berbagai bidang. Maklum, bahasa Inggris merupakan bahasa Internasional yang mustahil tak dipandang.
“Kami ingin anak-anak di Bali, khususnya pelosok, yang tidak bisa akses pembelajaran secara online punya kesempatan belajar bahasa Inggris dan berkontribusi ke sektor pariwisata,” terang Gede Andika dalam talkshow Good Movement bertajuk “Menggapai Impian, Membangun Bangsa” yang digelar secara online pada Senin (21/8/2023).
Baca juga: Hal Penting Sebelum Mengajari Anak Membaca dan Menulis
Mengapa alat bayar kursusnya berupa sampah plastik? Lalu sampah plastiknya di kemanakan oleh pria yang akrab disapa Dika dan teman-temannya? Bagaimana perjuangan dan tantangan yang dihadapi Dika sampai akhirnya konsisten mengawal gerakan ini dan diganjar penghargaan Satu Indonesia Astra? Mari ditelisik bersama.
Alasan di Balik Les Bahasa Inggris Dibayar Sampah Plastik
Saat mendengar kata “Bali” apa yang terlintas di benak? Pantai, pariwisata, pemandangan indah, atau tarian menawan? Semua yang terbayang adalah hal yang indah-indah. Rasanya mustahil masih ada anak-anak di Bali yang kesulitan mendapatkan pendidikan tambahan bahasa Inggris. Namun, begitulah adanya.
Kata Dika, Bali memiliki sisi lain. Di balik segala keindahannya, masih ada titik-titik yang belum mendapatkan akses pendidikan secara maksimal. Misalnya saja Desa Pemuteran.
Pemuteran dikenal sebagai desa wisata. Namun, kala COVID-19 melanda, pariwisata tak seramai biasanya. Lesu, tanpa gairah dan tenaga. Anak-anak di sana pun tidak bisa belajar langsung di sekolah karena sedang diberlakukan pembatasan.
Akhirnya banyak anak yang turut bekerja membantu keluarga. Ada yang ke sawah untuk mencari rumput bagi sapinya. Ada pula yang turut melaut menjadi nelayan bersama orang tuanya.
Kenapa mereka tidak belajar secara daring? Malas bukanlah alasannya. Mereka tidak memiliki piranti untuk belajar jarak jauh. Smartphone dan laptop masih serupa bawang mewah yang tak dipunya setiap orang. Kalau pun punya pirantinya, terkendala dalam membeli kuota.
Ditambah lagi masih banyak orang tua yang menganggap pendidikan tidak terlalu penting. Ini karena rata-rata orang tua di Desa Pemuteran lulusan SD, bahkan Sekolah Rakyat zaman Belanda. Banyak anak yang putus sekolah karena ekonomi sulit.
Rasa iba hadir di dada Dika. Dia pun bermimpi bisa membawa perubahan bagi anak-anak yang dijumpainya. Dari situlah lahir gagasan KREDIBALI. Harapannya, bisa memfasilitasi anak-anak di Desa Pemuteran belajar bahasa Inggris, sehingga kelak bisa turut berkontribusi pada pariwisata desanya.
Akan tetapi, hal itu sama sekali tidak mudah. Dika bersama teman-temannya dari Jejak Literasi Bali harus meyakinkan orang tua dan perangkat desa bahwa kegiatan KREDIBALI tidak akan menimbulkan masalah baru. Untuk itu, awalnya jumlah anak yang belajar hanya 75 orang.
Namun, program pendidikan ini tidak boleh cuma-cuma. Perlu ada literasi di bidang lain yang perlu dijalankan bersama literasi pendidikan.
Mengingat sampah plastik masih jadi persoalan serius di Desa Pemuteran, akhirnya disepakati les bahasa Inggris dibayar sampah plastik. Sebelum datang untuk belajar bersama KREDIBALI, anak-anak mengumpulkan sampah plastik di sekitar rumahnya. Tak dinyana, anak-anak bisa menjadi inisiator penjaga lingkungan.
Jika sebelumnya sampah plastik dibuang sembarangan atau dibakar begitu saja, kini tidak lagi. Anak-anak mengingatkan orang tuanya bahwa sampah plastik masih memiliki harga karena bisa digunakan untuk membayar les.
“Dari apa yang dilakukan anak-anak, kami memberi edukasi tentang bahaya dan dampak sampah plastik. Anak bisa mengingatkan orang tuanya,” lanjut Dika. Kata dia, bahkan banyak orang tua yang malu karena selama ini abai pada sampah plastik.
Bekerjasama dengan Plastic Exchange, lembaga nirlaba di Bali yang mengelola bank sampah, KREDIBALI mentransformasi sampah plastik menjadi beras. Caranya, sampah plastik yang dikumpulkan siswa ditimbang, kemudian ditabung di di Plastic Exchange, selanjutnya ditukar beras.
Beras kemudian didistribusikan kepada lansia kurang mampu yang membutuhkan. Saat ini, di Desa Pemuteran telah terkumpul 781 kg sampah plastik yang ditransformasi menjadi 321 kg. Beras tersebut sudah distribusikan ke 120 lansia kurang mampu.
Syukurlah, perlahan-lahan kesadaran masyarakat akan dampak sampah plastik semakin meningkat. Lebih dari itu, anak-anak pun semakin giat belajar. Melangkah mantap sambil menjinjing sampah plastik. Melangitkan mimpi, kelak hidupnya semakin memiliki arti.
Gede Andika dan Momen Menunda Impiannya
Impian di depan mata, tapi dengan sadar malah ditunda. Apakah berujung penyesalan? Nyatanya tidak. Dika menunda impian mengambil pendidikan master di Inggris, untuk menjemput impian yang lebih besar.
Ya, pada 2020, Dika mendapat beasiswa di salah satu universitas di Inggris. Semua telah disiapkan, bahkan dirinya sudah pamitan pada keluarga besar. Akan tetapi melihat asa yang hampir redup di mata anak-anak Desa Pemuteran membuat Dika mantap meninggalkan impiannya.
“Dulu saya melewatkan S2 di UK. Tapi saya timbang-timbang lagi, (kalau tetap ambil beasiswa ke Inggris) yang dapat gelar master hanya saya. Melihat anak-anak, dampak lingkungan, pendidikan, dan sosial, penolakan master tidak sebanding dengan dampak yang saat ini didapat,” tuturnya.
Di awal KREDIBALI memulai kegiatan, banyak anak yang malu menunjukkan dirinya. Mereka tidak berani bicara di hadapan orang-orang. Rasa rendah diri dan tidak percaya diri begitu kuat terpancar. Namun, kini situasinya berbeda.
Ada anak yang menang lomba pidato bahasa Inggris, bahkan mendapat beasiswa. Semakin banyak anak-anak desa yang dulunya pemalu, kini terlibat berbagi kegiatan kompetisi bicara dan menulis bahasa Inggris.
“Dulu anak kampung takut muncul ke permukaan karena tidak confidence, sekarang (bisa ikut kompetisi) naik ke level provinsi. Ini capaian yang membanggakan,” kisah Dika yang kemudian kembali mendapatkan beasiswa untuk belajar di Amerika Serikat.
Satu Indonesia Awards dan Harapan Menyalakan Motivasi Literasi
Atas kiprahnya berjuang tanpa pamrih di masa pandemi COVID-19, Dika diganjar penghargaan Satu Indonesia Awards (SIA) dari Astra. Baginya penghargaan ini memberinya kesempatan untuk tumbuh secara personal maupun bersama komunitas.
Melalui SIA, dirinya memiliki kesempatan berbagi cerita. Sebaliknya, dia pun banyak mendengarkan cerita dari orang lain yang menginspirasi dan memotivasi. Alhasil jalan kolaborasi semakin terbuka.
Bersama KREDIBALI, Dika melangkah kian mantap. Kolaborasi tak hanya dilakukan di tingkat lokal, tapi juga bersama NGO internasional.
“Ada harapan dari anak-anak yang perlu tetap kami hidupkan dan menyalakan motivasinya. Hidup di desa dan berasal dari keluarga kurang mampu, bisa jadi privilege buat mereka,” ucapnya.
“Saya tak ingin, karena di desa dan tidak punya akses, jadi mereka tidak merasa pantas memperjuangkan mimpi,” imbuh Dika.
Tak hanya di Desa Pemuteran, Dika dan Kredibali melebarkan sayapnya. Kegiatan serupa digelar di Gianyar dan Kintamani. Kendati sama-sama memberikan kursus Bahasa Inggris, tapi “bayaran” di Kintamani berbeda.
Di Kintamani, les tidak dibayar sampah plastik, tapi mereka diminta bertanggung jawab pada satu pohon. Sebelum mengikuti kelas, mereka harus memastikan pohonnya telah disiram. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan hijaunya salah satu sisi Gunung Batur.
Perubahan tidak harus dimulai dengan langkah raksasa. Langkah-langkah kecil yang konsisten justru lebih bisa menjadi tuas penggerak. Namun yang terpenting, mulai bergerak hari ini agar bisa berdampak esok hari!
Referensi
jejakliterasibali. KREDIBALI: Les Belajar Bahasa Inggris & Bayar dengan Sampah Plastik di Desa Pemuteran, https://jejakliterasibali.org/kredibali/, diakses pada 29 September 2023.
satu-indonesia.com, Gede Andika: Penggerak Kreasi Edukasi Bahasa dan Literasi Lingkungan dari Desa Pemuteran, diakses pada 29 September 2023.