Jangan Remehkan Cerita Anak, Bedakan Sharing dan Mengadu

“Jangan sedikit-sedikit cerita ke orang tua. Jangan ngadu terus.” Kalimat ini sering dilontarkan oleh orang dewasa kepada anak. Niatnya mungkin sederhana, yakni supaya anak belajar mandiri dan menyelesaikan masalah sendiri. Namun, pernahkah berpikir bahwa melarang anak bercerita justru bisa jadi red flag yang berbahaya?
Ya, kalimat seperti itu bisa membuat anak ragu untuk berbagi kisah dan perasaannya di rumah. Akibatnya, orang tua jadi kehilangan kesempatan untuk memahami keseharian anak dan mendeteksi sejak awal jika ada masalah.
Dari cerita-cerita kecil anak tentang teman, guru, atau hal sepele sekalipun, orang tua bisa mengenali pola emosi anak. Orang tua juga mengenali jika ada tanda perundungan atau bullying. Dari cerita anak, orang tua juga bisa memberi arahan dan solusi dengan cara yang tepat
Bercerita Tidak Sama dengan Mengadu

Ya, masih banyak orang dewasa salah kaprah dengan menganggap cerita sama dengan mengadu. Padahal, dua hal ini jelas berbeda. Begini bedanya.
Bercerita adalah bentuk anak berbagi pengalaman dan perasaan. Dia butuh didengar, bukan dihakimi.Sedangkan mengadu atau tattling biasanya muncul untuk menjatuhkan atau menyalahkan orang lain, tanpa niat mencari solusi.
Untuk lebih memahami keduanya, berikut ini beberapa contohnya.
“Ma, tadi teman-teman main bola, tapi aku nggak boleh ikut main. Aku jadi sedih banget.” –> Ini cerita. Anak sedang berbagi pengalaman dan perasaan.
Bagaimana meresponsnya? Mama bisa menyampaikan seperti ini. “Wajar kamu merasa sedih kalau tidak diajak. Mama ngerti perasaanmu. Yuk, kita cari kegiatan lain yang menyenangkan yang bisa kamu lakukan.”
“Ma, tadi si A curang pas main. Bilangin ke mamanya ya biar dia dimarahin.” –> Ini lebih ke mengadu. Tujuannya menyingkirkan atau menyalahkan orang lain.
Respons orang tua yang baik, bisa mengatakan seperti ini. “Kalau menurut kamu dia curang, apa kamu sudah coba bilang baik-baik ke dia? Mama bisa bantu kasih saran, tapi coba dulu ya cari solusi dengan cara yang baik.”
“Ma, tadi temanku dorong-dorong aku waktu antre. Aku takut kalau nanti dia dorong lebih keras.” –> Anak tidak sedang “mengadu”, tapi menyampaikan pengalaman dan rasa takutnya.
Bagaimana meresponsnya dengan baik? “Mama paham kamu merasa takut. Dorong-dorongan itu memang berbahaya. Kalau terjadi lagi, coba bilang ke gurumu dengan tenang ya. Atau kamu bisa mundur sedikit dari antrean supaya lebih aman.”
Penting nih, Ma, memberi saran bukan berarti orang tua mendukung anak untuk mengadu. Justru saran ini merupakan ikhtiar membantu anak belajar menghadapi situasi dengan solusi yang sehat.
Jadi, kalau menemukan anak yang gampang bercerita ke orang tua tentang pengalaman dan perasaannya, jangan langsung “dipadamkan”. Jangan buru-buru melabeli setiap cerita anak sebagai “ngadu” apalagi sampai melarang anak bercerita.
Ketika Orang Tua Membantu Menyampaikan Masalah Anak ke Guru

Ada kalanya setelah mendengar cerita anak, orang tua merasa perlu berbicara dengan guru. Saya pernah beberapa kali melakukan ini. Tentu tujuan saya bukan ingin anak lain dihukum atau selalu membenarkan perilaku anak sendiri.
Tujuan saya adalah memberikan gambaran situasi dari sisi anak. Selain itu, menyarankan langkah pencegahan agar lingkungan sekolah lebih aman dan nyaman untuk semua.
Misal anak saya mengalami hal tidak menyenangkan di sekolah, biasanya saya menyampaikan ke guru secara umum. Tidak menyebut nama anak-anak lain, kecuali jika sudah dianggap kelewatan. Fokusnya memberikan saran agar guru mengingatkan pada anak-anak untuk untuk saling menghormati, menjaga ucapan, atau berbagi dengan adil. Dengan begitu, guru tetap bisa mengawasi kelas, tanpa ada perasaan tersudut bagi anak lain.
Bagi saya, komunikasi orang tua dan guru bukan untuk mencari siapa yang salah, tetapi bagaimana bersama-sama menciptakan lingkungan belajar yang sehat. Karena anak-anak masih belajar memahami perasaan, aturan, dan cara bersosialisasi, wajar jika kadang terjadi gesekan. Tugas kita adalah membantu mereka menemukan cara yang lebih baik dalam menyelesaikan masalah.
Dampak Melarang Anak Bercerita

Melarang atau mematikan kebiasaan anak bercerita bukan hal sepele. Ada beberapa dampak yang bisa muncul, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang:
1. Anak kehilangan kepercayaan pada orang tua
Kalau setiap cerita dianggap “mengadu”, anak bisa memilih diam. Lama-lama, dia tak lagi melihat orang tua sebagai tempat aman untuk berbagi.
2. Potensi red flag terlewat
Dari cerita sehari-hari, orang tua bisa tahu bila ada tanda-tanda bullying, pergaulan tidak sehat, atau hal lain yang mengancam anak. Kalau anak berhenti cerita, tanda-tanda ini bisa luput dari perhatian.
3. Anak tertekan secara emosional
Anak yang dilarang cerita bisa merasa sendirian menghadapi masalah. Emosi yang dipendam bisa menumpuk dan berpengaruh pada kesehatan mentalnya.
4. Anak merasa tidak didengar
Saat cerita anak dianggap remeh atau malah dilabeli “mengadu,” mereka bisa merasa suaranya tidak penting. Bahkan selalu ragu-ragu bila akan bercerita, karena khawatir dianggap “tukang mengadu”.
5. Kesulitan mengekspresikan emosi
Jika terbiasa dipendam, emosi anak bisa meledak. Bisa jadi anak marah berlebihan, atau sebaliknya menjadi pendiam.
6. Mencari tempat curhat di luar keluarga
Karena merasa tidak mendapat ruang aman di rumah, anak bisa mencari perhatian dari orang lain yang belum tentu tepat.
7. Hubungan orang tua dan anak renggang
Lama-lama, jarak emosional terbentuk. Anak bisa tumbuh besar dengan perasaan “asing” terhadap orang tuanya sendiri.
Apa yang Bisa Dilakukan Orang Tua?

Agar anak tetap nyaman bercerita, orang tua bisa melakukan beberapa hal sederhana namun berdampak besar.
1. Bedakan cerita dengan mengadu
Kalau anak cerita, dengarkan dulu tanpa buru-buru menghakimi. Tahan diri untuk langsung memberi label “pengadu” atau “cengeng”.
2. Validasi perasaan anak dan beri respons hangat
Kalimat sederhana seperti “Mama” ngerti kamu sedih” bisa membuat anak merasa dihargai. Jangan lupa, berikan anggukan, senyuman, atau kata sederhana seperti “Mama dengar, Nak” agar membuat anak merasa nyaman.
3. Berikan ruang aman
Biarkan anak tahu bahwa rumah dan orang tua adalah tempat terbaik untuk berbagi.
4. Arahkan dengan bijak
Kalau memang terlihat seperti mengadu, ajak anak berpikir solusi tanpa mematikan kebiasaannya untuk terbuka. Misalnya dengan menyampaikan pertanyaan, “Menurut kamu apa yang bisa dilakukan lain kali?” Pertanyaan seperti ini mendorong anak berpikir dan belajar mengambil keputusan.
Setelah Mendengar Cerita Anak, Please Jangan Bilang: Alah Lebay Kamu, Jangan Sedikit-sedikit Merasa Di-bully!

“Alah Lebay Kamu, Jangan Sedikit-sedikit Merasa Di-bully!” Ucapan seperti itu memang terdengar sederhana, tapi dampaknya besar. Anak bisa merasa diremehkan, bahkan meragukan perasaannya sendiri. Padahal, apa yang menurut kita sepele, bisa jadi terasa berat bagi mereka.
Ingat, anak-anak masih belajar memahami dunia sosial. Mereka butuh bimbingan untuk mengenali mana yang benar-benar bullying dan mana yang sekadar bercanda. Kalau orang tua langsung menyepelekan, anak tidak punya kesempatan untuk belajar membedakan.
Selain itu, kalimat tadi berpotensi membuat anak meremehkan rasa sakitnya sendiri. Mereka juga bisa takut bicara karena khawatir dianggap lebay. Satu hal lagi, jika benar terjadi bullying, maka berpeluang membiarkan perilaku menyakiti berulang kali.
Lebih baik, dengarkan dulu. Tanyakan detail ceritanya, lalu arahkan dengan lembut. Misalnya:
“Kamu merasa sedih ya waktu itu?”
“Kalau menurutmu, dia bercanda atau sengaja ingin menyakiti?”
“Kalau hal itu terjadi lagi, apa yang bisa kamu lakukan?”
Dengan begitu, anak belajar mengenali perasaan, menganalisis situasi, sekaligus mencari solusi. Orang tua tetap bisa memberikan perspektif tanpa mematahkan semangat anak untuk bercerita.
Nasihat Mendidik vs Sindiran yang Bisa Melukai

Selain itu, penting juga bagi kita sebagai orang dewasa untuk berhati-hati saat menasihati anak. Niat menegur memang baik, tapi jika caranya dengan sindiran di depan orang lain, anak bisa merasa dipermalukan. Bedanya tipis, tapi dampaknya besar.
Nah, agar lebih jelas, berikut perbedaan nasihat mendidik dengan sindiran yang bisa melukai.
Nasihat Mendidik | Sindiran yang Bisa Melukai |
---|---|
Disampaikan empat mata atau dalam suasana pribadi. | Disampaikan di depan teman-teman, sehingga anak merasa dipermalukan. |
Fokus pada perilaku, bukan menyerang pribadi anak. | Mengandung kata-kata yang merendahkan atau membandingkan anak. |
Tujuannya membantu anak memperbaiki diri dengan cara positif. | Terasa seperti pelampiasan atau teguran yang tidak konstruktif. |
Bahasa yang dipakai netral dan hangat. | Bahasa yang dipakai menyakitkan atau menyindir. Bahkan memotong pembicaraan anak dan mengabaikan penjelasan anak karena dirasa tidak penting. |
Memberi kesempatan anak untuk bertanya/menjelaskan diri. | Anak hanya bisa diam karena malu atau takut ditertawakan. |
Anak tetap merasa dihargai meski ditegur. | Anak merasa minder, malu, bahkan terluka. |
Penutup
Pada akhirnya, anak-anak tidak selalu butuh jawaban instan. Kadang mereka hanya ingin didengar. Jadi yuk, kita sebagai orang tua dan orang dewasa di sekitar mereka berlatih jadi pendengar terbaik. Jangan melarang anak bercerita.
Orang tua, guru, maupun orang dewasa lain, punya peran besar dalam menjaga agar anak merasa aman, dihargai, dan berani berbagi cerita. Jangan menutup jendela untuk masuk ke dunia anak dengan sindiran atau penolakan.
Anak harus tahu bahwa ceritanya berharga, perasaannya penting, dan orang tua selalu jadi tempat paling aman untuk kembali. Jadi, please, jangan larang anak bercerita.
“Nak, jika di luar sana ada orang yang melarangmu bercerita, jangan dengarkan! Datanglah pada Mama. Kamu bebas bercerita. Mama akan selalu jadi pendengar yang baik. Tanpa menghakimimu, tapi juga tanpa membenarkan semua tindakanmu begitu saja.”