Analogi Sepiring Nasi dan Kisah Kevin Gani Menjadi Pejuang Pangan

Sepiring nasi bukan sekadar nasi. Di baliknya, terdapat rantai pasok pangan yang panjang. Mulai dari pupuk, air, bibit, tenaga petani, sampai biaya distribusi. Jadi, ketika seseorang membuang sepiring nasi, bukan cuma makanan yang hilang. Semua sumber daya dan kerja keras di baliknya pun turut terbuang.
Analogi sepiring nasi tersebut disampaikan oleh Kevin Gani, Ketua Yayasan Garda Pangan dalam talkshow yang digelar bersama Good News From Indonesia (GNFI), Jumat (26/9/2025).
“Ketika ada nasi seharga Rp5.000 yang dibuang, maka ada pupuk, air, bibit, dan keringat petani yang turut terbuang sia-sia,” ujar Kevin memberikan analogi.
Bagi beberapa orang, membuang sepiring nasi mungkin bukan masalah besar. Pun saat tidak menghabiskan makanan. Jika sampai saat ini hal-hal itu masih jadi kebiasaan, sebaiknya segera berpikir ulang untuk tidak melakukannya kembali.
Pesan itu bukan tanpa alasan. Kevin menyebut, berdasar data Economic Intelligence Unit, satu orang membuang makanan sampai 300 kilogram setiap tahunnya. Bayangkan, itu baru satu orang. Apa kabar jika separuh orang di negeri ini membuang makanannya?
“Prestasi” Sampah Makanan Indonesia

Bicara gunungan sampah, mengutip Berita Satu, di Jakarta saja, setiap tahun mencapai 1.817 meter. Gunungan sampah setinggi ini melebihi gedung pencakar langit tertinggi di dunia Burj Khalifa, lho. Untuk diketahui, tinggi Burj Khalifa adalah 828 meter.
Terkait membuang sampah makanan ini, Indonesia juga menoreh “prestasi”. Sayangnya, bukan prestasi baik. Pasalnya, terang Kevin, Indonesia adalah pembuang sampah makanan terbesar ke-dua di negara G-20.
Ini senada dengan laporan Food Waste Index Report 2024 yang disusun oleh United Nations Environment Programme (UNEP). Laporan menyebut total sampah makanan yang dihasilkan Indonesia setiap tahunnya mencapai 14,73 juta ton. Jumlah yang jauh lebih banyak ketimbang negara-negara tetangga, seperti Thailand (6,18 juta ton), Myanmar (4,22 juta ton), dan Filipina (2,95 juta ton).
Kevin juga menyebut fakta mengejutkan lainnya terkait sampah makanan. Kata dia, komposisi sampah terbesar di tempat pembuangan akhir (TPA) ternyata sampah makanan.
“Kita sering mengira sampah plastik atau jenis lain yang paling banyak, tapi ternyata sampah makanan. Bukan berarti sampah plastik dan lainnya nggak masalah, tapi sampah makanan itu paling banyak,” paparnya.
Sampah Makanan Kian Menggunung, tapi Banyak Orang Kelaparan

Ternyata sampah makanan yang menggunung tidak berbanding lurus dengan perut yang kenyang. Ironis sekali, di balik tumpukan itu masih banyak orang yang harus tidur dengan perut lapar.
Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO), dari tahun 2020-2022 ada 16,2 juta orang di Indonesia yang masuk kategori kelaparan. Ini adalah angka tertinggi di antara negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.
Lihat saja angka kelaparan di Filipina yang tercatat 5,9 juta. Di Vietnam angkanya 4,9 juta jiwa. Sedangkan Thailand 3,7 juta jiwa, dan Malaysia dengan 2,1 juta jiwa orang kelaparan.
Potret ini sejalan dengan temuan Global Hunger Index (GHI) 2022. Dalam laporan tersebut, Indonesia berada di urutan ke-77 dari 121 negara dengan skor 17,9. Skor ini menempatkan Indonesia pada level kelaparan moderat.
Meski demikian, bila menoleh ke belakang, ada sedikit kabar baik. Sejak 2014, tren GHI Indonesia perlahan menurun. Dari angka 22,2 yang masuk kategori serius, kini bergeser ke 17,9.
Data ini memberi pesan jelas, bahwa ada kemajuan. Akan tetapi pekerjaan rumah masih besar. Di balik angka-angka itu, ada wajah-wajah yang nyata masih berjuang untuk makan hari ini.
Seandainya Sampah Makanan Dipulihkan, Jutaan Perut Bisa Terselamatkan

Bayangkan jika gunungan sampah makanan yang setiap hari terbuang bisa dipulihkan menjadi hidangan layak konsumsi. Betapa besar artinya bagi mereka yang lapar. Kevin mencatat, ada potensi 61 hingga 125 juta orang yang bisa diselamatkan dari kelaparan dari makanan yang mulanya hendak berakhir di tempat sampah.
Angka itu bukan sekadar hitungan di atas kertas. Lebih dari itu, menggambarkan betapa besar peluang yang hilang setiap kali nasi, sayur, atau lauk dibiarkan terbuang. Bayangkan, dari satu piring yang diselamatkan, ada tenaga yang kembali pulih. Ada anak yang bisa berangkat sekolah tanpa perut kosong. Serta ada harapan yang tetap menyala di tengah gelapnya kemiskinan.
Inilah yang membuat upaya penyelamatan pangan terasa begitu mendesak. Bukan sekadar soal mengurangi timbunan sampah, tetapi juga soal menyambung hidup. Karena di balik tumpukan makanan yang terbuang, ada jutaan perut yang menanti untuk dikenyangkan.
Di titik inilah Garda Pangan hadir sebagai jembatan. Garda Pangan merupakan food bank yang berbasis di Surabaya dengan dua misi besar. Pertama, mengurangi sampah makanan. Kedua, menekan ketidaksetaraan akses pangan.
Misi Penyelamatan Makanan ala Kevin Bersama Garda Pangan

Untuk mewujudkan misinya, Garda Pangan menjalankan berbagai program yang saling terhubung. Misalnya saja food rescue, yakni upaya menyelamatkan makanan berlebih dari industri perhotelan, restoran, maupun katering. Misalnya, makanan yang tidak habis terjual pada hari itu akan dijemput, disortir untuk memastikan kualitas dan higienitasnya, lalu didistribusikan kepada warga yang membutuhkan.
Salah satu momen penyelamatan makanan yang paling membekas bagi Kevin adalah ketika Garda Pangan berhasil mengamankan sekitar 600 porsi makanan dari sebuah pesta pernikahan. Hidangan yang semula berisiko terbuang itu akhirnya bisa dialihkan untuk memberi makan ratusan orang di tempat lain.
Penyelamatan makanan juga dilakukan langsung dari lahan pertanian melalui program gleaning. Saat panen raya, terang Kevin, harga komoditas sering anjlok drastis. Tomat, misalnya, yang biasanya harganya Rp8.000-12.000 per kilogram bisa turun menjadi Rp500-1.000.
Kondisi ini membuat petani enggan memanen karena ongkos angkut dan tenaga kerja justru lebih besar daripada hasil jual. Akibatnya, hasil panen busuk begitu saja di ladang.
Padahal jika sayuran dibiarkan busuk, dampaknya bukan hanya sekadar bau tak sedap atau jadi pemandangan tidak menyenangkan. Proses pembusukan itu melepaskan gas rumah kaca yang berpotensi mempercepat perubahan iklim. Akibatnya, cuaca menjadi makin tidak menentu. Musim yang semestinya kering justru diguyur hujan deras, atau sebaliknya.
Ironisnya, yang paling terdampak justru para petani sendiri. Mereka yang bekerja keras menanam dan merawat hasil bumi harus menanggung kerugian berlapis. Hasil panen tak laku, hingga ancaman gagal panen karena iklim yang kian sulit diprediksi. Pada akhirnya, lingkaran kerugian ini kembali menekan kehidupan para petani yang seharusnya menjadi tulang punggung ketahanan pangan.
Garda Pangan masuk untuk menjembatani dilema itu. Mereka mengajak relawan membantu memanen sayuran yang masih layak, meski bentuknya tidak sempurna secara kosmetik. Hasilnya kemudian didistribusikan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Sejak awal terbentuk, Garda Pangan telah mendistribusikan lebih dari 577.000 porsi makanan. Sekitar 28.000 orang telah menerima manfaat ini.
Relawan Garda Pangan merupakan pejuang pangan masa kini. Mereka giat turun tangan secara langsung, bukan sekadar mengeluh soal masalah lingkungan.
Ada Makanan Tak Layak Konsumsi? Serahkan pada Maggot

Tidak semua makanan bisa diselamatkan. Untuk makanan yang tidak layak konsumsi, Garda Pangan memiliki program pengolahan sampah organik. Sampah makanan diolah melalui biokonversi maggot.
Larva Black Soldier Fly (BSF) memakan sampah tersebut, dan menghasilkan alternatif pakan ternak tinggi protein. Tidak main-main, teknologi biokonversi BSF telah mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 533.900 kg.
Residu maggot kemudian dimanfaatkan sebagai pupuk di kebun komunal. Hasilnya lagi-lagi kembali diberikan kepada warga yang membutuhkan.
Bagi Garda Pangan, makanan bukan sekadar soal kenyang. Namun, setiap makanan yang terselamatkan adalah simbol solidaritas, keberlanjutan, dan harapan.
Kerja Nyata Kevin Bersama Garda Pangan, Berbuah Penghargaan SATU Indonesia Awards

Kevin bukanlah pendiri Garda Pangan. Namun, dirinya sudah aktif terlibat sejak 2017, kala masih kuliah. Saat ini Kevin dipercaya menjadi ketua Garda Pangan. Bersama tim Garda Pangan, dia menjadi salah satu pejuang pangan yang berjuang agar tak ada makanan terbuang sia-sia.
Lalu bagaimana Kevin mendapatkan Penghargaan SATU Indonesia Awards di tahun 2024? Dia menerangkan, penghargaan tersebut berawal dari inisiatif tiga pendiri Garda Pangan yang mendaftarkannya sebagai kandidat penerima.
Perjalanannya pun tidak mudah. Ada serangkaian proses panjang yang harus dijalani, mulai dari validasi, presentasi, hingga verifikasi oleh tim SATU Indonesia Awards. Akhirnya Kevin bersama Yayasan Garda Pangan dinilai layak menerima penghargaan SATU Indonesia Awards bidang lingkungan.
Tentunya penghargaan SATU Indonesia Awards 2024 bukan sekadar pengakuan simbolis sebagai pejuang pangan. Apresiasi ini membuat nama Garda Pangan kian dipercaya. Pemerintah, media, hingga sektor swasta pun semakin berpeluang melirik. Selain itu, kian membuka pintu-pintu kolaborasi. Dengan begitu, Garda Pangan punya ruang lebih luas untuk menjangkau lebih banyak orang dan semakin berdampak nyata.
SATU Indonesia Awards digelar sebagai bentuk apresiasi Astra bagi generasi bangsa yang berkontribusi menciptakan kehidupan berkelanjutan. Ada lima bidang utama yang menjadi fokus, yaitu kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi.
Penutup
Penghargaan SATU Indonesia Awards yang diraih Kevin dan Garda Pangan memang menjadi pengakuan penting. Namun, sejatinya perjuangan menyelamatkan pangan bukan hanya tugas mereka. Siapa pun kita punya peran menjadi pejuang pangan.
Tak harus langkah besar. Langkah kecil yang tampak sepele pun bisa jadi upaya berharga untuk menjaga Bumi. Misalnya dengan membiasakan diri menghabiskan makanan, menyimpan makanan dengan benar, dan membeli pangan secukupnya.
Ingat, setiap butir nasi yang terselamatkan, adalah kisah tentang keberlanjutan, kepedulian, dan hidup yang layak bagi banyak orang. Yuk, menjadi pejuang pangan seperti Kevin Gani!

Referensi
goodstats.id. “Indonesia Harus Mulai Berbenah Masalah Kelaparan,” https://goodstats.id/article/indonesia-kudu-mulai-berbenah-masalah-kelaparan-F5uAJ.
cnbcindonesia.com. “Kudu Berbenah, Tingkat Kelaparan RI Masih Urutan 77 Dunia,” https://www.cnbcindonesia.com/research/20230127075927-128-408649/kudu-berbenah-tingkat-kelaparan-ri-masih-urutan-77-dunia
tirto.id. “Bom Waktu Lingkungan dari Limbah Sisa Pangan yang Tak Dimitigasi,” https://tirto.id/bom-waktu-lingkungan-dari-limbah-sisa-pangan-yang-tak-dimitigasi-g9D1
beritasatu.com. “Tiap Tahun, Sampah Makanan di Jakarta Capai 2 Kali Tinggi Burj Khalifa,” https://www.beritasatu.com/nasional/1033713/tiap-tahun-sampah-makanan-di-jakarta-capai-2-kali-tinggi-burj-khalifa
gardapangan.org.
#kabarbaiksatuindonesia