Untuk Anak yang Dibilang Tolol karena Tak Bisa Main Game

Anak Mama yang paling berani, hari ini kamu bercerita tentang teman yang bilang kamu tolol hanya karena kamu tidak bisa main game. Mama tahu, itu menyakitkan. Dan Mama ingin kamu tahu satu hal penting, bahwa kamu tidak tolol. Sama sekali tidak.

Kamu adalah anak yang Mama banggakan. Kamu punya rasa ingin tahu yang besar. Kamu suka mencoba hal-hal baru. Kamu punya hati yang lembut dan keberanian untuk jadi diri sendiri, meski itu tidak mudah.

Sayang, dunia ini kadang belum bisa memahami orang-orang yang berbeda. Seringkali, orang yang merasa takut kalah akan berusaha menjatuhkan orang lain dengan kata-kata buruk. Terkadang hanya karena merasa bisa melakukan sesuatu, lantas menganggap orang lain tidak sehebat dirinya, sehingga menganggap bisa menyakiti dengan kata-kata tajam.

Ingat ini baik-baik ya. Nilaimu tidak ditentukan dari apa yang kamu tidak bisa, tapi siapa kamu sebenarnya.

Kamu mungkin belum bisa main game sekarang, tapi kamu bisa banyak hal lain yang tidak semua anak bisa. Kamu bisa bercerita dengan imajinasi yang luar biasa.

Kamu punya rasa empati yang kuat. Dan yang paling Mama kagumi, kamu tidak membalas kata kasar dengan kebencian. Itu tandanya kamu kuat.

Jangan biarkan satu kalimat jahat membuatmu lupa semua kebaikan yang ada di dalam dirimu. Jika suatu hari kamu ragu akan dirimu sendiri, ingat satu hal: Mama selalu ada di pihakmu.

Peluk erat dari Mama.

Orang yang akan selalu jadi rumah untukmu,

Mama

Kapan Anak Mulai Berani Menghina?

mengajarkan anak berkata baik
Ilustrasi menanamkan kebiasaan berkata baik pada anak/ Diolah menggunakan Canva

Ini bukan kali pertama anak saya dikatai karena tidak bisa main game. Sebelum, pernah juga disebut bodoh dan goblok, hanya karena kalah saat main game online. Kejadian ini membuat saya merenung. Mengapa anak-anak bisa melontarkan kata “tolol”,  “bodoh”, dan “goblok” hanya karena temannya tidak bisa main game?

Kata-kata kasar bukan muncul tiba-tiba. Ini adalah hasil dari kebiasaan. Dan kebiasaan itu, dalam banyak kasus, terbentuk dari konten yang dikonsumsi.

Banyak game, apalagi yang kompetitif, mengandung pola komunikasi yang keras, penuh ejekan, dan rendah empati. Tidak semua game buruk. Akan tetapi jika interaksi sosial anak didominasi oleh dunia maya yang permisif terhadap hinaan, dan kemenangan yang hanya dinilai dari kecepatan atau skor, maka anak bisa kehilangan sensitivitas.

Apa yang dulu disebut “bercanda kelewatan”, kini jadi biasa. Sesuatu yang dulu perlu empati, kini diganti “roasting”.

Lalu anak-anak ini akan merasa orang yang dianggap lambat adalah beban. Orang yang beda, padahal tidak menyalahi adab dan fitrah, dianggap aneh. Kemudian, mereka jadi mudah mengadopsi cara pikir: Kalau kamu nggak seperti aku, kamu salah.

Hafal Al-Qur’an, tapi Mencela Orang Lain?

mengajarkan anak berkata baik
Rasulullah tidak suka orang yang sombong/ Diolah menggunakan Canva

Satu hal yang bikin hati saya miris dan perih, beberapa anak yang ngatain anak saya itu konon hafal Al-Qur’an, kendati baru beberapa surah. Sedih banget, seseorang yang menyimpan ayat-ayat Allah dalam dirinya, tapi lisannya belum mencerminkan kemuliaan itu. Enteng sekali menyebut anak lain tolol hanya karena tidak bisa main game?

Alih-alih lisannya lembut, malah menyakiti hati temannya yang sedang berusaha bertumbuh dalam kebaikan dengan cara berbeda. Hmm, hafalan tanpa penghayatan ternyata bisa menjelma jadi prestasi yang kosong. Sedangkan popularitas tanpa adab bisa jadi kekuatan yang menyakiti.

Jika anak-anak sedang belajar mencintai Al-Qur’an, tetapi mudah berkata kasar, bisa jadi renungan mendalam bagi kita, orang tuanya. Terlebih Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat adalah orang yang banyak bicara, suka membual, dan sombong.” (HR. Tirmidzi)

Jika anak kita sudah banyak hafalan Al-Qur’an-nya, tetapi lisannya mudah melukai, itu tanda bahwa ilmu belum menyentuh hati, baru sampai ke mulut. Ampuni kami ya Allah.

Empati Itu Perlu Dilatih, Bukan Dibiarkan

menumbuhkan empati pada anak
Ilustrasi berempati pada teman/ Diolah menggunakan Canva

Anak tidak otomatis tahu bagaimana rasanya dipermalukan. Kita, orang tua, yang perlu menghadirkan dunia nyata sebagai penyeimbang. Banyak caranya. Dengan obrolan, kegiatan bersama, juga pembiasaan berempati.

Yuk, jangan biarkan layar menjadi “satu-satunya” guru perilaku anak kita. Karena dari layar yang tanpa pengawasan, bisa lahir anak yang menang game, tapi kalah dalam menjalin relasi manusia.

Kita tidak sedang melarang anak bermain. Tapi kita sedang menjaga agar mereka tetap manusia yang punya hati.

Mengutip parentingscience.com, para peneliti menyebut empati sebagai istilah umum untuk setidaknya tiga proses yang berbeda. Pertama, empati afektif. Ini merupakan kemampuan untuk merasakan emosi orang lain, seolah-olah kita sendiri yang mengalami.

Contoh dari empati afektif adalah saat ada teman yang sedih dan menangis karena kehilangan orang terdekat, kita ikut merasa sedih dan bahkan mungkin ikut menangis. Padahal jelas-jelas bukan kita yang kehilangan.

Kedua, empati kognitif. Dikenal juga sebagai pengambilan perspektif, yakni kemampuan untuk memahami secara rasional apa yang dirasakan atau dipikirkan orang lain, tanpa harus ikut merasakan emosi tersebut.

Contoh empati kognitif adalah ketika tahu ada teman yang kecewa karena gagal lolos seleksi kerja, lalu kita bisa memahami perasaannya, meskipun sebenarnya kita tidak ikut merasa sedih.

Ketiga, perhatian empatik (empathetic concern), yang oleh sebagian orang disebut simpati. Merupakan bentuk empati yang melibatkan kepedulian tulus terhadap kesejahteraan orang lain, disertai dorongan untuk membantu atau meringankan penderitaan mereka.

Jadi, kita tidak sekadar merasa dan paham, tetapi juga peduli dan ingin bertindak. Bisa dibilang, perhatian empatik merupakan buah dari empati afektif dan kognitif.

Cara Membangun Empati Anak

menumbuhkan empati pada anak
Ilustrasi cara menumbuhkan empati/ Diolah menggunakan Canva

Lalu bagaimana membangun empati pada anak? Ada beberapa hal yang perlu dilakukan.

1. Orang Tua Memberikan Contoh

Dalam proses belajar dan perkembangannya, anak-anak banyak mengamati dan meniru orang tuanya. Untuk itu, orang tua memegang peranan penting dalam membentuk empati anak.

Sesimpel kita tunjukkan saat melakukan kebaikan kepada orang lain, mendengarkan secara aktif, atau menunjukkan pengertian dan kasih sayang.

2. Dorong Anak untuk Mengambil Perspektif

Empati dimulai dengan kemampuan melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Jadi, kita bisa mendorong anak untuk menempatkan diri pada posisi orang lain.

Setelah itu, jangan lupa untuk mengajukan pertanyaan seperti, “Menurutmu bagaimana perasaan temanmu ketika dia disebut bodoh saat nggak bisa main game?”

menumbuhkan empati pada anak
Ilustrasi berempati pada teman/ Diolah menggunakan Canva

3. Ajarkan Regulasi Emosi

Empati tumbuh subur saat anak-anak dapat mengenali dan mengelola emosinya sendiri. Agar bisa mengungkapkan apa yang dirasa, mereka perlu tahu kosakata emosi.

Anak perlu memahami bahwa tidak apa-apa mengalami emosi yang berbeda. Mereka pun butuh contoh cara meregulasi dari orang tua atau guru yang tenang dan suportif. Selain itu, regulasi emosi perlu latihan. Caranya dengan memberi anak ruang, bimbingan, dan validasi atau pengakuan atas emosinya.

Memvalidasi perasaan ini penting banget dan berdampak besar. Anak jadi merasa dimengerti, didengar, dan dicintai tanpa syarat. Kegiatan ini menjadi pondasi bagi tumbuhnya kesehatan emosional, kepercayaan diri, dan hubungan yang aman antara anak dan orang dewasa.

4. Dorong Anak Melakukan Kebaikan dan Kasih Sayang

Melakukan kebaikan dan menunjukkan kasih sayang adalah salah satu cara paling alami dan efektif untuk menumbuhkan empati anak. So, jangan pernah lelah mendorong dan mencontohkan pada anak tentang melakukan kebaikan dan kasih sayang secara berulang ya, Ma.

Dengan begitu, anak akan terbiasa peduli pada orang lain, serta lebih berkesadaran saat melakukan kebaikan. Tidak perlu muluk-muluk, kita bisa melibatkan anak dalam kegiatan sederhana. Misalnya mengucapkan terima kasih, berbagi makanan, memberi hadiah, menengok kerabat yang sakit, serta membantu orang yang membutuhkan.

Saat mengajak anak berbuat baik, dia terlibat langsung dalam realitas orang lain. Hal itu membuatnya lebih peka terhadap apa yang dirasakan orang lain. Anak pun jadi lebih menyadari bahwa setiap orang punya perjuangannya sendiri.

Penutup

Pada akhirnya, setiap anak punya jalannya sendiri. Tidak semua harus jago game, dan tidak semua harus punya gawai. Masing-masing keluarga punya kebijakan dan alasan dalam menerapkannya.

Semoga kita tidak merasa lebih baik dari yang lain. Karena ketika kita mudah menghujat orang lain yang berbeda, anak akan melakukan hal yang sama.

Sebagai orang tua, tugas kita bukan membuat anak sama seperti yang lain. Akan tetapi, menanamkan keyakinan bahwa berbeda itu bukan berarti salah. Apalagi jika tidak ada adab, norma, dan fitrah yang dilanggar.

Harus selalu diingat bahwa kita sedang mendidik anak bukan hanya jadi pintar, tapi jadi berhati lapang. Bukan hanya berprestasi, tapi berakhlak kuat. Itu jalannya panjang, sepi, kadang penuh tangis. Namun, percayalah, Allah Maha Melihat.

Mari dampingi anak-anak kita agar mereka tumbuh dengan karakter kuat, hati lembut, dan akal sehat. Kendati mereka tumbuh di zaman yang serba cepat, banyak distraksi, dan penuh tantangan.

Anak tidak bisa main game tidak akan bikin dunia berakhir. Di masa depan, bukan skor game yang mereka butuhkan, melainkan ketahanan jiwa dalam menjalani hidup. Insyaallah, anak yang kita jaga hari ini dari layar yang merusak, juga dari kata yang menyakitkan, akan tumbuh jadi manusia tangguh yang bisa bertahan di dunia yang keras ini.

Kalau Mama punya pengalaman serupa, Mama tidak sendiri. Mari berbagi. Mari saling menguatkan.

Referensi

parentingscience.com. “Teaching Empathy: Evidence-based Tips For Fostering Empathic Awareness in Children,” https://parentingscience.com/teaching-empathy-tips/

aurrumkids.com.au. “5 Strategies for Teaching Empathy to Your Children,” https://aurrumkids.com.au/news/strategies-to-teach-child-empathy/

Leave A Reply

Your email address will not be published.

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.