Suami Izin Menikah Lagi, Bagaimana Masa Depan Keluarga?
“Kupikir dia rumah yang akan tetap terkunci dari dalam jika bukan aku yang membuka. Nyatanya aku salah.”
Laki-laki itu masih seperti biasanya. Dia berpakaian rapi dan licin, hasil setrika tangan ini. Badannya harum karena semprotan parfum yang kupilihkan. Dialah laki-laki yang kupilih menjadi imam di sisa usia ini. Kupikir kami akan menua bersama tanpa distraksi yang menyakitkan hati. Namun, aku salah. Duniaku terasa hancur ketika suami minta izin untuk menikah lagi.
Aku memang bukan perempuan sempurna. Namun, bertahun-tahun mengarungi bahtera rumah tangga dengannya, tidak selalu mudah. Entah sudah berapa kali jatuh tersungkur dan berguling-guling di titik nadir. Lalu, kami mencoba saling menguatkan dan bangkit bersama.
Kondisi kami membaik. Baru saja menikmati menghirup napas dengan leluasa dan sampai di titik Allah menitipkan nikmat berlebih, ujian kembali datang. Aku hancur, merasa dikhianati, dan tidak berharga. Ya Allah, bagaimana nasib keluarga kami nantinya?
Katanya, rasa sayang untukku tak berubah kendati ada perempuan lain dengan status sama denganku di hidupnya. Yakinkah? Perempuan itu jauh lebih muda, dan mungkin lebih segalanya dariku. Rasanya aku akan selalu kalah dibandingkan dengannya.
Menolak Suami Menikah Lagi Tanda Istri Tidak Patuh?
Dia marah sewaktu aku menolak memberinya izin menikah lagi. Katanya, jika memang aku menolak dipoligami, maka dia akan menceraikanku. Astaghfirullah, semudah itu? Dia memilih bercerai demi perempuan yang belum lama dikenal? Perempuan yang mengenalnya dalam kondisi mapan? Perempuan yang tidak tahu bagaimana berdarah-darahnya kami di masa-masa itu?
Aku sakit hati. Di saat ini saja hatiku sudah sesakit ini, apalagi jika aku mengizinkan dia menikah lagi. Setiap hari akankah kuizinkan hati ini penuh sayatan sembilu?
“Istri itu harus taat pada suami. Jika suami ingin menikah lagi, maka keputusan itu harus diterima. Lagipula aku menikahinya karena kasihan.”
“Kamu kasihan sama dia, tapi tidak kasihan pada istrimu? Tidak kasihan pada keluarga kita?”
“Justru keluarga kita akan semakin lengkap dengan hadirnya dia.”
Kutatap dalam-dalam mata laki-laki yang sosoknya selalu kurindukan itu. Aku berharap dia akan tertawa sambil berteriak, “Prank! Aku tidak mungkin menikah lagi. Aku ingin kita berdua sehidup sesurga.”
Sayang, harapan itu kosong belaka. Dia tetap pada keinginannya. Katanya, dia ingin mengikuti yang dilakukan Rasulullah.
Baca ini juga yuk: Menjadi Keluarga Tangguh agar Bisa Bertahan Saat Pandemi
Aku tersenyum getir. Keimananku memang masih naik turun, tapi aku tahu benar, Rasulullah tidak mempoligami Khadijah binti Khuwailid. Beliau baru menikah lagi setelah Khajidah meninggal dunia.
Tidak ada catatan yang menyebut pernikahan yang dilakukan Rasulullah beberapa kali itu atas desakan hawa nafsu dan alasan menjaga syahwat. Poligami Rasulullah SAW memiliki landasan yang agung dan mulia, bukan alasan yang dicari-cari agar bisa nikah lagi.
“Bagaimana jika aku tidak memberi izin?” tanyaku dengan mata yang siap menghamburkan banjir.
“Mungkin perasaanku padamu akan berubah, karena kamu tidak taat pada suami. Berpoligami itu sunnah, kenapa kamu tidak mau menerima?”
Kucoba sekuat tenaga menahan air mata. Sunnah katanya? Kenapa hanya bagian sunnah poligami saja yang harus dikedepankan? Sementara itu, sunnah-sunnah lain seperti salat witir, salat fajar, salat rawatib, menjaga wudu, puasa Senin-Kamis dan tiga hari setiap bulan, dan lain-lain saja tidak dilakukan. Jangankan sunnah, yang wajib saja masih belum optimal dilakukan.
“Bagaimana jika aku tetap tidak mengizinkan dan perempuan itu berubah pikiran tidak mau Kau nikahi?”
“Jika dia berubah pikiran, itu pasti karena intimidasi darimu. Aku akan menceraikanmu dan meninggalkan dia.”
Astaghfirullaahal ‘adziim. Astaghfirullaahal ‘adziim. Astaghfirullaahal ‘adziim.
Sungguh, aku tidak melihat suamiku bakal adil jika memiliki dua istri. Aku hanya melihat nafsu sebagai landasan keinginannya itu.
Suami Izin Menikah Lagi; Tegakah Kau Menghancurkan Kota demi Membangun Istana?
Aku paham, dalam berumah tangga pasti ada saja masalahnya. Tidak ada rumah tangga yang lepas dari konflik-konflik kecil. Pun dengan rumah tangga kami. Namun, sejauh ini aku melihat konflik yang terjadi sangat jarang dibanding romantisme kami berdua.
Ya, aku memang memiliki sejumlah kelemahan karena takdir Allah yang tidak bisa aku perbaiki. Akan tetapi, aku “menutupinya” dengan hal lain untuk membahagiakan suami dan keluarga kecil ini.
Kurasa kami baik-baik saja, tiba-tiba saja dia datang mengungkapkan keinginan menikah lagi. Entah bagaimana juga dia menemukan perempuan yang akan dijadikan maduku itu.
“Jika aku tidak jadi (menikah) sama dia. Aku tidak jamin akan jadi lebih baik sama kamu. Sekarang saja rasaku padamu sudah tidak seperti dulu.” Lagi, suamiku, yang kulayani sepenuh hati mencabik hati ini.
Baca tulisan ini juga yuk: Jika Titipan Itu Diambil Pemiliknya
“Kamu itu bla bla bla bla.” Dia kembali membombardir dengan kelemahan diri ini. Sosok yang kupikir saling menguatkan dan saling melindungi justru tega menguliti dengan cara seperti ini. Ya Allah …
Aku tidak habis pikir, suami tega menghancurkan kota untuk membangun istana baru. Aku mencoba sabar dan tetap berpikir logis. Aku berikhtiar dan berdoa semampuku untuk mengambil hatinya kembali.
Ya Allah, Selamatkanlah Keluarga Kami
Keluarga kecil ini adalah penyemangatku untuk menjalani hari-hari yang terkadang berat. Kupikir keluarga kecil ini pula yang menjadi motivasinya untuk giat bekerja dan menjemput rezeki Allah. Tak kusangka, kedudukan dan harta membuat motivasi suami berubah. Dua hal itu pula menjadikan cara pandangnya padaku berubah.
Masih kuingat benar hari-hari lalu, saat kami menjalani ujian yang Allah berikan. Berat, tapi kami melaluinya dengan penuh cinta. Bertubi-tubi Allah beri ujian, berkali-kali juga kami berhasil menjalaninya dengan kekuatan yang Allah beri. Kami bergandengan tangan saat melaluinya.
Kini, ujian itu kembali datang. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap berdiri dan melangkah. Tangan yang biasa kugandeng untuk saling menguatkan tak lagi terpegang. Di saat seperti ini, hanya Allah yang jadi tempat berpegang.
Ah, mungkin selama ini aku sombong. Sombong akan kesetiaan suami. Sombong memiliki pasangan hidup yang pantas dibanggakan di mana-mana. Mungkin Allah tidak suka aku mencintai makhluk-Nya secara berlebihan.
Hari itu aku salat taubat. Aku minta maaf pada-Nya bila ada hal-hal yang tidak berkenan dan tidak Allah suka. Aku minta kekuatan dan kesabaran. Semoga Allah menyelamatkan keluarga kecil ini.
Aku masih menjalani hari dengan aktivitas yang sama. Menyiapkan makanan sehat untuk suami, mengurus si kecil, menjaga rumah, memenuhi keperluan suami, dan menjaga harta suami. Meski hati ini berdarah-darah, kucoba menutupinya dengan senyum. Semoga apa yang kulakukan membuat suami tersentuh. Saat ini, aku belum siap jika suami menikah lagi.
*) Ini bukan kisah sendiri, tapi sangat menjadi pelajaran dan muhasabah.