Dulu Berebut Sekolah Negeri, Sekarang Memilih Sekolah Islami

Dulu, waktu saya masih sekolah, impian terbesar setelah lulus SD atau SMP adalah masuk ke sekolah negeri favorit. Nama-nama seperti SMPN 1, SMAN 1, dan SMAN 3 di kota tempat saya tumbuh terdengar seperti pintu gerbang kesuksesan.

Masuk ke sekolah-sekolah tersebut bukan cuma soal kebanggaan, tapi juga pembuktian diri. Rasanya perjuangan belajar terbayar saat pengumuman diterima di sekolah negeri favorit.

Kala itu, saya termasuk yang cukup beruntung. Ya, saya sempat mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah favorit itu. Ada rasa bangga, tentu saja. Ada juga rasa puas karena telah melewati perjuangan panjang.

Meski akhirnya saya kuliah S1 di perguruan tinggi swasta, tapi semangat pantang menyerah dan tekun yang terasah sejak kecil sangat terasa manfaatnya hingga dewasa.

Kini Tak Ikut Berebut Sekolah Negeri

memilih sekolah
Ilustrasi memilih sekolah/ Foto: Canva

Ketika anak pertama saya hendak masuk sekolah dasar, yang saya cari bukan sekolah negeri. Saya justru memilih menyekolahkannya di sekolah swasta berbasis Islam. Sekolah yang saat saya kecil nyaris tidak ada, atau kalaupun ada, kurang populer.

Untuk menyekolahkan anak di sekolah swasta, tentu saya perlu menyisihkan dana lebih. Wajib banget menabung untuk uang pangkal, uang kegiatan, juga SPP-nya. Semuanya benar-benar harus dipertimbangkan secara matang.

Apakah ada rasa menyesal tidak mendorong anak ke sekolah negeri favorit? Tidak juga. Ini karena tujuan saya sekarang bukan hanya prestasi akademik.

Saya ingin mereka tumbuh dengan karakter Islami, terbiasa salat, dzikir, menghafal Al-Qur’an, berkata lembut, dan penuh kasih sayang. Nilai-nilai itu rasanya lebih penting untuk mereka bawa dalam kehidupan panjang ke depan.

Apakah pendidikan seperti itu di rumah saja tidak cukup? Tentu saja bisa. Bukankah rumah adalah madrasah pertama bagi anak? Hanya saja, karena kemampuan saya yang terbatas, saya butuh dukungan dari pihak sekolah.

Lalu, Apa yang Berubah dari Memilih Sekolah?

memilih sekolah
Ilustrasi memilih sekolah/ Foto: Canva

Bukan dunia yang sepenuhnya berubah. Mungkin justru saya yang berubah. Prioritas saya sebagai anak di masa lalu berbeda dengan sebagai ibu sekarang.

Dulu sekolah favorit itu idaman karena membuka banyak peluang. Sekarang saya melihat pendidikan sebagai jalan membentuk jiwa dan akhlak anak-anak.

Dulu ukuran keberhasilan adalah nilai rapor dan universitas tujuan. Sekarang keberhasilan lebih kompleks. Misalnya apakah anak bisa menjaga adab? Mampukah dia menahan diri dari hal buruk? Bisakah dia tetap bersyukur dan rendah hati?

Ternyata, meski zaman sudah berganti, sekolah negeri favorit tetap ada. Masih banyak keluarga yang memperjuangkannya. Dan itu tidak salah. Justru menunjukkan bahwa pendidikan itu sangat beragam jalannya. Semua tergantung niat dan nilai yang ingin dikejar masing-masing keluarga.

Tidak salah ada keluarga yang mengejar sekolah negeri. Bukan kesalahan pula jika ada keluarga yang memilih sekolah swasta. Semua orang punya sudut pandang masing-masing yang tidak bisa saling dibenturkan.

Penutup: Pilihan yang Berbeda, Tujuan yang Sama

alat sekolah
Ilustrasi memilih sekolah/ Foto: Canva

Saya tidak merasa lebih hebat karena menyekolahkan anak di sekolah Islam. Juga tidak menganggap orang tua lain salah karena memilih sekolah negeri atau model pendidikan lain.

Kita semua sedang berjuang memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita. Hanya saja, berbeda jalan yang ditempuh.

Satu hal yang pasti, perjalanan ini mengajarkan saya satu hal. Bahwa pendidikan bukan sekadar soal tempat, tapi tentang nilai yang kita tanam dan perjuangkan bersama anak-anak kita.

O, ya tulisan ini saya hadirkan karena beberapa hari belakangan ini banyak ibu-ibu yang menyuarakan pilihan sekolah anak. Jadi, saya juga ingin berbagi pandangan. Tulisan ini juga termasuk dalam seri Diary Orang Tua Masa Kini. Nantikan tulisan lain di diary ini ya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.