Tersedu-sedu Menonton Film Animasi Jumbo

“Emang bener ya kalau main sama aku kalah terus?” Itu adalah ucapan Don, tokoh utama dalam film animasi Jumbo. Tahu nggak, saat mendengar kalimat itu, air mata saya membanjir. Saya menangis tersedu-sedu. Air mata itu untuk ana saya.
Kalimat serupa itu pernah meluncur dari bibir kecilnya di suatu siang. Menurut ceritanya, teman-temannya kesal karena dia dianggap tidak bisa diandalkan saat bermain sepakbola. Alhasil timnya menelan kekalahan.
“Ah, kalau dia mah tendangannya pencot.”
“Jangan dia deh, si X saja yang ikut main bola.”
“Gara-gara kamu nih kita jadi kalah!”
Kalimat-kalimat yang menyakitkan hati itu harus anak saya terima. Sebagai ibunya tentu turut sakit hati mendengar ceritanya. Namun, di belahan Bumi mana pun, kisah-kisah seperti ini akan selalu ada.
Dulu, saat masih sekolah saya pernah merasakan. Hanya gara-gara sol sepatu bolong, saya diejek beberapa teman. Di saat yang lain, saya disebut norak lantaran menghias lembaran buku tulis dengan stempel mainan hadiah pasta gigi.
Kala itu, saya melawan. Kebetulan saya termasuk anak yang cukup pintar di kelas, jadi ada yang bisa sedikit “dibanggakan” sebagai amunisi melawan.
“Biarin aja norak dan sepatunya bolong, yang penting pintar,” ucap saya sambil menunjuk kepala sendiri. Jika sudah begitu, teman saya tidak bisa berkata apa-apa. Apalagi dia kerap minta bantuan saya saat ditunjuk guru menjawab soal-soal latihan.
Saya pun mendoronnya untuk melakukan hal serupa. Kebetulan anak saya juga memiliki beberapa kelebihan yang pernah ditampilkan dalam lomba. Berhasilkah?
Dianggap Berbeda karena Tidak Seperti Mereka

Don di dalam film Jumbo sering tidak diajak main teman-temannya. Ini karena Don dianggap “tidak seperti mereka” yang punya kemampuan main sepakbola dan kasti.
Terlebih, Don punya kebiasaan membawa buku cerita ke mana-mana. Dia pun kerap menceritakan ulang isi buku tersebut, sampai teman-temannya merasa bosan dan tidak suka pada kebiasaan tersebut.
Ini agak-agak mirip anak saya. Karena tidak jago main sepakbola, lalu dianggap “tidak seperti mereka”. Satu lagi, anak saya tidak main game dan tidak punya handphone. Hal ini membuatnya berbeda dari kebanyakan teman-temannya.
Alhasil apa? Ketika teman-temannya bercerita tentang game atau merencanakan main game bareng, anak saya tidak diajak. Sedangkan ketika dia bercerita tentang informasi yang didapat dari buku, temannya tidak ada yang tertarik. Sedih banget!
Jika dianggap berbeda karena tidak main game dan tidak punya handphone, apakah saya jahat jika memutuskan untuk tetap tidak memberinya handphone dan game? Mungkin beberapa orang berpendapat demikian.
Namun, sebagai orang tuanya, sayalah yang paling tahu kondisinya. Anak saya masih belum cukup umur. Umurnya baru 10 tahun. Saya tidak siap memberinya handphone pintar. Kenapa? Karena memberi handphone berarti “menyerahkan seisi dunia” di tangannya.
Kami di rumah memiliki tablet. Alat elektronik yang banyak digunakan anak saya untuk mengakses aplikasi terkait kebutuhan belajar. Tablet itu juga dibawa sebagai sarana komunikasi manakala dia pergi les. Jadi, dia pakai tab itu untuk menelepon saya ketika kelasnya berakhir, sehingga saya bisa bergegas menjemput.
Di tab tersebut pernah di-install WA. Namun, hal itu membuatnya semakin lekat dengan layar. Karena bebas berkomunikasi dengan siapa saja melalui WA, dia sering pegang tab di saat yang seharusnya melakukan kewajiban lainnya.
Dari percakapan di WA, dia terinspirasi untuk menjajal game ini dan itu. Parahnya, dia jadi bohong pada orang tua. Jadi, memang belum saatnya dia memiliki gadget sendiri yang terhubung dengan sejumlah aplikasi personal.
Sejujurnya, saya kurang setuju keluarga kami membeli tab. Apalagi anak saya sudah memiliki smartwatch yang bisa digunakan untuk berkomunikasi. Terkait aplikasi belajar, bukankah bisa di-install di hape saya? Sayangnya, suami punya pandangan berbeda.
Seringkali saya setuju pada pendapat, “Lebih baik anak dianggap kehilangan “masa kecilnya” ketimbang kehilangan “masa depannya”.”
“Alah… Bisanya Cuma Main Rubik Doang”

Kata anak saya, menunjukkan prestasi di depan teman-temannya, tidak melulu membuatnya disegani. “Mungkin itu cuma berhasil saat Mama sekolah. Anak-anak sekarang sepertinya tidak peduli pada prestasi, Ma,” ucapnya.
Pernah suatu kali anak saya diremehkan seorang temannya. Lagi-lagi karena tidak jago main sepakbola. Ketika anak saya mencoba “sombong” bahwa dirinya ikut kompetisi rubik yang diakui internasional, apa kata temannya?
“Alah… bisanya cuma main rubik doang.”
“Alah cuma menang lomba bahasa Inggris.”
Hmm. Akhirnya saya beri masukan pada anak saya, kalau diremehkan secara verbal, abaikan saja. Anggap saja ucapan mereka itu seperti kentut busuk yang tidak perlu diperhatikan.
“Ketika mereka sibuk dengan hal-hal yang tidak bikin berkembang, kamu harusnya lebih menyibukkan diri untuk bertumbuh lebih baik.”
Terkadang, beberapa orang tidak menyukai kita karena iri. Ini seperti Don yang tidak disukai oleh Atta. Atta iri karena Don punya buku cerita peninggalan orang tuanya.
“Dek, kalau adek capek, kesal. Jangan marahnya sama orang lain.”
Kutipan Film Jumbo
Buku tersebut sangat berharga dan punya makna emosional besar. Atta bahkan mencuri buku itu dengan harapan Don tidak bisa mengikuti lomba unjuk kemampuan.
Rasa suka dan tidak suka yang dimiliki orang lain adalah hal yang tidak bisa kita kontrol. Jadi, jika ada orang yang kelihatan banget tidak suka pada kita, sebaiknya batasi interaksi dengannya. Jangan lupa, doakan agar hati dan perilakunya dilembutkan.
Bercanda Itu Lucu bagi Dua Belah Pihak, Bukan Sepihak Saja

Ada kisah lain yang sebenarnya bikin saya geregetan. Jadi, alas kaki anak saya beberapa kali disembunyikan temannya. Anak saya sudah berusaha memberi tahu temannya secara baik-baik agar tidak lagi melakukan hal tersebut. Sayangnya, temannya sama sekali tidak mengindahkan.
Hal itu membuat anak saya sebal. Alhasil ketika ada kesempatan, anak saya melakukan “pembalasan”. Lucunya, teman anak saya marah. Duh, kalau nggak mau “dicubit” ya jangan “mencubit”.
“Apaan sih ‘kan cuma bercanda,” ucap temannya. Ya, kalau kamu bisa bercanda seperti itu, harus terima juga dong kalau “dibercandai” hal yang sama.
Padahal yang namanya bercanda itu harus lucu bagi kedua belah pihak. Kalau satu pihak saja yang lucu sedangkan pihak lain “tersakiti” atau dirugikan ya namanya bukan bercanda, tapi merundung alias mem-bully. Mirisnya, masih banyak orang yang sering merundung dengan kedok “BERCANDA DOANG”.
Semakin ke sini tuh saya lihat beberapa anak yang semakin ke sana. Banyak anak-anak yang belum belajar untuk peduli dan memahami perasaan temannya. Padahal ini penting banget.
Nah, semakin banyak interaksi dengan gadget, kalau anak saya nih ya, semakin tumpul empatinya. Ya gimana nggak tumpul, gadget itu seperti “level tertinggi kebahagiaan” anak. Dia hanya peduli pada kesenangannya. Jika dibiarkan tanpa bimbingan orang tua, bisa dibayangkan nggak tuh dampak gadget pada anak?
Penutup

Maaf ya, Ma, jika berharap mendapatkan resensi film Jumbo di tulisan ini, sama sekali tidak akan didapat.
Terkait film-nya sih bagus ya. Visualnya indah dan detail. Soundtrack-nya juga bagus dan menggugah. Ini adalah film animasi karya anak bangsa yang diproduksi oleh Visinema Studios. Lebih dari 400 kreator Indonesia terlibat dalam pembuatan film ini.
Konon, film animasi Jumbo juga akan tayang di 17 negara, termasuk 12 negara di kawasan Eropa. Membanggakan sekali ya.
Melihat film animasi Jumbo, saya jadi merenung. Bahwa benar, hidup itu nggak sempurna dan selamanya seperti yang kita mau. Terkadang ada anak yang harus kehilangan orang tua sejak kecil. Harus tumbuh besar tanpa orang tua tentu tidak mudah.
Namun, di antara ketidaksempurnaan dan “keidealan” yang beraneka rupa versinya, perlu banget untuk bersyukur. Ya, mensyukuri banyak hal yang kita dapat tanpa bersusah payah memintanya dari Allah.
Satu lagi, dari film animasi Jumbo, ada pesan tentang keberanian. Keberanian untuk menjalani ketidaksempurnaan hidup.
“Kata Oma, di tiap cerita pasti punya banyak peran. Cerita ini butuh peran kamu.”
Kutipan Film Jumbo
Dari berbagai peran yang ada di dunia ini, ambillah peran yang baik ya, Nak. Ingat, Allah melihat semua yang kita lakukan, meski kita melakukannya sembunyi-sembunyi.