Bukan Gadis Menyedihkan

Mata elang itu menatapku sendu. Raga ini terasa menggigil dan bibir kelu. Tercabik-cabik, sekaligus merasa malu. Pantaskah gadis sepertiku mendapat tatapan sedalam itu?

Shyam, pemuda bermata elang itu melipat jarak. Netranya masih dengan sorot sama, mengantarkan rasa panas yang menjalari sarira. Di menit-menit itu, diri ini seperti kerdil. Atau sebenarnya dunia yang mengembang hebat, hanya karena langkah Shyam yang kian dekat?

“Kenapa kamu semenyedihkan itu?” Ucapan Shyam terdengar seperti gesekan ranting kering di tengah pemakaman. Menyayat sampai lapisan batin terdalam. Laksana perkawinan duka, kecewa, dan sekumpulan emosi bernada suram lainnya.

Shyam memalingkan wajah ke arah sorak-sorai di ujung lapangan sekolah. Di sana, sekumpulan gadis tertawa dan melompat-lompat riang. Namun, di antara semua gadis, Nadindralah pemilik tawa paling lebar.

Tak heran dia sebahagia itu. Nadindra baru saja menjadi pemenang lomba cerpen dalam rangka Hari Pendidikan. Juara pertama mendapat uang tunai sepuluh juta rupiah. Angka yang tidak sedikit bukan?

Ini bukan kali pertama Nadindra memenangkan lomba menulis cerpen. Setidaknya lima kali namanya berada dalam daftar pemenang. Setiap kali menang lomba, gadis itu akan memberiku sejumlah uang. Seisi kelas tahu kemurahan hati Nadindra.

Aku butuh belas kasih Nadindra. Bersamanya, aku bisa merasakan sedikit kemewahan. Pergi dan pulang sekolah naik mobil yang dingin. Dia pun kerap membelikanku makanan di kantin sekolah.

Tanpa kebaikan Nadindra dan keluarganya, mungkin aku tidak akan pernah bersekolah. Bisa jadi, keluargaku juga akan selalu tidur dengan perut keroncongan.

“Selama memilih jadi bayang-bayang Nadindra, kamu akan terus jadi gadis menyedihkan, Sakya.” Shyam berbicara lagi. Suaranya lirih, tetapi berat dan dalam.

Ilustrasi laki-laki muda
Ilustrasi dari Canva

Sebelum pergi, dia mengulurkan pulpen berwana biru dan selembar kertas. Ada inisal “S” di bagian atas pulpen. Perlahan kubuka kertas tersebut. Rupanya pengumuman lomba menulis cerpen yang digelar sebuah badan usaha milik negara. Kupindai cepat isi pengumuman dalam kertas.

“Ada lomba menulis cerpen lagi? Wah, hadiahnya dua puluh lima juta? Info menarik, Sakya.” Nadindra menarik cepat kertas yang kubaca, lalu menyimpannya di saku rok seragam abu-abunya.

Gadis berambut panjang itu lalu menarik tanganku dan mengajak ke kantin. Seperti biasa, dia akan mentraktir makan. Di hadapan teman-teman yang lain, dia memberiku segepok uang.

“Ini ada sejuta buat kamu, Sakya, sebagian dari hadiah lomba cerpenku. Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat ya,” ucap Nadindra yang disambut aneka pujian. Nadindra, si cantik yang pintar dan baik hati, tidak akan pernah melupakan Sakya yang melarat.

Tiba-tiba mataku bersirobok dengan netra elang Shyam. Tatapannya semakin menusuk. Tajam bagi belati yang baru saja diasah. Sepertinya dia satu-satunya makhluk di muka Bumi ini yang tidak suka diriku mendapat kebaikan dari Nadindra.

Sejak itu tatapan tajam Shyam bergentayangan. Kata-katanya yang menusuk pun terus bergema di telinga. Ah, benarkah aku gadis yang menyedihkan, seperti ucapnya?

Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Susah payah Ibu menghadirkan sosokku ke dunia ini, kenapa diri ini harus jadi gadis menyedihkan. Namun, aku tidak cukup berani menyematkan impian di antara bintang di langit. Huh!

gadis menyedihkan
Ilustrasi dari Canva

Berani bermimpi dan mengejarnya berarti harus keluar dari mandala kenyamanan. Harus siap menabur garam di luka sendiri, saat mendapati adik-adik hanya makan berlauk garam. Pemandangan pilu sehari-hari sebelum Ibu bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah Nadindra.

Menjadi orang tua tunggal tentu tidak mudah bagi Ibu. Pekerjaan apa pun dilakoninya, yang penting bisa menghidupi ketiga anaknya. Pak Dirgantara, ayah Nadindra, memberikan keistimewaan pada kami saat dia tak sengaja membaca tulisanku. Aneka tulisan yang kutoreh di kertas-kertas bekas. Kertas yang kupungut dari tempat sampah keluarga Dirgantara.

Mengingat rumah kami berdekatan, aku kerap diajak serta saat Nadindra berangkat dan pulang sekolah menggunakan mobil pribadi. Tak cuma itu, Ibu pun boleh membawa pulang lauk sisa lebih banyak oleh ibunya Nadindra.

Adik-adik tidak pernah lagi mengeluh lapar. Bagi kami tidur dengan perut kenyang adalah kemewahan. Lantas, jika aku mencoba mengambil jarak dari Nadindra, apakah kemewahan ini akan terus kami dapatkan?

Aku ingat, suatu sore saat membantu Ibu membereskan cucian, Pak Dirgantara memanggil. Dia bertanya tentang cita-citaku.

gadis menulis
Ilustrasi dari Canva

“Saya ingin menjadi penulis, Pak,” jawabku ragu.
“Kenapa?” Pak Dirgantara menanyakan alasannya.
“Karena Imam Al Ghozali dalam sebuah maqolahnya mengatakan, “Jika engkau bukan anak seorang raja, atau anak dari ulama besar, maka menulislah.”

Entah apa yang lucu, Pak Dirgantara tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Perutnya besarnya berguncang hebat, dan air mata mengalir di pipi.

“Kamu membantu ibumu saja, Sakya. Tidak usah jadi ini dan itu. Lanjutkan saja pekerjaan ibumu di rumah ini. Saya naikkan gaji ibumu jika kamu bantu-bantu Nadindra juga. Itu yang lebih dibutuhkan keluargamu.”

Kata-kata Pak Dirgantara bagai menampar diri ini keras-keras. Orang sepertiku tak layak bermimpi. Setiap hari yang harus dipikirkan hanyalah isi perut, lalu berusaha menyamankan diri dengan bantuan orang lain. Bantuan yang hanya cukup untuk hidup hari ini, tapi bukan untuk hidup lebih baik esok hari.

Mungkin benar, terkadang ada pihak yang tidak ingin melihat orang lain maju. Sengaja menciptakan sistem melalui pemberian dan bantuan yang melenakan. Akan tetapi di sisi lain, tidak akan pernah diizinkan untuk berkembang. Sistem yang sengaja diciptakan untuk melanggengkan kebodohan dan kemiskinan.

Keluarga Pak Dirgantara memang membantu uang pendidikan sekolahku dan adik-adik. Namun, hanya sampai bangku sekolah menengah atas saja. Kami tidak boleh bermimpi bakal kuliah atau mendapat pekerjaan seperti yang dicita-citakan. Kami seolah didesain hanya untuk menjadi pekerja di rumah mewah mereka.

Apa jadinya jika aku melawan? Mengejar mimpi adalah bentuk pemberontakan pada keluarga Dirgantara. Ibu pasti dipecat, dan kami akan kembali menjalani hari-hari dengan kelaparan. Belum lagi risiko bakal dibenci Nadindra dan seluruh teman-temannya.

“Apakah miskin itu juga berarti kehilangan kemerdekaan untuk menentukan jalan hidup?” lirihku.

Tiba-tiba rasa panas menjalari seluruh raga. Rasa yang sama ketika Shyam menatap tajam dengan mata elangnya. Terkuliti sekaligus terintimidasi membungkus erat ujung rambut hingga ujung kaki.

Aku menulis cerpen menggunakan pena pemberian Shyam. Bukan satu, melainkan dua. Satu cerpen akan dikirim atas namaku. Sedangkan satu cerpen lain untuk Nadindra. Seperti biasa, dia akan ikut lomba menggunakan karyaku. Ya, tulisan-tulisankulah yang membuat Nadindra berada di daftar juara.

Sepertinya Shyam tahu sosok di balik karya Nadindra. Itu makanya dia menyebutku gadis yang menyedihkan. Huh, padahal dia tidak tahu dilema seperti apa yang menggelayuti bahu ini.

Tatapan dan kata-kata menusuk laki-laki itu berhasil membuatku jadi pemberontak. Apa jadinya jika Nadindra tahu kalau aku ikut lomba menulis cerpen yang sama dengannya? Bahkan dengan nekat, karya-karya juga kukirim ke beberapa lomba yang tidak Nadindra ketahui.

Aku tahu, diri ini sedang menggali kubur. Bukan kuburku semata, tapi juga bagi ibu dan adik-adik. Entah kekecewaan seperti apa yang siap tergurat di wajah-wajah polos mereka.

gadis menyedihkan
Ilustrasi dari Canva

Sebenarnya apa yang sedang ingin kubuktikan? Apakah hanya sekadar membuktikan pada Shyam bahwa aku bukan gadis menyedihkan? Hei, seistimewa apa laki-laki bermata elang itu, hingga kupertaruhkan banyak hal untuk mengubah pandangannya.

Malam ini kembali kutatap wajah ibu dan adik-adik yang terlelap. Dalam tidurnya, si bungsu Dhatu menyungging senyum. Ah, dia pasti sedang bermimpi indah. Apakah dia bermimpi pergi ke pasar malam dan naik bianglala?

Sungguh, aku akan menjadi orang paling berdosa jika mereka menderita akibat perlawanan ini. Namun, bukan suatu kesalahan ‘kan jika aku berusaha mengejar cita-cita? Apalagi ada mimpi lain, yakni memutus rantai kemiskinan dan kebodohan.

Hari yang kukhawatirkan terjadi. Siang itu sangat terik, membuat badan ini laksana terbakar api paling panas. Nyatanya aku memang terbakar. Ya, terbakar kata-kata sengit Nadindra. Dia tidak terima aku menjadi juara pertama lomba cerpen yang kami ikuti. Sedangkan dirinya dan karya yang juga kutulis berada di tempat ketiga.

“Dasar orang tidak tahu diri. Berani-beraninya kamu ikut lomba juga. Memangnya kamu siapa? Anak pembantu yang kere nggak layak jadi pemenang. Kamu itu tempatnya di belakang. Sadar diri dong.” Nadindra mencaci maki hingga wajahnya memerah.

Tenggorokan ini tercekat. Perut mulas. Aku tidak berani melawan. Ya Tuhan, rasa-rasanya ingin menghilang. Terlebih membayangkan Ibu yang pasti juga menjadi pelampiasan kekesalan keluarga Nadindra.

Ilustrasi dari Canva

“Berlian akan tetap berlian meski ditaruh di selokan. Dunia akan tahu kilaunya, meski batu kali berkali-kali mencoba menggesernya ke belakang.” Suara berat dan dalam tiba-tiba terdengar. Shyam!

Pertama kalinya dalam hidup, orang lain membelaku. Sosok yang sama sekali tak punya pertalian darah. Di sela ketakutan, ada hangat yang menjalar di dada.

“Oh jadi kamu mau bela gadis menyedihkan ini? Kamu nggak tahu apa-apa, pergi saja sana,” usir Nadindra.

“Justru aku tahu semua, makanya aku bicara. Tentang karya-karya milik Sakya yang kamu klaim dan menjadikanmu pemenang lomba. Busuk sekali batu kali satu ini.” Kali ini tatapan tajam Shyam menelanjangi Nadindra.

Wajah gadis itu berubah pias. Seolah tak ada darah yang mengalir di tiap pembuluh darahnya. Shyam lalu mengajakku pergi meninggalkan Nadindra yang luruh dengan tangis.

Hari itu memang penuh air mata. Di rumah kudapati Ibu yang meraung-raung karena dimaki-maki orang tua Nadindra. Dia pun kehilangan pekerjaan. Adik-adik juga ikut bersimbah air mata. Mereka membayangkan hari-hari dengan rintihan lapar yang akan kembali diakrabi.

“Bu, ini ada dua puluh lima juta untuk modal usaha. Ibu nggak usah kerja lagi di rumah Nadindra. Uang ini hasil keringatku, dari menang lomba cerpen.” Perlahan air mata Ibu kuhapus.

Ibu meggelengkan kepala, seperti tak percaya. Ini adalah uang terbanyak yang pernah Ibu pegang. Punya usaha sendiri, sesederhana membuka warung nasi kecil di teras rumah, adalah impiannya sejak lama.

Hidup memang semisterius itu. Hal-hal yang tak disangka, kini ada di depan mata. Merajut cita-cita bukan cuma milik mereka yang berduit. Untuk mewujudkannya, butuh lebih dari sekadar niat, tapi juga keberanian. Akhirnya aku bisa membuktikan bahwa diri ini bukanlah gadis menyedihkan. Pembuktian yang bukan hanya untuk Shyam.

menggapai mimpi
Ilustrasi dari Canva

Aku memang masih siswa SMA. Jalan menjadi penulis masih sangat panjang. Namun, aku bersyukur jalan untuk menjadi penulis yang sesungguhnya satu demi satu terbuka. Jika benar ada keberuntungan pemula, kuharap keberuntungan ini betah mendampingi langkahku.

“Bruk!” Lagi-lagi suara keras itu mengagetkan kami yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Ah, pasti sampah kiriman lagi dari keluarga Nadindra. Membuang seplastik sampah di halaman rumah kami seolah jadi cara protesnya pada semesta. Ya, semesta yang saat ini seperti berada di pihak kami.

3 Comments
  1. Laila RI says

    Kak keren banget cerpennya 😍 vibesnya kayak baca manga gitu loh, ada ilustrasinya yang bikin visualnya makin kerasa. Alur ceritanya juga unik, mantep nih, kak Vita 👍🏻

  2. Uswatun Khasanah says

    👏👏👏 Karyanya keren, Kak. Gak bikin bosen karena ada ilustrasi. Jalan ceritanya juga sekitaran dunia remaja 😍

  3. Monica Rasmona says

    Two thumb’s up Sakya. Memang butuh keberanian untuk mengambil sebuah keputusan. Ada risiko yang harus diterima. Yeay, kamu sudah melakukan hal yang benar!

Leave A Reply

Your email address will not be published.

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.