Hal-hal Kecil yang Kerap Terlupa, Padahal Bermakna Besar

Sesuatu tampak besar, karena di dunia ini ada yang kecil. Sayangnya hal-hal kecil sering dianggap remeh dan tak bermakna, sehingga kerap terlupa dan diabaikan. Padahal dalam beberapa peristiwa, hal-hal kecil justru bisa bermakna besar.

Tulisan ini menjadi pengingat bagi diri saya sendiri. Semoga di sisa hidup yang dimiliki, tidak meremehkan hal-hal kecil. Terkadang meremehkan hal kecil bisa membuat luka, tak hanya bagi diri sendiri, tapi juga orang lain.

Berikut ini beberapa hal kecil yang kerap terlupa, padahal bisa jadi bermakna besar.

1. Tinggalkan Sapaan, Meski di Pesan WA

Pernah nggak menjawab atau mendapati jawaban di WhasApp yang hanya “Ok”. Bagi beberapa orang mungkin biasa saja ya. Namun, bagi beberapa yang lain, hal seperti terkesan sombong dan kurang menghormati.

“Halah, baper amat, yang penting ‘kan sudah jawab.” Bagi saya, berkomunikasi menggunakan tulisan harus dan wajib lebih baik ketimbang bahasa lisan. Kenapa? Karena bisa jadi salah persepsi, tergantung situasi dan kondisi orang yang sedang membacanya.

Itu makanya, merespons dengan bahasa yang santun, plus beri sapaan di pesan WA jadi semacam keharusan buat saya. Ketimbang menulis “Makasih” saja, lebih baik ditambahi sedikit sapaan, “Makasih ya, Mbak.” Dengan begitu, lawan bicara akan merasa lebih dihargai dan dihormati. Kesan santun pun akan muncul hanya dengan membubuhkan sapaan.

Jujur, saya kurang respect jika mengirim pesan di WA, lalu dibalas dengan kata yang singkat dan tanpa sapaan. Apalagi jika lawan bicara di WA adalah orang yang kurang dekat dan jauh lebih muda.

Tidak menyematkan sapaan memang bukan berarti tidak santun. Akan tetapi, menimbulkan kesan sopan hanya dengan menulis kata sapaan tak ada ruginya bukan?

2. Mengapresiasi Orang Lain, Meski Remeh

Sering kali kita baru mengapresiasi orang lain jika diberi sesuatu yang besar. Alhasil ketika diberi sesuatu sesederhana cireng nasi kemarin, lupa untuk memberikan apresiasi.

Bahkan saat dibantu orang lain, sesimpel menerimakan paket, lupa juga untuk memberikan apresiasi. Pun saat ada orang yang mengirimkan pesan berupa pengingat kebaikan, dianggap sangat biasa dan remeh, sehingga merasa tak perlu diapresiasi.

Padahal dengan sedikit memberi apresiasi, orang yang memberi kita kebaikan akan lebih bersemangat melakukan kebaikan. Imbasnya, bisa jadi ke diri kita sendiri juga lho.

Lebih pilih mana, orang melakukan kebaikan pada diri kita atau melakukan keburukan? Pasti kebaikan dong. So, saat orang melakukan kebaikan pada kita, seremeh apa pun, apresiasi jangan sampai terlupa.

3. Mengingat Kebaikan Orang Lain, Kendati Kecil

Pernah nggak membaca kutipan seperti ini, “Mengapa kita marah ketika seseorang datang saat butuh saja kepada kita? Bukankah kita selalu melakukan hal yang demikian kepada Allah?”.

Hmm, rasanya seperti pemadam kebakaran ya? Hanya dihubungi saat butuh saja. Hi-hi-hi miris sekali.

Kita sebagai manusia yang merupakan tempanya lupa ini, sering kali melupakan kebaikan orang lain. Itulah salah satu yang membuat kita hanya datang kepada seseorang saat butuh saja.

Kirim WA hanya karena butuh bantuan. Datang bersilaturahmi hanya di saat memerlukan saja. Saat nggak butuh ya nggak akan kirim WA dan bersilaturahmi. Kesibukan selalu jadi pembenar. Padahal nggak ada orang yang benar-benar sibuk, semua hanyalah tentang prioritas.

Jika ada orang yang bersedia membantu kita, apakah dirinya benar-benar lapang? Belum tentu. Bisa jadi memang dilapang-lapangkan. Karena itu, mengingat kebaikan orang lain, kendati kecil, jangan sampai terlupa.

4. Tiga Kata Ajaib

Kita mungkin sering mengenalkan tiga kata ajaib pada anak, yakni maaf, permisi, dan terima kasih. Namun, mungkin kita sendiri lupa untuk menerapkannya. Apalagi menerapkannya untuk orang terdekat.

Kepada orang lain, bahkan yang hubungannya jauh, tiga kata ajaib begitu mudah disampaikan. Akan tetapi, giliran kepada orang-orang yang tinggal serumah dan seatap, sulit diberikan.

Merasa “biasa hidup bersama” kadang menjadikan kita menyepelekan hal kecil bermakna besar. Jadi merasa nggak perlu permisi jika akan meminjam barang anak atau pasangan. Merasa tak perlu mengucap maaf ketika menyakiti hati anak dan pasangan. Lalu merasa tidak penting mengucapkan terima kasih kepada pasangan yang sudah berlelah-lelah mengurus anak dan rumah.

Padahal, hanya dengan mengucap terima kasih dan pujian atas masakan yang dibuat di sela-sela kerepotan bisa membuat pasangan lebih bahagia. Dampaknya apa? Berkurang emosi negatifnya, berkurang ngomelnya.

5. Memberi Respons

Pernahkah bertemu orang yang tidak responsif? Diajak diskusi diam. Dikirimi pesan, tidak dijawab. Duh, bingung ya hendak bersikap.

Mungkin kita juga pernah hanya memberi respons saat butuh. Ketika butuh bantuan orang lain, dengan segera memberikan respons. Namun, ketika merasa tidak butuh, respons diberi setelah berjam-jam atau sehari kemudian. Padahal sih kita nggak sibuk-sibuk banget. Hanya merasa hal tersebut bukan prioritas.

Jika memberi respons masih sering terlupa, yuk kita ubah. Jangan sampai orang lain merasa “dimanfaatkan” oleh kita. Fast response hanya di kala butuh bisa bikin orang lain ilfeel lho. Jangan yaaa.

Baca juga tulisan ini yuk: Menanamkan Adab Memberi dan Diberi pada Anak

Penutup

Kadang kita berfokus pada hal-hal besar, sehingga kerap kali hal-hal kecil jadi terlupa. Kita kerap merasa yang perlu diapresiasi dan diberi respons adalah saat seseorang memberi bantuan besar. Lantas lupa berterima kasih tatkala hanya diberi Rp 100.000,00.

Saya bukan sedang membesar-besarkan hal kecil. Hanya saja ingin mengingatkan diri sendiri bahwa semua orang punya perjuangan masing-masing, punya effort juga dalam melakukan kebaikan pada kita. So, sekecil apa pun kebaikan yang diberi orang lain, jangan sampai terlupa.

Kita nggak pernah tahu seperti apa kelanjutan hidup kita kelak. Siapa tahu, dengan menjaga hal-hal kecil tak terlupakan, ada hal-hal baik yang bisa kita dapati.

Leave A Reply

Your email address will not be published.

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.