Pernahkah Merasa Lelah Jadi “Tempat Sampah” Orang Lain?

Notifikasi What’s App berbunyi, meningkahi aktivitas kami siang itu. Suami sibuk bekerja dari rumah, si sulung les online, sedangkan saya bermain dengan si bungsu. Rupaya Si Itu pengirimnya. Dia datang membawa “sampah”, lalu melemparkannya pada kami, seolah di wajah kami tertulis “tempat sampah orang lain”.

Si Itu hanya mengontak kami saat sedang ada masalah saja. Utamanya masalah finansial. Ia ingat kami ketika kehabisan uang untuk beli bensin, dompet ketinggalan saat hendak masuk tol, atau ketika ban mobilnya bocor.

Sebaliknya, nama kami tak terlintas di ingatan ketika dirinya pesta durian. Saat sedang jalan-jalan yang penuh momen menggembirakan, atau kala dirinya mendapat rezeki berlebih, tidak ada nama kami di daftar orang yang harus diingat.

Si Itu kerap datang membawa cerita yang bikin kami iba. Cerita itu muaranya sama: pinjam uang. Dia ingat kepada siapa harus pinjam uang, tapi tidak pernah ingat untuk mengembalikannya kepada siapa.

Kadang rasanya lelah selalu menjadi “tempat sampah” orang lain, harus siap sedia menampung “sampah-sampah” yang dia lemparkan. Sementara itu, dia sama sekali tidak peduli sudah sepenuh apa “sampah” yang kami tampung. Hanya karena dia tidak memiliki gaji konsisten tiap bulan, apakah lantas boleh selalu memposisikan diri di pihak “kasihan” yang wajib dipedulikan dan diutamakan?

Padahal kami tidak selalu baik-baik saja. Terkadang kami memiliki tekanan sendiri, meski tidak melulu tekanan finansial. Kami simpan tekanan tersebut di rumah sendiri. Membungkusnya sedemikian rapat agar tidak bisa diendus siapa pun. Orang yang terlihat baik-baik saja, belum tentu baik-baik saja. Dia hanya memilih untuk tidak menampilkannya.

Lalu di satu titik, kami lelah. Bukan, ini bukan perkara tidak ikhlas membantu orang lain. Bukan juga perkara tidak peduli pada orang lain. Terkadang hari kami begitu penat dan sesak. Ketika ada “sampah” yang dijejalkan, terbayang tidak bagaimana rasanya? Kami peduli, tapi bagaimana dengan mereka ketika kami berada di titik nadir? Apakah peduli juga? Ternyata tidak juga.

Saya dan suami lantas berdiskusi panjang. Demi kesehatan lahir dan batin, sepertinya kami perlu menyudahi peran sebagai “tempat sampah” orang lain setiap waktu. Nah, ini dia yang sekarang sedang kami belajar terapkan setelah membaca artikel bertajuk “Are You Tired of Being An Emotional Garbage Dump?”

Tetapkan Batasan agar Tak Jadi “Tempat Sampah” Orang Lain

tempat sampah orang lain
Kita berhak menetapkan batasan dan orang lain tidak boleh sembarang menerabasnya/ Foto: Canva

We have to set our boundaries. I’m getting tired of this,” keluh saya pada suami malam itu. Ternyata dia pun merasakan hal yang sama.

Ya, kami bukan tukang memperbaiki semua keadaan orang. Masing-masing orang punya beban dan tanggungan, jadi bukan kewajiban kami untuk menyelesaikan semua permasalahan orang lain.

Akhirnya kami memutuskan untuk “menolak” memberikan bantuan jika memang sedang tidak bisa membantu. Ini pekerjaan berat karena kami tipe orang yang mudah iba dan nggak enakan.

Mindset: Tidak Membantu Orang Lain, Bukan Berarti Jahat

Kami membayangkan suatu hari suami pergi ke kantor. Seharian itu, saya mengurus anak-anak dan pekerjaan domestik. Tiba-tiba datang kerabat yang menitipkan anaknya, karena selama beberapa jam ke depan dia harus menyelesaikan urusan.

Saat saya menerima permintaan dia, tentu akan memudahkan urusannya. Perbuatan baik, bukan? Namun, di sisi lain, tugas dan tanggung jawab saya yang sehari-hari sudah terasa padat, akan semakin bertambah padat. Ketika saya menahan emosi negatif selama beberapa waktu karena nggak enak menolak permintaan kerabat, siapa kira-kira yang akan terkena dampak?

Dampaknya ke diri sendiri dan orang yang berada di circle terdekat, yakni suami dan anak-anak. Masa iya, saya mengambil alih beban orang lain, sehingga rela menambah beban diri sendiri, tapi malah berdampak negatif pada saya dan keluarga.

Jika kami merasa tidak sanggup membantu orang lain, maka harus bisa mengkomunikasikan dengan baik untuk menolaknya. Tetapkan di pikiran bahwa semua orang punya beban dan tanggung jawab, termasuk diri kami. Jika tidak sanggup membantu, itu bukan kesalahan. Tidak membantu orang lain bukan berarti jahat, kok.

Jaga Jarak

tempat sampah orang lain
Jaga jarak untuk hal-hal yang bikin kita terbebani secara emosi/ Foto: Canva

Jaga jarak di sini bukan berarti menjauh sehingga memutus tali silaturahmi. Ketika kita menolak membantu orang lain, bisa jadi yang bersangkutan kesal. “Pengorbanan” selama ini tidak dianggap hanya karena sekali penolakan permintaan bantuannya. Padahal penolakan disampaikan karena kami sedang tidak bisa membantu, bukan karena senang melihat orang lain susah.

Terkadang orang jadi terlalu mengandalkan kami untuk menyelesaikan segala masalahnya, tanpa memikirkan dampak yang kami jalani. Misalnya saja begini, ketika ada seseorang yang meminta tolong suami melakukan sesuatu dalam waktu cukup lama, imbas yang tidak terlihat ternyata banyak lho.

Suami saya memang bekerja dari rumah saja sejak awal pandemi hingga kini. Kadang orang melihat orang yang bekerja di rumah itu artinya punya banyak waktu, sehingga leluasa “menyuruhnya” melakukan ini dan itu.

Padahal berjam-jam waktu suami yang digunakan untuk orang lain itu ada istri dan anak-anaknya yang sedang kerepotan di rumah. Nggak kelihatan ‘kan? Nggak ada yang tahu ‘kan? Segala keluh dan air mata dibungkus rapat-rapat karena nggak ingin orang lain tahu.

Ketika suami berjam-jam mendidikasikan dirinya untuk orang lain pun, si orang lain itu sama sekali tidak menanyakan bagaimana keadaan kami. Yang dia tanyakan hanya pekerjaan suami. Apa karena pekerjaan suami menghasilkan uang, sementara urusan domestik tidak menghasilkan materi? Duh, jadi baper ‘kan.

Ketika membahas hal ini, suami bilang terkadang manusia hanya fokus pada dirinya sendiri. Manusia merasa masalahnya sendiri yang paling berat, sehingga harus dibantu dan seolah-olah dirinya adalah “pusat semesta”.

Nah, jika suatu ketika penolakan kami berimbas pada kekesalan yang minta bantuan, maka kami akan jaga jarak. Jika mereka kesal, itu artinya mereka memperlakukan kami dengan buruk. Mereka ingin kami selalu berkorban untuk mereka, padahal kami sedang tidak mampu.

Tidak Melulu Jadi Tempat Sampah Orang Lain = Menghargai Diri Sendiri

Menolak membantu orang lain ketika situasi tidak memungkinkan adalah wujud menghargai diri sendiri. Saat seseorang membiarkan dirinya selalu jadi “tempat sampah” orang lain, maka begitulah dia akan selalu diperlakukan.

Melakukan kebaikan itu harus. Membantu orang lain itu perbuatan mulia. Namun, jangan sampai mengorbankan diri sendiri dan tidak perlu sampai mengambil alih tanggung jawab orang lain. Bismillah, semoga kami tidak lagi menjadi “tempat sampah” orang lain. Semoga kami juga tidak gampang menjadikan orang lain sebagai “tempat sampah”.

4 Comments
  1. Anti says

    Sama banget, mba….. Aku juga cape banget. Aku jg setting boundaries. Respon di WA group secukupnya saja. Kondisi pandemi jg bantu banget buat jaga jarak. Alasannya legit utk ga ketemuan dulu, hehe….

    1. Nurvita Indarini says

      Ya kan Mbak, aku kalau udah capek tuh bawaannya negatif mulu ke orang yang bersangkutan. Niatnya mau baik, tapi hati jadi ternoda, hiks… Iyaa, salah satu hikmah pandemi meminimalkan ketemu secara fisik. Makasih Mbak Anti 🙂

  2. Fian Fatiem says

    Duuh mom Vita.. I feel U 😥 kita udah bantu orang lain, tapi pas kita butuh hal yg remeh aja dia ga mau bantu.. trs kadang seenaknya di anggapnya biasa karna kita orangnya ga marahan. Hiks

    1. Nurvita Indarini says

      Bukannya minta harus dibantu ya, Mbak, tapi kan enak ya kalau dalam hidup bisa saling memberi yang baik. Bukan sekadar menuntut orang lain untuk memahami, tetapi berusaha juga memahami orang lain ya, Mbak… Hanya karena kita nggak marah, bukan berarti bisa diperlakukan semena-mena ya, Mbak :'(

Leave A Reply

Your email address will not be published.

www.kirmiziyilan.com