Hari-hari Menjelang Ibu Pergi: Dirawat di ICCU RS Dr. Sardjito

Tak pernah disangka, Ibu pergi secepat itu. Saya pikir akan ada waktu lebih lama membersamainya. Membelikannya makanan yang diinginkan, atau menemaninya kontrol ke dokter. Seperti janji saya, sebulan sebelum Ibu berpulang.

Di sambungan telepon kala itu kami bertangisan. Mungkin Ibu terharu mendengar janji saya untuk menjaga dan merawatnya. Meski sebenarnya ada beberapa ketidakpastian, tapi kepadanya saya hembuskan optimisme.

“Mbak Ta akan berusaha ada buat Mami. Haris (suami saya) sudah memberi izin untuk wara-wiri ke Jogja. Kalau Mami mau bubur, Mbak Ta yang belikan. Kalau Mami mau ke dokter, Mbak Ta yang antar. Kalau Mami mau ke mana juga, Mbak Ta yang antar. Baju Mami, Mbak Ta yang cuci dan setrika. Makan Mami, Mbak Ta yang siapkan,” ucap saya yang disambut isakan perempuan paling berjasa di hidup saya itu.

Waktu itu saya nggak mau Ibu merasa sendiri dan diabaikan. Saya ingin dia jadi sosok yang beruntung dan tenang menjalani hari-hari tuanya. Tidak disibukkan dengan hal-hal yang seharusnya tak lagi dia khawatirkan.

Baca juga tulisan ini yuk: Sebuah Pesan: Jika Aku Meninggal Lebih Dulu

Waktu terasa bergulir begitu cepat. Kakak sepupu memberi tahu bahwa Ibu masuk rumah sakit pada 4 November 2023. Diagnosisnya ada penyumbatan pembuluh darah di jantung. Ibu sudah diberi obat, tapi tidak ada perkembangan signifikan.

Akhirnya Ibu dirujuk ke RS yang lebih besar, tepatnya ke RS Dr Sardjito. 5 November 2023, Ibu masuk ke ICCU RS Dr. Sardjito. Saat itu, langsung dipasang ring. Konon ada 2 pembuluh darah yang tersumbat, akan tetapi hanya satu yang bisa dipasang ring.

Hari-hari menjelang Ibu pergi menyisakan kenangan-kenangan di sudut hati. Kini, saya berusaha mengenangnya melalui tulisan. Ibu pergi, tapi kenangannya tersimpan rapi di hati.

Bertolak ke Jogja

Tiba di Yogyakarta/ Foto: Nurvita Indarini

6 November 2023 malam, saya bertolak ke Jogja. Hanya berdua dengan si bungsu, karena si sulung tidak mungkin meninggalkan sekolahnya. Kami naik kereta api dari Stasiun Pasar Senen.

Sebelum naik kereta, kami menyempatkan diri beli makan malam untuk dimakan di kereta. Kepala saya rasanya beraat sekali. Mungkin karena terlambat makan saat buka puasa.

Sekitar pukul 05.00 WIB, sampai juga di Stasiun Tugu. Bergegas memesan ojek online, lalu bertolak ke RS Dr. Sardjito.

Saya terpaksa membawa naik si kecil ke ruang tunggu pasien ICCU. Gimana lagi? Tidak ada yang bisa dititipi. Di sana sudah ada kakak sepupu dan adik bungsu. Anak saya langsung dibawa pulang kakak sepupu, sementara saya dan adik berjaga di sana.

Dalam hati saya langitkan doa semoga si kecil tidak rewel. Maklum, hingga usia tiga tahun, dia tidak pernah terpisah jauh dari saya.

Tepat pukul 07.00 WIB, saya masuk ke ruangan tempat Ibu dirawat. Hati ini mencelos. Ibu tidur agak mendengkur. Wajahnya sayu. Satu demi satu air mata lolos. Sungguh tidak tega mendapatinya tidur dengan selang terpasang di mana-mana.

Saat Ibu terbangun, saya langsung menyuapinya. Sepiring bubur tandas dengan cepat. Namun, sepertinya Ibu belum menyadari bahwa yang menyuapinya adalah putri sulungnya. Maklum, kala itu saya mengenakan masker.

Setelah beberapa waktu, akhirnya Ibu sadar juga akan siapa saya. “Ih,” ucapnya terkejut.

“Kapan sampai?” tanyanya.

“Tadi sampai sini jam 6.”

Ibu lalu bertanya tentang anak-anak saya. Rupanya Ibu juga khawatir si bungsu bakal ngereog saat tidak bersama mamanya.

Keluhan Sakit dan Butuh Darah

Ilustrasi sakit/ Foto: Canva

Ibu mengeluh sakit di sekitar abdomen bagian atas. Dokter lantas memanggil saya untuk memberikan edukasi.

“Ibu dokter juga?” tanya Bu Dokter saat saya duduk di hadapannya.
“Oh, bukan. Hanya mantan wartawan kesehatan.” Mungkin dokternya sering melihat saya sibuk memerhatikan laporan perkembangan Ibu, sehingga dikiranya saya paham benar kondisi medisnya.

Dokter menjelaskan perut Ibu terlihat lebih besar. Diduga, ada darah di abdomen. Untuk memastikannya, akan dilakukan foto abdomen tiga posisi. Jika ada luka dan butuh operasi, maka butuh pasokan darah.

Sementara itu, kondisi Ibu kekurangan darah. Kadar hemoglobin hanya 6. Dengan begitu, Ibu harus segera mendapatkan donor darah. Singkat cerita, dengan kondisi yang seperti itu, Ibu dinyatakan kritis.

Segera saya kabari keluarga, minta tolong dicarikan golongan darah O. Beruntung, dalam waktu singkat terkumpul lima donor.

Sembari darah dikumpulkan, Ibu dibawa menuju ruang radiologi abdomen. Ini perjuangan banget bagi Ibu. Dia dibawa mengunakan tempat tidurnya yang didorong naik turun lift dan melintasi koridor-koridor rumah sakit.

Baca juga tulisan ini yuk: Jika Titipan Itu Diambil Pemiliknya

Terkadang tempat tidur Ibu sedikit terguncang. Saat itu terjadi, Ibu menggumam kesakitan. Wajahnya pucat dan tangannya teraba dingin. Ya Allah, sungguh tidak tega.

Setelah selesai difoto, Ibu kembali ke ICCU. Saya menunggu Ibu sampai hampir tengah malam. Perawat meminta saya untuk beristirahat saja di ruang tunggu pasien, mengingat Ibu sudah lebih tenang.

Hmm, tidur di ruang tunggu keluarga pasien itu sebenarnya bikin sport jantung. Bagaimana tidak? Terkadang di tengah malam, satu-satunya telepon di ruangan itu menjerit-jerit.

Itu adalah panggilan untuk pihak keluarga terkait kondisi pasien di dalam ICCU. Ada pasien yang gelisah mencari keluarganya. Ada pula yang pergi untuk selamanya…

Cerita ini belum usai. Nantikan kelanjutannya ya. Semoga ada ibrah-nya.

Comments (0)
Add Comment