Tantangan Pendidikan Inklusif pada Anak dengan Disabilitas

Mendapatkan pendidikan adalah hak setiap anak. Sayangnya, hak yang satu ini tidak selalu bisa diberikan dengan baik. Apalagi bagi anak dengan disabilitas dan kusta. Pendidikan inklusif bagi anak dengan disabilitas masih menghadapi sejumlah tantangan.

Masih banyak orang tua anak dengan disabilitas dan kusta yang enggan menyekolahkan anaknya. Kekhawatiran anaknya kesulitan belajar dan malu adalah sejumlah alasan yang melatarbelakangi. Terlebih diskriminasi masih kerap menghantui anak dengan disabilitas.

Betul, pendidikan tidak hanya bisa didapat di bangku sekolah saja. Namun, tidak semua orang tua siap memberikan pendidikan secara konsisten dan terencana, sesuai tahap perkembangan anak.

Menyelenggarakan pendidikan yang inklusif bagi anak dengan disabilitas dan kusta memang tidak mudah. Ada berbagai tantangan yang harus ditaklukkan. Tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa diwujudkan.

Pada 21 Oktober 2022 lalu, saya menyimak diskusi Ruang Publik KBR yang membahas tentang pendidikan inklusif ini. Menarik sekali diskusinya dan menambah informasi, tentunya. Rangkuman diskusinya saya tuangkan di tulisan ini ya.

Menaklukkan Tantangan Pendidikan Inklusif

Diskusi Ruang Publik KBR tentang Pendidikan bagi Anak dengan Disabilitas dan Kusta

Pendidikan inklusif memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anak untuk mendapat pendidikan tanpa memandang kondisinya. Kendati disabilitas, anak yang memiliki potensi kecerdasan bisa mengikuti pembelajaran bersama dengan anak lainnya dalam satu lingkungan pendidikan.

Dengan demikian, anak berkebutuhan khusus bisa bersekolah di sekolah reguler sekitar rumahnya. Mereka tidak harus belajar di sekolah luar biasa.`

Lantas apa saja tantangan menyelenggarakan pendidikan inklusif? Anselmus Gabies Kartono dari Yayasan Kita Juga (Sankita) mendapati banyak anak berkebutuhan khusus putus sekolah, juga ada yang tidak didaftarkan sekolah meski sudah usia sekolah.

Tak hanya itu, kesiapan guru dan sarana fisik pun masih sering belum memadai. Itu makanya, Sankita gencar mempromosikan pendidikan inklusif. Oh ya, Sankita adalah lembaga Sosial yang bergerak pada bidang Kemanusiaan, lebih khusus bekerja pada isu disabilitas.

Sankita punya beberapa program dalam mempromosikan pendidikan inklusif. Yuk disimak beberapa program atau kegiatan yang dilakukan Sankita.

  • Pelatihan Mengidentifikasi dan Assessement ABK

Selain aktif melakukan pendampingan, Sankita juga menggelar pelatihan bagi para guru. Pelatihan untuk para guru digelar untuk membantu pihak sekolah mengidentifikasi assessment anak berkebutuhan khusus. Dengan begitu, guru akan lebih memahami apa itu ABK, jenis ABK apa saja, apa yang dialami ABK, serta apa yang dibutuhkan siswa ABK.

“Guru yang ada sekarang di sekolah reguler, basic-nya guru SD, sehingga belum terlalu familiar dalam menangani anak berkebutuhan khusus,” jelas pria yang akrab disapa Ansel ini.

  • Perencanaan dan Strategi

Selanjutnya, Sankita memberi pendampingan dalam membuat perencanaan dan strategi. Perencanaan dan strategi ini sifatnya fleksibel, disesuaikan dengan kebutuhan anak.

“Misal ABK sensorik netra yang low vision, strateginya dengan membuat materi pelajaran yang hurufnya dibuat lebih besar, atau anaknya duduk di depan dekat guru,” papar Ansel.

  • Pemberian Motivasi pada Orang Tua Anak dengan Disabilitas

Sankita juga sering melakukan pertemuan dengan orang tua anak dengan disabilitas. Dalam pertemuan itu, orang tua diberi motivasi agar mau mendaftarkan anaknya sekolah. Orang tua juga diberi pemahaman tentang hak-hak anak disabilitas.

“Orang tua jadi sadar kalau anaknya sekolah, nanti bisa seperti Ansel dan teman yang lain. Apalagi mereka melihat langsung bahwa saya tunanetra. Jadi kami berikan motivasi secara verbal dan datang langsung,” sambung Ansel.

  • Pelatihan di Kantor Kepala Desa dan Berpartisipasi Mengikuti Kegiatan Pembangunan Desa

Sankita memandang pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas harus menjadi prioritas dalam pembangunan di Manggarai Barat. Jika hak-haknya terpenuhi, maka disabilitas bisa mengembangkan potensinya secara maksimal.

Untuk itu, Sankita kerap menggelar pelatihan dan sosialisasi tentang hak-hak disabilitas di kantor kepala desa. Sankita juga aktif mengikuti dan melakukan pendampingan kegiatan pembangunan desa.

Sankita yakin jika terus didukung dan difasilitasi dalam mendapatkan haknya, anak dengan disabilitas bisa berkembang dengan baik di masyarakat. Bahkan anak-anak ini berpotensi turut terlibat dalam pembangunan di daerahnya.

Masyaallah keren ya. Dukungan seperti bisa membuat anak-anak disabilitas merasa dirinya berharga. Mereka pun jadi lebih semangat untuk berdaya meski memiliki keterbatasan.

Baca juga: Kusta Penyakit Kutukan? Jangan Mudah Percaya, Simak Dulu Faktanya

Ansel bersama Sankita terus mendorong anak dengan disabilitas bisa mendapatkan hak pendidikan dengan baik. Untuk itu, jika orang tua memiliki anak dengan disabilitas yang sudah usia sekolah, bisa segera mendaftarkannya sekolah.

“Tidak harus ke SLB, karena di sekolah reguler juga bagus untuk berkembang ke depannya,” pesan Ansel.

Pengalaman SDN Rangga Watu Menggelar Pendidikan Inklusif

Diskusi bersama Kepala Sekolah SDN Rangga Watu dan salah satu siswanya yang berkebutuhan khusus.

SDN Rangga Watu, Manggarai Barat, adalah salah satu sekolah yang menggelar pendidikan inklusif bagi anak disabilitas. Kegiatan ini sudah dilaksanakan sejak lama. Hanya saja, baru 2017 mendapatkan Surat Keputusan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat.

Saat ini SDN Rangga Watu memiliki tujuh peserta didik ABK. Enam siswa merupakan anak dengan tunagrahita. Sedangkan satu orang lainnya adalah siswa dengan cacat fisik.

“Ketersediaan guru (untuk ABK) belum tersedia, sehingga jadi kendala. Kami terima ABK, tapi pemberlakuan secara khusus belum ada,” tutur Kepala Sekolah SDN Rangga Watu, Fransiskus Borgias, yang juga hadir di diskusi Ruang Publik KBR.

Baca juga: Kenali Gejala Awal Penyakit Kusta dan Risiko Kecacatan

Sejak bermitra dengan Sankita, SDN Rangga Watu terbantu saat menggelar assessment awal siswa ABK. Ketika mengkategorikan seorang siswa berkebutuhan khusus, hal itu dirahasiakan. Jadi, hanya orang tua dan pihak sekolah saja yang tahu.

“Penolakan orang tua untuk menyekolahkan anaknya, sejauh ini tidak ada, karena orang tua sudah dilibatkan saat assessment,” terang Frans, sapaan akrab Fransiskus Borgias.

Dalam kesempatan itu hadir pula seorang siswa berkebutuhan khusus yang bersekolah di SDN Rangga Watu, Ignas Carly. Saat ini Ignas duduk di kelas lima. Selama bersekolah, Ignas mengaku pernah mendapat perlakuan tidak baik dari temannya. Untungnya, saat ini tidak ada lagi teman sekolahnya yang mempermasalahkan kekurangannya.

Ignas bahkan merasa sangat senang bisa bersekolah dan bertemu teman-temannya. Sebab, bersama teman-temannya, dia bisa melakukan berbagai hal seru, seperti bermain bola, bermain voli, hingga jalan beramai-ramai saat berangkat dan pulang sekolah.

Ilustrasi pendidikan inklusif bagi anak dengan disabilitas dan kusta/ Foto: Canva

Penutup

Menjadi anak yang “berbeda” karena disabilitas yang dialami seringkali meruntuhkan percaya diri. Namun, itu bukan alasan untuk menyembunyikan anak-anak disabilitas dan kusta dari dunia. Mereka sama seperti anak-anak lain yang hak-haknya harus dipenuhi.

Di balik kelemahan, Allah menitipkan kekuatan. Pun pada anak-anak dengan disabilitas ini, mereka pasti punya kelebihan yang akan menjadi bekal berharga dalam hidupnya. Sebagaimana anak-anak lainnya, mereka juga berhak belajar di bangku sekolah dengan nyaman.

Memenuhi hak pendidikan anak dengan disabilitas, antara lain melalui pendidikan inklusif, memerlukan komitmen seluruh pihak. Orang tua, masyarakat, sekolah, pemerintah, serta semua pihak harus memastikan anak mendapatkan pengasuhan dan pendidikan yang baik.

Melalui pendidikan yang baik, harapannya anak akan mempunyai masa depan yang baik pula. Harus selalu diingat bahwa anak dengan disabilitas punya hak yang sama dengan anak lainnya. Mereka berhak mendapatkan pendidikan yang inklusif.

kustapendidikan anak
Comments (0)
Add Comment